Basa Basi #35 : Kontrol
Tahun ini, saya memutuskan untuk berhenti kuliah.
Saat semester 3 datang, saya merasakan beberapa hal yang
akhirnya mendorong saya kepada keputusan final : bahwa saya mesti berhenti
kuliah. Memutuskan untuk berhenti kuliah merupakan suatu keputusan yang
mungkin, menurut orang lain adalah suatu keputusan berat, suatu hal yang sangat
sulit dan beresiko.
Keputusan ini merupakan akhir dari berbulan-bulan
kebimbangan dan dilema batin yang saya rasakan. Keputusan ini juga disetujui
dengan mudah oleh orangtua, bukan karena mereka kaya. Tidak sama sekali, karena
saya kuliah bahkan menggunakan uang saya sendiri. Orangtua saya hanya ingin
saya menapaki jalan hidup dengan Bahagia, penuh rasa tabah dan semangat yang
tetap membara. Mereka mengizinkan saya untuk melakukan semua hal yang saya ingin
lakukan.
Percaya atau tidak, prinsip kebebasan yang diterapkan
oleh orangtua saya adalah hal yang paling membentuk saya saat ini. Dengan
kebebasan ini, saya terhindar dari narkoba, minuman keras, dan sebagainya.
Karena sebetulnya merujuk pada apa yang dikatakan Sarte, “Man is condemned
to be free” atau manusia dikutuk untuk bebas.
Kebebasan adalah sebuah kutukan. Kebebasan adalah
bentuk penjara paling aman, sebuah kontrol yang paling ampuh. Karena pada
dasarnya, manusia bebas artinya ia manusia yang harus memikirkan akan pertanggungjawaban
perbuatannya. Manusia dituntut untuk berpikir dua kali sebelum melakukan segala
sesuatu, untuk memutuskan segala sesuatu.
Ini yang dilakukan oleh orangtua saya, mereka paham
bahwa saya adalah tipikal anak yang tidak neko-neko, tidak banyak
bertingkah. Saya pernah minum alkohol, bahkan dalam beberapa waktu di hidup
saya, sering sekali. Tapi lama kelamaan alkohol membuat saya tidak nyaman, seperti
bukan sesuatu yang sebenarnya memiliki dampak yang sangat baik.
Pengalaman saya dengan alkohol terbentang dari bir
sampai whiskey, dari merk lokal sampai import. Tapi Kembali lagi, bahwa alkohol
tidak benar-benar membuat saya kecanduan, bukan sesuatu yang saya perlukan. Hingga
pada akhirnya saya lebih kecanduan kopi dibandingkan alkohol. Kopi membantu saya
membangkitkan semangat bekerja hingga membuat semangat dalam dada kembali membara.
Bahkan saya masih memiliki satu botol bir yang baru dicicipi 1/8 botol, dan
saya biarkan selama lebih dari setahun. Karena merasa tidak nyaman.
Begitu pula rokok, saya terbebas dari rokok sudah dua
tahun lebih, menuju tiga tahun. Karena saya menemukan vape, yang menurut saya
lebih memiliki kesan ‘artistik’ dan ritual yang lebih njlimet namun
seru. Dibanding rokok yang tinggal beli ke warung, buka bungkusnya, ambil
sebatang, nyalakan, hisap. Sedangkan untuk vape, saya bisa memilih variasi
ratusan RDA atau RTA, memilih jenis dan ukuran kawat serta kapas yang sesuai
dengan selera, liquid yang perlu dioptimasi berdasarkan resistensi kawat,
hingga kenikmatan ketika menemukan settingan yang tepat.
Tapi, saya masih bisa menerima cerutu meskipun saya
menghisap cerutu bisa cuma sekali dalam beberapa bulan. Beberapa jenis cerutu besutan
Taru Martani masih bisa saya hisap dengan nyaman. Tapi yaitu, cerutu tidak
candu seperti rokok, saya bisa menghisap cerutu hari ini kemudian menghisap
yang lain beberapa bulan kemudian.
Hampir tidak ada larangan, kecuali menyakiti orang
lain. Inilah yang membuat saya bisa mengontrol diri saya sendiri. Saya paham batasan.
Lain cerita jika saya dibatasi dan dikontrol penuh secara ketat oleh orangtua,
mungkin saya akan memberontak dan mengkonsumsi hal-hal illegal hanya untuk
membuktikan bahwa saya rebel.
Ini juga tampaknya yang membuat saya memiliki jejak
yang tidak terlalu buruk. Saya tidak minum minuman beralkohol hanya untuk gegayaan,
Norak! Kalau saya mau minum, saya pesan satu botol, dinikmati di rumah,
kemudian beres. Tidak ada yang disembunyikan, hal ini juga membuat saya bisa
mengontrol diri sendiri. Saya minum ya karena mau minum, bukan mau teler atau
pusing. Saya juga bertato, bukan untuk ditampilkan di hadapan publik untuk gegayaan
juga.
Rekam jejak saya di internet juga cukup baik. Saya
tercatat online sejak 2015-an, atau mungkin 2013an di forum kaskus. Pada
circa 2014-2015 saya membuat blog, berbisnis domain, kemudian blog yang
dipasang CPM dan CPC.
Dengan pemahaman dalam dunia online selama beberapa
tahun ini akhirnya menjelang akhir SMA saya bisa bekerja secara full online sebagai
freelance. Hingga saat ini, saya masih bekerja secara freelance untuk
penerbit, studio, perorangan hingga band.
Rasanya, impossible dan bahkan tak terpikir
sama sekali jika saya akan menjadi seorang komikus dan illustrator. Lima tahun
kebelakang, saya masih ngotot ingin jadi penulis. Sekarang, saya menapaki jalan
sebagai illustrator dan komikus.
Tidak ada yang mustahil jika kita mampu mengontrol
diri sendiri. Mengontrol diri sendiri tidak berarti membatasi, tapi responsibility.
Bagaimana kita bisa bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan,
bagaimana kita berpikir tentang dampak yang akan ditimbulkan dari perbuatan
kita. Dan hal simple inilah yang membawa saya sejauh ini.
Mengontrol diri tidak berarti membatasi. Saya pernah
minum tapi saya tidak pernah sekalipun menjadi pemabuk, karena saya paham
dampaknya, saya tahu batas tubuh saya menerima alkohol, saya mengerti jika
minum-minum di tempat umum bisa mendatangkan masalah.
Saya bertato, tapi bukan berarti saya serta merta
menjadi penjahat, criminal, atau masuk geng. Saya tidak pernah terlibat dalam
kekerasan dan kriminal. Karena saya memahami tato yang saya tambahkan di kulit
ini hanya sebagai pengingat, hanya sebagai seni, bukan kartu bebas tawuran atau
bertindak illegal.
Mengontrol diri sendiri artinya memahami batasan-batasan
yang ada, memikirkan dampak yang ditimbulkan, hingga mengerti bahwa perbuatan
kita akan menjadi butterfly effect yang akan menyambung dengan masa
depan.
Jika saya tidak gabung di kaskus pada 2013, jika saya
tidak ngeblog pada saat saya masih SD, mungkin saya tidak akan menjadi
mas-mas mageran yang punya gaji diatas UMR hanya dengan menggambar.
Dan sebaliknya, jika saya saat itu tidak mampu mengontrol
diri, tidak memahami batasan, mungkin saya hanya akan menjadi pemabuk
pengangguran yang malas dan tidak punya masa depan.
Yogyakarta,
27/10/2021
Komentar
Posting Komentar