Basa-Basi #36 : Tia

 




Hidup untuk saya adalah sebuah lukisan yang terdiri dari kepingan-kepingan kecil. Seperti kepingan puzzle jigsaw yang sering kita mainkan saat kanak-kanak. Kadang kita menemukan bagian yang asing, namun di masa yang akan datang, kepingan asing itu ternyata bagian dari sebuah bagian yang sangat indah. Bagian dari puzzle hidup kita yang berkesinambungan, yang saling terhubung satu dengan yang lainnya. Seaneh apapun itu, seasing apapun itu.

Dua tahun yang lalu, saya berkenalan dengan dia. Sebut saja Tia. Kami bertemu usai perjalanan panjang masing-masing, menempuh jarak yang sama panjangnya, dan sama rumitnya. Sebuah pertemuan yang mungkin tidak pernah terbayangkan, karena bedanya dunia antara kami berdua. Sebuah hal yang menyatukan kami saat itu adalah buku. Kecintaan untuk membaca, atau bahkan menulis, mendekatkan kami berdua. Meskipun lagi-lagi, kecintaan terhadap tulisan Nietzsche atau Jared Diamond tentu bertolak belakang dengan kecintaan terhadap buku Felix Siauw dan Tere Liye.

Kami memulai semuanya bak dua orang prajurit yang bertemu di medan perang dengan keadaan sama-sama terluka. Memanfaatkan kotak P3K yang kami miliki untuk menyembuhkan satu sama lain, untuk kemudian berjalan tertatih menyusuri jalanan sempit yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya.

Hingga akhirnya, ada titik-titik dimana saya merasa bahwa dia memang harus tetap disini. Sampai tak terasa, 2 tahun sudah kami berdampingan, berusaha untuk melengkapi satu sama lain. Lengkap bersama kisah-kisah pendek berisi tawa dan tangis yang tercipta dari usaha kami untuk saling mengerti.

 *

Mendeskripsikan Tia sebagai seorang wanita tentu saja mudah. Tetapi mendeskripsikannya sebagai seorang kekasih, itu lain cerita. Dia merupakan Anggini, muridnya Dewa Tuak di serial cerita silat Wiro Sableng karya Bastian Tito. Merupakan wanita yang terbiasa melakukan semuanya sendiri, mandiri, dan galak, tentu saja. Meskipun sama seperti Anggini, tidak banyak yang mempercayai dia galak.

Tetapi dia juga gabungan dari hal-hal lain yang bahkan tidak bisa saya bayangkan. Cemburuan, kadang cengeng, kadang tegar, dan hal-hal kontradiktif lain yang membuatnya susah untuk dideskripsikan dalam serangkaian kalimat.

 *

Belajar untuk lebih bijaksana dalam menyikapi problematika hidup mungkin menjadi titik temu antara keinginan kami berdua. Tidak ada angan-angan setinggi langit seperti yang biasa saya pikirkan dulu, tidak ada hal-hal bombastis yang diumbar hanya untuk menyenangkan hati semata. Suatu hal yang sulit memang untuk belajar bijaksana, atau setidaknya, belajar memandang kehidupan secara realistis. Tetapi pada akhirnya, kami harus melakukan itu.

Saya tahu bahwa mantan kekasihnya adalah orang-orang yang tidak bisa disepelekan. Sebagian memiliki kedudukan sosial yang lumayan, sebagian memiliki wajah yang diidam-idamkan oleh para lelaki : tampan dan gagah. Tapi tentu saja, pada akhirnya bahwa hidup tidak hanya mengandalkan kedudukan sosial dan penampilan fisik. Hidup adalah perkara berkembang, menuju ke arah yang lebih baik, atau bijaksana dan mendewasa.

Kisah-kisah absurd yang ia ceritakan mengenai mantan-mantan kekasihnya yang terdengar seperti pertunjukan teater Shakespeare membuat saya bertanya-tanya : mereka lebih dewasa, kenapa mereka tidak bisa memilih jalan hidup yang paling tenang dan bisa dinikmati?

 

MASA MUDA DAN PENGENDALIAN DIRI

Tidak dapat dipungkiri bahwa masa muda, atau remaja merupakan fase dimana manusia merasa memiliki dunia. Bukan hanya memiliki, kadang-kadang mereka merasa mampu mengendalikannya. Well, the world doesn’t revolve around you. Pemikiran yang egosentris semacam itu bisa menjadi sebuah api penyemangat untuk bekerja, berkarya dan hidup dengan lebih baik. Tetapi kadang bisa menjadi api yang membakar habis seluruh kesenangan yang harusnya bisa dinikmati.

Semangat masa muda yang dipenuhi oleh perasaan cinta, emosi tak terkendali, hingga amarah serta perasaan bangga yang meluap-luap kadang bisa menimbulkan permasalahan. Misalnya, terlalu mencintai seseorang hingga ia lupa akan baik dan buruk, atau menanggalkan seluruh poin-poin moralitas yang ia ketahui. Ini menjadi masalah, ketika kita mencintai seseorang tanpa pengendalian diri yang baik.

Contoh sederhana dari permasalahan ini adalah : ketika pasanganmu berbuat kesalahan di depan umum, apakah kamu mau membela dia mati-matian, atau justru pergi ke hadapan publik dan mengakui bahwa pasanganmu salah dan kamu minta publik untuk memaafkan?

Problem sederhana, tapi tidak banyak yang mampu untuk melakukan ini. Termasuk saya pribadi, yang kadang diselimuti oleh ego yang begitu tebal. Merasa bahwa ‘Ini pasangan saya, harus dibela’ dan kemudian menimbulkan permasalahan baru yang mungkin akan menjadi serangkaian efek domino.

Hal ini menjadi salahsatu pelajaran penting untuk hubungan kami berdua. Tentu saja, hal ini juga yang membuat saya makin mencintai pasangan, tentu saja. Karena akhirnya saya menyadari bahwa kami berada dalam hubungan yang sehat dan bukan lagi hubungan kekanak-kanakan yang mementingkan ego dan mengagungkan cinta untuk memvalidasi segalanya.

Sebuah pertengkaran kecil terjadi. Antara pasangan saya dengan seseorang yang mari kita sebut dengan X. Satu hal yang saya tekankan adalah : jangan pernah mau untuk bertengkar di muka umum untuk memperebutkan argumen mana yang paling benar. Akhirnya dengan cara itu, pertengkaran diakhiri. Karena kadang-kadang sulit untuk mengendalikan diri, apalagi mengalah secara terang-terangan.

Kejadian lucu lainnya terjadi di warung soto tempat saya biasa makan setiap pagi. Kami makan berdua, waktu itu matahari begitu terik. Panas yang menyengat membuat kami berdua memutuskan untuk makan semangkuk soto daging sapi di selatan Jogja. Usai soto dihidangkan, saya berniat untuk mengambil sate telur puyuh dan sate usus yang begitu menggoda di meja depan. Hingga akhirnya tanpa sengaja, tempat sate-satean itu tergelincir dari tangan saya dan isinya jatuh berhamburan ke lantai.

Sontak semua orang menatap saya, tentu saja di pikiran mereka mungkin menertawakan, atau justru kasihan. Tak lupa, sang pedagang yang langsung balik badan meskipun ia sedang meracik semangkuk soto untuk pengunjung lain. Pasangan saya waktu itu tidak berkata apa-apa, kami memungut sate yang jatuh di lantai. Kemudian sebelum pulang, kami meminta maaf kepada sang pedagang dan membayar sate yang menjadi korban tangan nakal itu.

Saya berasumsi ia akan memarahi saya secara terang-terangan : karena memang itu perangainya. Atau justru akan ketus dan menggerutu. Tapi tidak demikian, ia masih sempat mengambil tisu dan mengelap sisa kuah soto yang menempel di bibir saya tanpa memperlihatkan muka galaknya.

Ini memang bukan hal yang aneh atau luar biasa. Tapi dari pengalaman saya, kadang-kadang seseorang bisa saja memarahi pasangannya secara langsung di hadapan publik. Apalagi untuk pasangan remaja. Bukan tidak mungkin juga, sang perempuan beranjak pergi dari tempat itu karena malu dan membanting pintu dengan muka merah.

Hal sekecil ini, bagi saya merupakan sebuah pertanda bahwa seseorang mampu untuk mengendalikan dirinya. Merupakan pertanda juga bahwa ia mampu untuk mengendalikan diri pada hal-hal besar lain.

 

HARTA, TAHTA, JAJANAN

Saya bekerja sebagai komikus dan illustrator, sedangkan dia bekerja di sebuah perusahaan BUMN. Hal menyenangkan dari kalimat sebelumnya adalah : kami sama-sama bekerja, dan kami sama-sama bisa menghargai uang.

Tidak jarang saya menemukan banyak problem keuangan dalam hubungan. Mulai dari jajan pakai uang siapa, hingga split bill yang kerap dipermasalahkan anak-anak muda zaman now. Problem semacam itu tidak terjadi untuk kami. Karena kami sama-sama memiliki kemampuan untuk mendapatkan uang. Ketika dia gajian, maka saya yang meminta jajan, dan sebaliknya, ketika saya gajian, giliran saya untuk membelikan jajanan. Sesederhana itu.

Tidak pernah ada penekanan bahwa saya sebagai laki-laki harus lebih banyak memberi jajan atau dia yang bekerja sebagai pegawai formal harus lebih sering memberi uang saku. Karena toh, kami tidak jajan setiap hari. Bahkan waktu untuk bertemu juga tidak sesering itu.

Dalam kesempatan tertentu, misalnya ketika saya sepi job, malah saya yang lebih banyak memberikan ia beban dengan meminjam uang atau dibelikan jajanan. Karena ternyata urusan finansial mengalir seperti air, tidak kaku. Siapa yang sedang memiliki rezeki lebih, ia yang akan bermurah hati untuk menawari jajan, misalnya.

Dari hal sederhanan seperti jajan, kemudian akan mengalir lebih jauh menuju tujuan finansial lainnya. Menabung bersama hingga memikirkan tabungan jangka panjang. Keadaan keuangan kami berdua tidak jauh berbeda. Inilah yang mungkin menjadi modal awal untuk memahami situasi satu sama lain. Kami berdua pernah tinggal di kota yang jauh dari kampung halaman, kemudian merasakan pahit manisnya hidup di atas kaki sendiri, di tanah orang.

Kemudian pertanyaan seperti “Kamu masih punya beras?” atau “Di kulkas masih punya frozen food?” tentu bisa dipahami. Jika satu diantara kami menganggur, misalnya, atau tidak pernah tinggal jauh dari kampung halaman, akan sulit untuk mencerna pertanyaan semacam itu. Berkat pengalaman kami inilah, kepekaan saya terhadap dia, dan sebaliknya, menjadi lebih tinggi. Pertanyaan seputar asam lambung, stress berlebih, hingga stok makanan menjadi hal yang lumrah.

Jika ada gap finansial yang cukup tinggi, saya tidak yakin bisa memahami pasangan sebaik ini. Misalnya, saya mendapat gaji 10x lipat dari yang ia hasilkan, mungkin saya bisa memberikan dia jajanan yang lebih mewah, atau fine dining setiap akhir pekan. Tetapi saya akan kesulitan untuk memahami problem kenapa dia tidak bisa makan makanan cepat saji misalnya, atau kenapa ia harus membeli merk produk perawatan wajah yang murah padahal ia bisa saya belikan yang mahal. Mungkin juga saya tidak bisa memahami kenapa ia senang sekali makan jambu kristal yang ditaburi bumbu, karena saya terbiasa makan Japanese cheesecake atau ngemil makanan seperti caviar.

Kejadian yang sama mungkin akan terjadi juga apabila saya menganggur, dan pasangan saya bekerja. Saya tidak bisa menghargai uang, dan akan ‘gagal paham’ dengan konsep gajian atau konsep makan mie instan di tanggal tua.

Oleh karena itu, saya agak skeptis dengan cerita di sinetron-sinetron yang menampilkan sang pangeran yang mau berpasangan dengan gadis di pedesaan kerajaan. Bukan bermaksud untuk memberikan kasta, tetapi saya mempertanyakan hal apa yang sekiranya akan mereka bahas ketika bermesraan berdua. Sang pangeran akan menceritakan bagaimana salmon-salmon segar yang diimpor langsung dari Norwegia sedangkan sang gadis hanya memahami bahwa ikan di desanya adalah mujair dan ikan nila. Sang pangeran akan menceritakan bagaimana nikmatnya croissant yang renyah diluar dan lembut di dalam, dipanggang oleh juru masak istana yang paling jago, kemudian sang gadis akan manggut-manggut meskipun ia hanya memahami soal kue lapis atau bakpao dan belum pernah menyaksikan kue Perancis itu seumur hidupnya

 

DALANG DAN WAYANG

Membahas hubungan tidak akan bisa dilepaskan dari rasa superioritas. Bisa jadi sang perempuan atau sang lelaki yang merasa lebih tinggi, dikarenakan beberapa faktor : bisa karena hal yang sudah dipaparkan diatas, yakni keadaan finansial atau memang tidak bisa mengendalikan ego.

Hal ini cukup krusial dalam sebuah hubungan. Ketika sang lelaki atau sang wanita terlalu didikte oleh pasangannya. Karena pada dasarnya, manusia menginginkan kebebasan, termasuk kebebasan dalam bertindak, kebebasan berpikir serta kebebasan berpendapat. Meskipun kadang ada beberapa orang yang memang menginginkan dan nyaman dengan pasangan yang lebih superior.

Beberapa orang bahkan gagal memahami perbedaan antara superior dan bijaksana, tegas dan galak. Untuk saya pribadi, tidak perlu menjadi laki-laki yang superior agar bisa dihargai oleh pasangan. Karena apabila kita punya cukup kebijaksanaan dalam berpikir, berkata maupun bertindak, kita akan dihormati oleh pasangan. Kita tidak perlu mendikte pasangan untuk melakukan Tindakan-tindakan yang menyenangkan untuk hati kita.

Bagi saya, tidak ada posisi dalang dan wayang dalam sebuah hubungan. Tidak ada yang merasa lebih diantara yang lainnya. Karena kembali lagi bahwa hubungan, tampaknya adalah sebuah tempat untuk saling mengisi satu sama lain. Tidak selamanya pasangan kita benar, begitu juga kita tidak selamanya benar. Perlu ada yang lebih dari sekadar mendikte atau mengatur pasangan, dan hal itu ialah musyawarah atau berdiskusi.

Ketika membahas soal agama, tentu pasangan saya lebih mengerti karena memiliki latar belakang keagamaan yang kuat. Sedangkan ketika bahasannya berkaitan dengan pikiran, buku atau tulisan, sedikit banyak saya bisa membantu. Dalam posisi ini, salah satu perlu untuk mengalah. Merasa lebih rendah itu perlu, tapi merasa lebih capable juga harus. Dengan memiliki rasa saling mengerti akan keahlian dan kemampuan masing-masing, tentunya kita bisa dengan mudah memecahkan masalah yang akan datang.

Hubungan adalah sebuah kolaborasi. Tidak ada yang lebih tinggi, dan tentu tidak ada yang memiliki kebenaran absolut. Usul sang lelaki boleh ditolak, dan usul sang perempuan juga boleh untuk tidak diikuti. Karena pada dasarnya, saling melengkapi adalah kunci.

Perbedaan mendasar dari galak dan bijak, misalnya, adalah sebagai berikut ;


Orang bijak dihormati, sedangkan orang galak ditakuti. 

 

Sudah cukup panjang yang ditulis disini. Rasanya, saya perlu mengakhiri curhat kali ini. Masih banyak yang perlu diceritakan, namun lain kali, mungkin akan saya tulis kembali hal-hal menarik mengenai hubungan.

Pengunjung blog ini selalu konsisten, dan saya selalu bertanya-tanya, kenapa masih ada yang mau membaca tulisan-tulisan saya, utamanya untuk segmen #Basa-Basi yang isinya hanyalah pemikiran kerdil saya dalam memandang dunia.

Tapi, jika anda membaca tulisan ini, dalam beberapa hari atau minggu kedepan, saya akan memberikan postingan baru lagi—semoga.

 

 

 

Ciamis,

27/03/2022 

Mati listrik, hujan. Seperti biasa.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Macam-Macam, Jenis dan Contoh Cara Penggambaran Tokoh dalam Cerita

Jagat Alit - Godi Suwarna