Jalan yang Benar Jalan yang Samar - Azi Satria | Cerpen





“Aku pusing, Ta. Nanti aku hubungi lagi.”


Bagas menutup teleponnya dengan cepat. Rokok di tangannya sudah mendekati busa, panasnya membuat ia terperanjat. Tatapannya kosong, tapi otaknya bekerja ribuan kali lebih sibuk dibanding biasanya. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya membalikkan badan dan bergegas pergi ke dapur.


————


Sudah dua minggu tidurnya tak tenang. Beberapa waktu, ia menghabiskan malam dengan bermain game online untuk menghilangkan cemas. Namun rupanya bermain video game membuatnya justru makin emosi, tapi dia lega karena bisa bebas memaki-maki lawan untuk menyalurkan amarahnya. 


Bagas kesal, kamarnya seperti kapal pecah, dan hidupnya terasa seperti di ambang kehancuran. Di atas tempat tidurnya, dua botol kosong anggur merah sisa ia tenggak semalam masih tergeletak, ponselnya terhimpit diantara tumpukan bantal dan buku-buku. Kamar kosnya yang sempit terasa makin pengap dengan berbagai benda berserakan di setiap sudut. 


“Itu namanya hoarding disorder, kamu punya masalah apa?” Kira-kira begitu yang ditanyakan Sintia, kawannya sejak SMA ketika dia datang ke kamar Bagas kemarin sore.


“Aku cuma pusing, toh biasanya juga begini.” Bagas menjawab dengan acuh, meskipun sebenarnya ia ingin terus terang.


“Ada masalah?” Sintia menatap Bagas dengan pandangan menyelidik.


Nggak.” Bagas berusaha mengelak, sambil meraih sepiring mie instan dari meja.


Satu hal yang Sintia tahu adalah kenyataan bahwa Bagas tidak pernah bisa berbohong kepadanya. Sekalipun laki-laki 21 tahun itu berusaha untuk menutupi sesuatu, bagaimanapun Sintia adalah kawan dekatnya. Mereka bersama sejak SMA, hingga berkuliah di fakultas yang sama di universitas yang sama. Sintia dan Bagas menyatakan bahwa mereka berdua dalam jalinan cinta platonik, meskipun keduanya sebenarnya memiliki perasaan lebih yang tak pernah diungkapkan.


Ngaku aja deh” Sintia menyesuaikan dirinya duduk di kasur. 


Bagas tetap asyik melahap mie instannya di kursi. Sedangkan Sintia masih terus menatapnya dengan pandangan mata penuh rasa penasaran. Bola matanya yang cokelat dibalik kacamata minusnya yang tebal bergerak-gerak mengikuti garpu di tangan Bagas. Rupanya laki-laki itu masih sama, cuek padanya dan enggan memberitahu apa yang sebenarnya terjadi.


Sintia mengikat rambutnya yang terurai. Rambut yang dicat pirang itu tampak lebih menarik secara visual dibanding keseluruhan kamar kos Bagas. Kipas angin kecil yang diletakkan di meja tampaknya tidak cukup untuk mendinginkan udara di dalam kamar. Sintia lantas membuka jaket bergambar karakter Spongebobnya, membiarkan dirinya lebih bebas disapu angin lembut dari kipas. Kaos ketat Metallica yang ia pakai tampak kontras dengan penampilannya sebelumnya. 


“Kaos itu kan sudah 4 tahun usianya.” Kata Bagas, sambil mengelap sisa bumbu mie instan di bibirnya.


“Mengalihkan pembicaraan, ya?”


Nggak.


“Kalau bukan mengalihkan pembicaraan, terus apa namanya?”


Bagas menghela napas panjang, ia mengeluarkan sebatang rokok Camel dan menyulutnya. Dengan satu tarikan saja, ekspresi mukanya tampak lebih tenang. Sintia masih menunggu, meski dia mulai bosan.


“Tita.” kata Bagas singkat.


“Sudah kubilang sejak awal, dia selingkuh kan?” Sintia mulai menunjukkan ketertarikannya, ia menggeser pantatnya sehingga bisa menyimak lebih dekat.


“Bukan itu masalahnya. Aku nggak pernah punya masalah semacam itu. Sudah kubilang apa yang kamu katakan itu nggak ada yang terjadi.” Bagas menatap tajam Sintia sebelum melanjutkan “Kamu cuma tidak mau kalau aku jauh-jauh terus kita tidak bisa berteman lagi, saranmu itu sejak dulu cuma berlandaskan ego semata.”


Sintia tertunduk.


“Aku mau menikah sebentar lagi.” Bagas melanjutkan, nada suaranya sedikit terdengar lesu.


Sintia tidak memberikan jawaban apapun, dan tanpa ekspresi muka berubah sedikitpun. Dia mendongak pelan dan menatap wajah Bagas.


“Kenapa?” Bagas bertanya.


Sintia menggeleng. Dia tidak mau memberikan jawaban apapun, atau tanggapan apapun atas apa yang sudah ia dengar. Dia hanya berbaring dengan pelan di kasur, kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celana jeans yang ia kenakan. Dalam beberapa detik, tangannya sudah klik sana-sini dan memutar lagu patah hati favoritnya dari Mayday Parade


Bagas paham apa yang terjadi, dan ia memilih melanjutkan menghisap rokoknya sambil perlahan bangkit dari kursi dan membuka pintu kamar. Dia merasa hidup telah memberinya banyak kesenangan, dan juga kerumitan yang sebanding jumlahnya. Dadanya terasa sesak, dan pikirannya semakin semrawut bak benang kusut.


Setelah memutar satu lagu, Sintia bergegas mengenakan kembali jaketnya, meraih tas yang ia gantung di pintu, dan tanpa sepatah kata pun, dia pergi dari kamar Bagas. Suara langkah kakinya menuruni tangga dari lantai tiga sampai lantai dasar terdengar nyaring. Tak lama, suara sepeda motornya menyala.


Bagas masih terdiam di ambang pintu, dia menatap matahari yang hampir terbenam. Perasaannya semakin kacau, tadinya hanya pikirannya saja yang berantakan. Tapi ia tak mau ambil pusing, dengan segera dia balik badan dan mengambil ponselnya.


“Halo, malam ini jadi?”


———


Hujan rintik-rintik cukup untuk membasahi kota, menimbulkan jalanan licin dimana-mana dan membuat mayoritas orang enggan keluar dari kamar. Tapi di warung sate Cak Basri, pelanggan makin ramai. Aroma sate kambing memenuhi udara, bercampur dengan aroma bumbu kacang dan aroma hujan.


Beberapa pelanggan tampak sibuk melahap sate, sebagian mengobrol dan menyeruput segelas teh hangat. Sementara suara ceramah dari radio tak kalah menggema, hal yang selalu didengarkan Cak Basri ketika berjualan. Warung sate itu hanyalah sebuah tenda semi permanen dengan enam bangku. Di bangku pojok, Bagas yang mengenakan jaket hitam asyik membenamkan sate ke bumbu kacang, melumurinya hingga terbalut sempurna. Di depannya, Andri melakukan hal yang sama, menikmati sate kambing dengan lahap.


“Jadinya bagaimana?” Andri bertanya meski mulutnya sibuk mengunyah.


“Ya nggak gimana-gimana. Aku tetap mantap menikah.” Bagas menjawab tanpa ragu.


“Duitnya?”


Nah, itu baru yang kurang mantap.”


“Memangnya nggak bisa ditunda?”


“Aku kasihan, Ndri.”


“Tita sudah merengek-rengek minta dinikahi?”


“Kasihan sama diriku sendiri maksudnya.” Bagas menunjukkan senyum kecil di ujung kalimatnya.


Lho, memang kenapa?”


“Aku merasa hidupku sepi, tampaknya memang waktunya sudah tiba.”


“Kalau hidupmu sepi, nih.” Andri melemparkan korek gasnya ke tangan Bagas.


Lho?”


“Bakar saja ini warung sate biar rame kalau kamu merasa sepi.”


“Sialan.”


Mereka berdua tergelak. Bagas menghabiskan malam itu untuk bercerita soal rencana pernikahannya dengan Tita, soal Sintia yang tiba-tiba berubah sikap, dan dilanjutkan dengan kisah nabi-nabi dan teori konspirasi bahwa Soekarno masih hidup di kerajaan ghaib.


Andri adalah temannya yang bisa dipercaya. Meski Andri berpenampilan seperti remaja kurang gizi yang kurus kering dan selalu memakai pakaian kumal, tapi dialah orang yang bisa dipercaya untuk urusan bincang-bincang kehidupan. Andri kuliah di universitas tetangga, mereka berkenalan secara tidak sengaja di mesjid ketika sama-sama ketinggalan shalat jum’at 2 tahun yang lalu. 


Meskipun Andri religius dan Bagas lebih percaya alien ketimbang Tuhan, tapi mereka berdua tidak pernah berdebat soal siapa yang paling benar. Mereka berdua maklum bahwa kepercayaan tidak bisa dipaksakan. Satu kebenaran yang sama-sama mereka percayai yakni bahwa sate Cak Basri lebih enak ketimbang sate-sate lain di kota. 


Alasan lain Bagas berteman dengan Andri adalah untuk bertanya perkara religi. Tita, kekasih sekaligus calon istri Bagas adalah seorang perempuan religius penuh keteduhan, hal itulah yang kadang membuat Bagas minder, dirinya merasa malu ketika harus mengobrol perkara surga dengan Tita. 


Sejak pertama Bagas berkenalan dengan Tita dua tahun tiga bulan yang lalu, dia sudah merasakan bahwa ada sekat tebal diantara mereka berdua. Tapi sudah terlanjur basah, Bagas sudah terlanjur menaruh rasa cintanya, mau tidak mau ia harus mencari cara agar dirinya terlihat lebih berkharisma. Maka sejak saat itu ia mulai mengikuti kajian-kajian, dari majelis taklim yang biasa sampai grup perakitan bom berkedok kajian pernah ia masuki.


Hasilnya terlihat dua minggu yang lalu, ketika Bagas bertamu ke rumah Tita. Bagas bersama kedua orangtuanya datang bermaksud melamar Tita, dan gayung pun bersambut, calon mertuanya sumringah, lantas menentukan tanggal pernikahan yang akan jatuh dalam waktu satu bulan. Bagas kaget, ia hanya bisa mengangguk mendengar itu. 


Satu hal yang dia tidak perhitungkan adalah biaya. Kedua orangtuanya tak sanggup memberikan uang pesta sebesar 50 juta rupiah, sedangkan pesta pernikahan harus dilangsungkan mengikuti standar masyarakat. Bagas kembali mengangguk ketika orangtuanya menyerahkan segala urusannya pada dirinya sendiri, meski kedua orangtuanya mendoakan rezekinya dilancarkan, tapi ia tetap tak bisa menemukan jalan keluar darimana rezeki itu akan datang kepadanya.


Pekerjaannya hanya sebagai penulis cerita fiksi untuk majalah yang juga kurang terkenal. Penghasilannya yang lain adalah dari jual beli akun game dan menulis skenario untuk komik dewasa di internet. Tentu saja untuk mendapatkan uang 50 juta tidak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi satu bulan saja. Dua minggu berlalu dan uang yang bisa ia kumpulkan hanya 3 juta rupiah, itu pun jam tidurnya rusak dan ia harus berkali-kali minum obat tidur karena kelelahan sampai insomnia.


Bagas ingin minta uang pada orangtuanya tapi ia sadar bahwa dirinya sudah dewasa, dan ia paham kemampuan orangtuanya. Ibunya bekerja sebagai penjual donat keliling dan bapaknya hanyalah petani kopi. Lagipula, ia tinggal di kota yang berbeda, tidak bisa seenaknya minta uang. 


Dia hanya berharap akan datangnya keajaiban seperti yang selalu diceritakan oleh Andri, kisah mukjizat yang datang secara tiba-tiba.


—————


Keesokan paginya Bagas terbangun dalam keadaan linglung. Jam masih menunjukkan pukul 7 pagi tapi pintu sudah diketuk berkali-kali. Ia lantas bangun meski menggerutu, membuka pintu dan membiarkan cahaya matahari menerpa wajahnya.


Di depannya sosok yang tidak asing sudah berdiri. Rambut pirangnya terurai sebahu, kacamata minusnya yang tebal, lipstik berwarna peach yang cocok dengan kulit putihnya, dan kaos ketat serta celana pendek di atas lutut. Sintia.


Lho, pagi-pagi kok sudah kesini?” Bagas mengucek matanya.


“Memangnya nggak boleh?” Sintia melewati Bagas dan masuk ke kamar.


Bagas menutup pintu, kemudian melihat kawannya sudah berbaring terlentang di tempat tidurnya sambil asyik mengotak-atik ponsel. Bagas tak mau ambil pusing, ia masih mengantuk karena ternyata sate kambing yang ia makan semalam membuat tidurnya cukup pulas, dan ia masih mau melanjutkan tidur. Bagas menjatuhkan tubuhnya di kasur, di samping Sintia.


“Maaf ya, soal kemarin itu.” Sintia berbalik, ia menatap wajah Bagas.


Bagas hanya menggumam. 


“Andri cerita soal semuanya.” Sintia melanjutkan.


Bagas membuka matanya, dan wajah yang ia lihat adalah Sintia yang menatapnya dengan pandangan yang aneh. Raut muka yang belum pernah ia lihat sebelumnya, campuran antara kesedihan, rasa bahagia, dan ekspresi lain yang tidak bisa ia pahami.


“Menurutmu, apa kita bisa bersama untuk terakhir kalinya, sebelum kamu menikah?” Sintia bertanya, ia tersenyum kecil.


Ranjang kayu itu sudah cukup tua untuk menahan guncangan, berderit dan menimbulkan suara setiap kali ada gerakan keras yang terjadi di atasnya. Beruntung kamar kos Bagas cukup kedap suara untuk meredam suara mereka berdua pagi itu.


———————


Sore harinya, cuaca yang mendung cocok untuk menyantap semangkuk soto. Bagas duduk di luar di warung soto Mas Slamet. Dia masih menunggu Andri, makanya ia hanya memesan jeruk hangat. Sedangkan dari dalam warung, tercium aroma wangi sedap yang luar biasa. Pembeli mengantri, dan pemuda karang taruna setempat memanfaatkan ramainya pengunjung untuk pemasukan desa, mereka menjadi juru parkir mendadak.


Hanya 15 menit menunggu, Andri datang dengan sepeda motornya. Ia masih mengenakan jaket fakultas, rupanya selesai kegiatan organisasi, dia bergegas menemui Bagas. Setelah memesan soto ayam, mereka duduk menunggu sambil memperhatikan pengunjung warung yang datang dan pergi.


“Aku melakukan dosa besar,” Bagas memulai percakapannya dengan nada lesu “Sintia datang ke kosanku pagi tadi.”


“Urusan itu lagi?” Andri bertanya dengan santai, sambil menyedot es teh manisnya.


“Apa lagi kalau bukan itu?” Bagas menaikkan alisnya.


“Wah, aku nggak tahu mesti merasa senang atau sedih.”


Lho, kamu kan biasanya memberikan jawaban pasti, Ndri.”


“Tapi urusan ini lain lagi.”


“Kenapa memangnya?”


“Kata orang, sebelum menikah memang cobaannya berat, tapi kalau cobaannya seperti itu, aku bingung harus memberikan solusinya.”


“Bagaimana menurutmu?”


“Kalau tadi itu yang terakhir, ya sudah. Asal jangan diulangi lagi, anggap saja kamu beruntung dan dapat cobaan yang tidak bisa ditolak. Terus taubat.”


“Mana bisa begitu?”


Nah, itu tahu!”


Mereka menjeda obrolan ketika pegawai warung menyajikan dua porsi soto ayam ke atas meja. Bagas hendak melanjutkan pembicaraan, tapi Andri memberi saran untuk makan terlebih dahulu, selain karena perutnya sudah keroncongan seharian beraktivitas di kampus, ia juga ingin Bagas memiliki sedikit semangat hidup. Soto ayam Mas Slamet memang juara, mereka menghabiskan makanan masing-masing dalam waktu beberapa menit saja, lengkap dengan uritan dan tempe goreng.


Sambil menunggu makanannya turun ke perut, Bagas menyalakan Camel dan menawari Andri rokok, tapi pemuda itu alergi rokok putihan, ia mengeluarkan sebatang Gudang Garam Surya sebagai rokok andalannya.


“Bagaimana kalau aku batalkan saja pernikahanku dengan Tita?”


“Ya bisa saja.”


Lho, kok mulutmu enteng sekali menjawabnya?”


“Apa sih yang nggak bisa?”


“Tapi tadi Sintia bilang dia mau pergi jauh agar bisa melupakanku, kalau aku batalkan pernikahanku, aku kehilangan semua harapanku.”


“Tapi kalau tidak kamu batalkan, kasihan Tita. Menurutku kamu batalkan saja, terus bilang ke Sintia kalau kamu membatalkan pernikahanmu, siapa tahu dia mau terus terang kalau dia suka kamu, terus kalian menikah.”


“Kalau ngomong emang gampang, Ndri.”


Andri menghisap rokoknya dengan khidmat, dia tampak ikut dalam kecemasan yang sama dengan Bagas. Mereka berdua larut dalam keheningan masing-masing, sekalipun pegawai warung berteriak-teriak memanggil nama pelanggan yang tak kunjung mengambil soto pesanannya.


———————-


Malamnya Bagas tak kunjung tidur, ia sudah menyelesaikan 5 halaman penuh cerita erotis untuk dikirimkan kepada editor. Dia berusaha tidur dengan mendengarkan musik sedih, tapi dia terbawa suasana, ia tak kunjung tidur, melainkan ikut menangis terisak sambil giginya menggigit guling. Bagas ingin tidur, ia bermain game, tapi bukannya kantuk, malah amarah yang timbul.


Waktu bergulir semakin cepat, dan ia semakin cemas dengan kehidupannya yang semakin tak karuan. Ketika jam menunjukkan 00.00, dia berpikir untuk menyerahkan jiwanya kepada iblis agar dia tidak hidup dalam kecemasan, tapi dia tidak percaya adanya iblis. 


Jarum jam di angka dua, artinya beberapa jam lagi matahari akan terbit dan ia tak kunjung tidur. Karena bosan, ia mencoba menghubungi Sintia, tapi panggilannya selalu ditolak. Dia mencium aroma kasurnya yang masih penuh dengan parfum Sintia. Betapa cinta selalu berbatasan langsung dengan kesedihan.


Dia berdo’a sebelum tidur untuk pertama kalinya sejak ia lulus madrasah. Kemudian ia terlelap.


———————


Seminggu menjelang pernikahan, Tita meneleponnya beberapa kali jam enam pagi. Ponselnya berdering, dan meskipun agak malas, dia mengangkatnya.


“Halo?”


“Mas, aku baru saja dapat izin dari orangtuaku untuk kita bisa menikah secara sederhana saja.”


“Maksudnya?”


“Aku tahu Mas susah cari uang, Abi dan Umi setuju kalau kita menikah di rumah saja secara sederhana, tanpa pesta, yang penting sah secara agama sah secara hukum.”


Lho, beneran?”


“Betul, Mas. Alhamdulillah ya, mungkin ini kemudahan yang dijanjikan Allah, Mas kesini saja.”


Bagas menutup teleponnya segera. Ia sujud syukur untuk pertama kali dalam hidupnya. Mukjizat tampaknya jatuh di tempat yang benar. Ia segera mengabari Andri soal ini, dan Andri menawarkan diri untuk menemaninya bersiap melangsungkan pernikahan.


———————


Pernikahan berlangsung dengan khidmat. Bagas begitu sumringah, begitu pula dengan kedua keluarga yang hadir. Dia merasa terlahir kembali, dan rasa bahagia tak bisa dibendung, dalam setiap foto yang diabadikan di pernikahan mereka, terlihat Bagas ceria dengan wajah berseri-seri. Tita juga tampak bahagia, meskipun mulutnya tertutup cadar.


Andri yang ikut hadir memberikan pelukan bahagia kepada Bagas, sebagai tanda bahwa ia ikut bangga dan bahagia. Hari itu adalah hari kemenangan, puncak dari hari-hari sial dan hari-hari penuh kecemasan dalam hidup Bagas. Dia merasa lebih hidup, semangatnya terlahir kembali.


“Aku janji habis ini mau jadi imam di mesjid.” Kata Bagas kepada Andri, ketika mereka merokok sore hari usai acara.


“Wah, tidak sia-sia rupanya aku menceramahimu selama ini.”


“Aku bosan, Ndri, hidup nakal.”


“Ya memang harus begitu, hidup harus ada perubahan.”


Keduanya tersenyum. 


———————


Bagas menepati janjinya, dia berubah menjadi sosok yang lebih lembut, lebih bahagia, dan lebih baik. Setiap subuh, dia tak pernah lupa untuk berjamaah di mesjid, ketika dzuhur tiba, dia yang lebih dulu datang untuk mengumandangkan adzan, ketika ashar tiba, dia datang untuk mengajari anak-anak mengaji dan menjelaskan sejarah Islam, dan maghrib sampai isya dia menjadi imam. Hingga akhirnya masyarakat secara kompak memberikannya gelar Kyai karena perannya membangun agama dalam kehidupan sosial. Kyai Bagas.


Hari-hari berlalu. Pas dua bulan Bagas dan Tita menikah ketika kurir logistik datang ke rumah Tita dan Bagas untuk mengantarkan paket. Sebuah paket yang dibungkus dalam kardus yang cukup besar.


Bagas membukanya dengan penasaran, tapi juga tidak terlalu berharap, ia berpikir itu kiriman kitab-kitab untuk anak-anak mengaji di mesjid yang ia pesan ke penerbit beberapa waktu lalu.


Ketika kardus dibuka, wajahnya berubah menjadi merah, bola matanya hampir copot keluar. Ia menengok kanan-kiri untuk memastikan istrinya tidak ada di ruang tamu, kemudian ia bergegas ke kamar membawa kardus dan mengunci pintu.


Di dalam kardus, di bagian atas terdapat beberapa lembar foto hasil USG, di bagian bawah, ada testpack yang dibungkus plastik mika, selembar kertas berisi tulisan tangan yang ia kenali betul, dan paling bawah ada satu buah kaos hitam dengan gambar Metallica. 


Bagas membaca tulisan di kertas dengan gemetar 


Bagas,

Mungkin dua bulan yang lalu karena sedang stress, kamu lupa pakai pengaman, tapi berkat itu, janin ini sekarang ada di perutku. Anak ini akan aku namai Steinbeck, agar ketika kelak dia tumbuh, dia bisa menceritakan kisah bapak dan ibunya seperti John Steinbeck di East of Eden. 

Kamu mungkin bahagia di sana, tapi aku juga bahagia di sini. Aku akan membesarkan anak ini sendirian, tidak ada yang akan tahu kecuali dirinya sendiri. Aku tidak akan meminta pertanggung jawaban apapun, tapi anak ini tentu akan memiliki segudang pertanyaan yang hanya kamu yang bisa menjawab. Jika suatu saat dia tumbuh besar dan mencarimu, berikanlah jawaban itu. Hidup mungkin terlalu rumit untuk dijalani, tapi begitulah jalan yang harus ditempuh setiap manusia. Kerumitan itu adalah bumbu dari kehidupan.


Kyai Bagas melolong. Sumpah serapah keluar dari mulutnya. Istrinya menggedor pintu untuk memastikan keadaannya, tapi Kyai Bagas makin kencang berteriak dengan tangisan tersedu-sedu. Ia semakin merasa hina saat ia menyadari sejak kejadian pagi itu, dia belum sempat melakukan taubat seperti yang disarankan Andri.


Kyai Bagas hilang akal, pikirannya kembali seperti semula, ia ingin loncat dari jendela dan kabur mengasingkan diri. Dia hanya ingin meneguk anggur merah kemudian gantung diri di kamar kosnya. Tapi otaknya sudah sulit untuk berpikir lebih jauh.


Dari luar pintu kamar, Tita menggedor pintu sambil menyuruh Kyai Bagas istighfar. Tapi iblis itu keluar lagi dari kepalanya, betapa cinta yang ia berikan kepada Tita ternyata tidak pernah sedalam yang ia berikan pada Sintia. Tita mungkin mengubahnya menjadi orang baik, tetapi hatinya tetap mengatakan bahwa ia lebih menyimpan separuh jiwanya untuk Sintia.


Kyai Bagas hilang akal, dia membantingkan kepalanya ke tembok berkali-kali. Ketika warga dan istrinya mendobrak masuk, Kyai Bagas sudah terkapar dengan tengkorak pecah dan darah mengalir membasahi seisi ruangan. Merendam sepucuk surat dan tiga lembar foto USG.


Nun jauh di sana, ditemukan mayat seorang ibu hamil dua bulan gantung diri, di kamar kosnya yang penuh surat yang tak pernah ia kirimkan.



24/01/2023


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Macam-Macam, Jenis dan Contoh Cara Penggambaran Tokoh dalam Cerita

Jagat Alit - Godi Suwarna