Basa Basi #34 : Memahami 2021

 



Sudah 2021. Dan beberapa bulan lagi berganti 2022.


Saya jarang sekali menulis akhir-akhir ini. Bahkan mungkin 1-2 tahun terakhir, jarang menyentuh microsoft word, kecuali untuk tugas. Tentu saja saya akan mengungkapkan dua kata klasik sebagai glorifikasi kemalasan saya : sibuk kerja. 


Tapi beberapa hari terakhir ketika saya beres-beres file yang menumpuk di hard disk, saya menemukan fakta bahwa ternyata saya ini lumayan produktif menulis beberapa tahun lalu. Ketika masih SMP dan SMA. Walau ketika saya baca lagi, isi tulisannya lebih nampak seorang kutu buku mabuk anggur sambil mengisi seminar filsafat yang dihadiri segerombolan anak TK.


Tapi saya senang, karena ternyata gaya menulisnya sangat susah saya pelajari kembali. Misalnya diksi alias pemilihan kata yang lumayan indah untuk anak-anak usia remaja, hingga ocehan yang agaknya karena saya terlalu banyak membaca Catatan Pinggir Goenawan Muhammad. 


Di antara tulisan-tulisan yang ada di hard disk, ada beberapa cerpen yang banyak menyinggung soal kehidupan bermasyarakat dan bersosial, cara berpikir dan bagaimana menyikapi hidup. Fase remaja tentu saja, saya merasa bijak ketika bisa berpikir secara mendalam, walau ketika dipraktekkan belum tentu bisa berhasil. Saya merasa bangga mengetahui bagaimana kiranya seorang Nietzsche atau Kierkegaard berpikir. Walau jika saya harus mengulangnya kembali, tentu akan lebih banyak malasnya saat ini.


Tulisan-tulisan saya, utamanya cerita pendek, yang sudah tentu ditolak oleh para redaktur, selalu melibatkan sosok aku dan seorang wanita. Suatu kisah romantis yang selalu ada karena sejak dulu, saya berpikir bahwa teman wanita, alias kekasih, selalu mempengaruhi proses berpikir. Misalnya, wanita pemikir membuat saya banyak berpikir, dan wanita yang rebel membuat saya merasa bahwa hidup tidak perlu sama dengan masyarakat pada umumnya.


Saya merasa bahwa proses pendewasaan tentu saja berawal dari hubungan antar manusia. Hubungan antar manusia ini yang kemudian juga mempengaruhi gaya berpikir.


————————


Memasak Sebagai Sebuah Seni


Setahun belakangan, saya lebih banyak menghabiskan waktu di dapur dibanding menulis. Karena saya merasa bahwa pekerjaan yang saya jalani, yakni sebagai illustrator memiliki kaitan erat dengan memasak. Hal ini pula yang membuat saya lebih sering membeli bahan makanan dibanding makanan yang sudah jadi.


Memasak bagi saya bukan urusan berhemat, karena membeli sate atau nasi goreng harganya lebih murah dibanding saya memasak nasi goreng sendiri. Setidaknya bagi saya, memasak harus secara premium, totalitas. Tidak ada masak untuk berhemat dalam kamus hidup saya. 


Sebagai gambaran, Senin pagi, 30 Agustus 2021, saya memasak sup tahu. Tentu saja saya berusaha memasukkan semua hal yang bisa dijadikan sup. Saya menggunakan tahu, sawi putih, tauge, telur puyuh, ditambah dengan telur mata sapi sebagai pelengkap sup. 


Saya merasa bahwa memasak adalah urusan komposisi, sama ketika saya bekerja. Berusaha semaksimal mungkin membuat ilustrasi atau komik yang bisa menyampaikan makna, dengan tampilan yang juga indah, komposisi panel yang tepat, dan penempatan layer yang rapi dan bertahap.


Beberapa hari yang lalu saya memasak nasi goreng dengan bumbu pedas dan kornet. Cita rasa yang dihasilkan tentu akan berbeda jika saya membuat nasi goreng hongkong yang berisi sayur sayuran dan gurih. Ini sama seperti atmosphere atau mungkin tone dalam komik. Tentu ketika sang tokoh utama marah-marah membanting meja, saya menggunakan tone warna merah dengan atmosphere yang penuh amarah.


Memposisikan layer lineart paling atas dan layer warna dibawah sama seperti memasukkan tahu dan sawi putih yang seharusnya memang tidak bersamaan. Membuat lineart terlebih dahulu sebelum mewarnai sama dengan menunggu minyak panas baru saya bisa merendam bakwan.


Entah memang memasak itu seni atau memang saya yang memposisikan segala sesuatu sebagai seni.


————————


Tv Series dan Film


Entah kenapa, saya juga jadi lebih sering menonton serial televisi dan film. Meskipun tidak sesering ketika saya menganggur dan masih sekolah. Akhir-akhir ini saya tertarik dengan sesuatu yang berbau dokumenter. Sedangkan ketika saya di Sekolah Menengah, saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk menonton film dengan plot twist atau film-film sci-fi dan aksi.


Saya tidak merasakan gairah dan adrenalin yang sama. Bahkan saya tidak bermain game. Di iPad saya, hanya terpasang game kuis tebak lagu yang saya mainkan mungkin sebulan sekali sebelum beranjak tidur. Hal yang sama kenapa saya menonton serial televisi dari National Geographic.


911 adalah salah satu tontonan yang saya tonton selama beberapa bulan terakhir. Karena plotnya cenderung tidak terlalu memacu adrenalin, bahkan agak sedikit membosankan mungkin bagi beberapa orang. Menceritakan tentang sebuah departemen pemadam kebakaran dan lika liku kehidupan tokohnya yang terlibat di damkar dan kepolisian serta penerima panggilan darurat 911.


911 mengusung cerita yang sederhana, meskipun kadang saya sedikit risih dengan penekanan pada LGBTQ yang agak sedikit terlalu memaksakan. Saya bukan homophobic, saya bisa berteman dengan berbagai gender dan merasa bahwa mereka sama selayaknya saya yang hetero. Perbedaan urusan ketertarikan dan urusan bawah perut tidak lantas membuat seseorang juga berbeda dalam tingkah lakunya. Saya menyadari hal ini dan semakin menyadarinya ketika saya bertato.


Tidak ada perbedaan perlakuan dalam keluarga dan lingkaran pertemanan hanya karena saya bertato, karena saya memang bukan kriminal. Saya hanya punya tato. Sama ketika saya memandang LGBTQ, wanita bercadar, laki-laki bercelana cingkrang, tidak lantas mereka dibedakan hanya karena preferensi mereka dalam berpakaian, berpikir, dan bertindak selama dalam ranah privat.


Serial televisi lain yang saya tonton adalah Port Protection Alaska, menceritakan tentang sebuah kelompok masyarakat berjumlah 44 orang yang menghuni sebuah tempat bernama Port Protection di Alaska. Menceritakan bagaimana mereka hidup sehari-hari dengan cuaca yang cenderung ekstrim, badai, dingin, hujan, hingga mendung sepanjang tahun. Selain itu, disajikan juga trik untuk hidup di alam liar seperti berburu, memancing, atau mengkreasikan limbah menjadi peralatan rumah tangga.


Kurang lebih hanya satu film yang saya tonton, In The Tall Grass yang bergenre horror. Film ini secara mengejutkan lumayan membuat saya bernostalgia dengan tontonan masa remaja, yakni film dengan plot twist tetapi juga horror. Kebetulan juga saya sedang mengerjakan sebuah proyek komik horror yang memiliki sedikit kesamaan dengan film ini. Meskipun saya nggak mudeng dengan alasan logis kenapa ada batu yang tiba-tiba bisa menjadikan waktu berputar secara loop alias terus menerus di tengah ladang.


Selain itu, di daftar tontonan Disney+ saya masih ada beberapa serial televisi yang belum ditamatkan : Sons of Anarchy, The Narco Wars, Evil Genius : The True Story of America's Most Diabolical Bank Heist, 911 : Lone Star, Sleepy Hollow.


Entah kapan serial itu akan saya tamatkan.


——————-


Pada akhirnya, 2021 adalah tahun yang meriah, mewah, dan penuh penghayatan. Tahun-tahun ini memaksa saya untuk terus berpikir, berpikir, dan berpikir lebih jauh.


Yogyakarta,

30 - 31 Agustus 2021


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Macam-Macam, Jenis dan Contoh Cara Penggambaran Tokoh dalam Cerita

Jagat Alit - Godi Suwarna