Tentang Rasa #1 : Sebuah Permulaan



 Blog ini merupakan diary saya secara pribadi. Saya memulai blog ini sekitar beberapa tahun lalu, ketika masih SMP, setelah blog lama saya di MyWapBlog terhapus bersamaan dengan tutupnya platform yang diciptakan oleh Arvind Gupta itu. Tentu, sebagai sebuah diary, saya kadang menulis mengenai bagaimana hidup saya berjalan, bagaimana pandangan saya yang berubah-ubah seiring mendewasa dan bertambahnya usia, hingga hal-hal baru yang saya temui.


Ada segmen Basa-Basi yang merupakan hasil pemikiran saya mengenai sesuatu. Kadang-kadang remeh temeh, kadang membahas sesuatu yang sangat ilmiah, kadang hanya tulisan untuk mengisi waktu luang. Kemudian saya berpikir untuk menambahkan segmen baru, sekalian saya menulis di waktu luang. Segmen ini Tentang Rasa. Jangan bayangkan soal percintaan atau hal-hal romantis, tapi secara umum saya akan membahas mengenai makanan, minuman, atau hal-hal yang berkaitan dengan dunia kuliner.


Saya bukanlah ahli dalam gastronomi, namun kadang-kadang ada bagian spesial dari sebuah makanan, atau minuman. Saya merasa bahwa makanan adalah salah satu hal penting yang wajib untuk dicari ketika bepergian ke suatu daerah. Jangankan perbedaan makanan antar daerah, bahkan sate madura satu dengan yang lainnya bisa memiliki karakteristik rasa yang berbeda.


Saya suka makan, tapi tidak memiliki keahlian khusus dalam mendeskripsikan sebuah masakan. Kemudian yang bisa saya lakukan hanyalah menceritakan pengalaman makan. Semoga dengan menuliskan makanan ini, saya bisa mengisi waktu luang dengan lebih bermanfaat, dan tentu untuk pengingat di masa yang akan datang.


—————————


Pandemi melanda di tahun 2020, sedangkan waktu itu saya sudah di Jogja. Awalnya memang berniat kuliah, sekalian menghabiskan waktu sambil mencari pengalaman. Akhirnya betah dan bertahan sampai 2022. Memasak adalah satu dari beberapa kegiatan saya sehari-hari, dan itu cukup menyenangkan. Saya menyadari bahwa masakan saya tidak begitu buruk.


Kalau diingat lagi, tampaknya masakan pertama saya (selain mie, telur atau bahan-bahan dasar seperti itu) adalah tempe tumis kecap. Saya memasaknya ketika SD atau SMP, dan hasilnya enak, meskipun karena ketidaktahuan, wajan kami gosong saat itu. Tentu saya terlalu bodoh untuk mengerti bahwa kecap yang terlalu lama berada di wajan bisa membuat wajan lengket dan gosong, apalagi saat itu air yang dimasukkan terlalu sedikit.


Di Jogja, saya banyak berkreasi dengan spontanitas. Bahan apapun yang ada, saya berusaha untuk memanfaatkannya. Cumi asin, tahu sutra, cabai, kangkung, telur, tempe, daging ayam, atau ikan asin. Bahan makanan ini biasa saya dapatkan secara spontan juga, sekalian beli rokok ke warung atau sekalian jalan-jalan memutar ke wilayah Pasar Kotagede. Saya tidak pernah memiliki niatan yang pasti untuk membeli A atau B, kadang-kadang saya hanya perlu untuk pergi ke warung, kemudian memilih-milih bahan masakan. Hal lain tentunya karena kadang stok di warung dekat kosan saya berubah-ubah, kadang ada cumi asin, kadang dia menjual ayam, kadang stoknya berubah.


Saya juga baru ingat kalau saya masih punya utang 1000 rupiah ke warung sayur di dekat kostan, duh!


Seringkali ketika malas masak, saya hanya mengandalkan bahan masakan favorit, yakni tempe. Tempe digoreng dengan tepung, atau tepung bumbu kalau memang benar-benar mager. Kalau sedang tidak punya uang, tempe atau telur adalah solusinya. Kadang-kadang klien saya membayar invoice setelah beberapa hari, dan selama beberapa hari itu pula kadang saya hanya pegang uang kurang dari 20 ribu rupiah. 


Kalau sedang mode miskin seperti itu, saya biasa mengandalkan satu bumbu favorit : maggi. Dalam lain kesempatan, saya akan membahas maggi dan bumbu secara lebih khusus.


Selain masak sendiri, tentu kadang saya membeli makanan jadi. Kadang cuma lauknya saja, karena kadang saya memasak nasi namun terlalu malas untuk memasak lauk pauknya. Makanan biasa saya adalah magelangan, atau sate madura. Alasannya sederhana, karena makanan tersebut bisa ditemukan di seluruh sudut kota.


Saya memiliki teori bahwa tolok ukur level kenikmatan masakan di sebuah warmindo alias burjonan adalah magelangan. Jika magelangannya enak, maka bisa dipastikan 80% hasil masakan yang lainnya enak. Kadang memang ada beberapa warung yang memasak magelangan terlalu gurih, terlalu asin, atau bahkan terlalu hambar.


Jika sore-sore saya kelaparan, hal pertama yang saya lakukan adalah mencari magelangan. Jika malam tiba dan saya kelaparan, pilihannya antara sate madura, bakmi jawa, atau pecel lele. Lagi, karena ini adalah episode pertama, saya tidak akan banyak membahas terlalu detail. Namun, di kesempatan yang lain saya akan menuliskannya secara lebih terperinci.


Saat ini saya ada di Ciamis, dan kadang saya merindukan makanan-makanan yang susah untuk ditemukan disini. Sate klathak, bakmi jawa, hingga ikan bakar atau olahan jeroan sapi.


————————-


Sederhananya memang makanan tidak bisa dilepaskan dari kehidupan seseorang, siapapun. Tulisan ini memang berantakan, sangat berantakan. Saya akan lebih menuliskan secara lebih detail di kesempatan yang lain mengenai pencarian saya terhadap sate madura paling enak, mencari mie ayam dengan cita rasa berbeda, ayam ungkep frozen yang menjadi jalan pintas ketika malas memasak, hingga makan ikan kembung terenak di rumah bibi.


Saya akhiri tulisan ini, karena aroma jengkol goreng sudah sangat harum menusuk hidung dan saya tidak tahan untuk segera menyantapnya.





Ciamis, 3 Juni 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Macam-Macam, Jenis dan Contoh Cara Penggambaran Tokoh dalam Cerita

Jagat Alit - Godi Suwarna