Basa-Basi #38 : Loyalitas dan Absurditas

 


Saya sedang berselancar di twitter ketika sebuah berita mengejutkan muncul : Ferdy Sambo, sang penjagal yang ramai selama beberapa bulan terakhir itu dijatuhi vonis mati. Berita lain yang tak kalah mencengangkan juga muncul, yakni Giorgio Ramadhan, pengemudi mobil Fortuner yang berkelahi dengan pengemudi lain di jalanan Jakarta ternyata adalah simpatisan Russia dalam konflik Ukraina-Russia yang terjadi setahun terakhir.


Saya mengikuti kasus Ferdy Sambo meskipun hanya melalui media daring dan berita yang terkadang muncul di laman utama twitter atau youtube. Hal menarik dari kasus Sambo, sejauh ini adalah banyaknya individu yang terseret karena sang napi. Pada agustus 2022, 22 orang polisi dimutasi karena melakukan pelanggaran etik dalam kasus Sambo dengan komposisi 4 Kombes, 5 AKBP, 2 Kompol, 4 AKP, 2 IPTU, 1 IPDA, 1 Bripka, 1 Brigpol, 2 Briptu dan 2 Bharada. Selain mereka, 83 orang polisi waktu itu pernah diperiksa karena kecurigaan dalam hal yang sama.


Di sisi yang lain, Giorgio Ramadhan juga ternyata seorang simpatisan Russia garis keras. Di media sosialnya yang ramai diperbincangkan, Giorgio memasang foto-foto dengan tema mendukung Russia—selain itu, Giorgio juga cosplay tentara Russia dan memperlihatkan dirinya sebagai seorang penggemar dunia militer. Mungkin karena hal-hal ini, Giorgio dicap sebagai musuh Ukraina, bahkan secara resmi, pihak Ukraina memasang foto Giorgio sebagai buronan negara itu.


Dari kedua kasus yang sedang ramai belakangan ini, saya menarik satu garis, yakni loyalitas. Banyaknya gegeran yang terjadi akhir-akhir ini tampaknya memiliki kecenderungan pada loyalitas semu yang berujung pada permasalahan baru. Bahkan kisah-kisah lain yang lebih kental dengan loyalitas juga muncul.


Misalnya, saat sidang Tragedi Kanjuruhan di PN Surabaya, sekelompok Brimob meneriakkan yel-yel di ruang sidang. Hal ini kemudian menjadi sorotan karena warganet merasa loyalitas semacam itu tidak perlu ditunjukkan saat seorang personil duduk di kursi terdakwa dan menjalani sidang atas sebuah kasus yang merenggut banyak nyawa. 


Puluhan anggota Brimob itu mungkin hanya menyemangati, berusaha bersikap suportif kepada kawannya yang sedang dilanda permasalahan. Mungkin juga Giorgio, yang merasa dirinya cinta dengan Russia merasakan hal yang sama: dia hanya ingin ikut andil dalam peperangan Russia sebagai tanda loyalitas. Corak yang sama mungkin memiliki alasan yang juga sama : kawan-kawan dekat Sambo dan juniornya juga mungkin saja tidak berniat mengintervensi jalannya persidangan, tapi hanya menunjukkan jiwa setia kawan mereka.


Tapi yang menjadi permasalahan adalah seberapa besar takaran loyalitas yang perlu kita keluarkan? 


————————-


Sisifus, tokoh mitologi Yunani konon menghabiskan sisa hidupnya untuk mendorong batu ke atas puncak gunung. Ketika batu itu sudah berhasil dia angkat dengan susah payah, batu itu kembali menggelincir ke dasar gunung. Sisifus kemudian kembali mengulangi hal yang sama : mendorong lagi batu itu ke puncak gunung dan hal yang sama terjadi berulang-ulang. Sebuah kesia-siaan. 


Mitos ini kemudian diangkat oleh Albert Camus, sang filsuf yang populer dengan teori absurditasnya. Menurut Camus, absurditas adalah ketidakharmonisan antara keinginan manusia untuk mencari makna hidup dengan kenyataan bahwa dunia tidak memberikan jawaban yang pasti akan apa yang dicari manusia.  Camus menggambarkan absurditas sebagai perasaan dimana manusia menyadari mereka hidup dalam dunia yang tidak adil, tidak rasional, dan dipenuhi dengan ketidakpastian.


“The struggle itself towards the heights is enough to fill a man’s heart. One must imagine Sissyphus happy.”


Menurut Camus, perjuangan yang terkesan sia-sia itu mungkin membuat Sisifus senang. Absurdnya kehidupan mungkin mendatangkan kebahagiaan jika proses perjuangannya itu sendiri dimaknai. Meskipun kebahagiaan itu tidak absolut, tetapi sesuatu yang sementara.


Perjuangan manusia mencari makna hidup barangkali terlampau rumit untuk dicerna otak masyarakat cemen seperti saya. Pencarian manusia akan makna hidup selalu berujung pada kesia-siaan, atau seperti yang digambarkan Camus: kita akan kembali ke titik semula, dan kembali mengulang untuk mencari makna hidup. Seperti Ouroboros, ular yang terus menerus memakan ekornya dalam keabadian.


Loyalitas semu barangkali memiliki kemiripan. Manusia selalu menyuntikkan ekstasi bernama loyalitas ke dalam tubuhnya untuk merasa bahagia, atau setidaknya mendapatkan sedikit pengakuan. Tapi terkadang, manusia hanya berputar-putar dalam pencarian makna loyalitas itu sendiri. 


—————


Manusia seringkali jatuh dalam loyalitas yang tidak jelas dan tidak pasti. Saya memiliki seorang kawan yang hidupnya berkelindan dengan organisasi. Agendanya tiap minggu adalah kopdar, rapat organisasi, atau menjadi panitia bagi perkumpulan-perkumpulan yang dia dalami. Di satu sisi, dia menyadari bahwa kehidupannya di organisasi tidak memberikan dampak signifikan untuk perkembangannya sendiri, tapi di sisi lain, dia merasa belum menemukan puncak yang dia mau dalam berkumpul sosial. Dia menginginkan posisi dimana dalam struktur organisasi, dirinya berada di puncak dan semua orang akan menuruti semua keinginannya, tapi sebelum mencapai itu, dia harus menuruti keinginan sang senior dengan alasan loyalitas.


Kawan saya yang lain, kehidupannya dipenuhi dengan huru-hara. Selain itu, dia menjadi anggota perkumpulan pemuda yang cukup terkenal di pulau Jawa. Dengan memakai ‘seragam’ kebanggaannya, dia kesana-kemari mencari mangsa. Dimana ada keributan, dia pasti ada di sana. Kadang dia hanya sekadar menyemangati perkelahian, tapi tak jarang dialah yang ada di arena pertarungan dan berselisih paham dengan yang lain. Ketika ditanya mengenai kebiasaannya yang penuh dengan kerusuhan itu, dia menjawab sederhana, bahwa organisasi dan loyalitas antar perkumpulan menjamin keselamatannya.


Loyalitas ini kemudian menjadi bentuk eskapisme bagi sebagian orang. Dengan kalimat sederhana, bahwa ketika nyalimu tak sebesar yang lain, lebih baik kamu bergabung dengan orang-orang lain yang sepaham, dengan bumbu solidaritas dan loyalitas, kamu akan merasa aman. Setidaknya, ketika kamu bermasalah dengan seseorang, ada orang-orang yang siap membawa pentungan di belakangmu.


Hal ini mungkin bentuk eskapisme manusia akan absurditas. Banyak yang beranggapan bahwa dengan memupuk loyalitas dan solidaritas yang tinggi, manusia bisa kabur dari ketidakbermaknaan hidup. Hidup ini cuma sementara, dan yang bisa manusia lakukan adalah menikmatinya selama dia masih bernafas.


Urip mung mampir ngombe, begitu kata orang Jawa. Manusia hidup itu hanya untuk mampir minum. Maka, ketika hanya sekadar mampir minum, tidak perlu ndakik-ndakik memikirkan makna dan arti kehidupan, karena akan sia-sia saja yang didapatkan. 


Manusia mempertanyakan makna dan tujuan hidup, tapi kemudian sia-sia. Maka yang bisa dilakukan manusia adalah menikmati ketidakrasionalan ini. Beberapa orang mungkin menanggapi kalimat ini terlalu serius, bahwa kefanaan manusia di dunia tidak perlu diambil pusing, tapi dinikmati sebaik mungkin.


———————————


Kembali ke urusan loyalitas setelah sedikit menyinggung soal absurditas. Manusia terkadang lupa bahwa kebebasan manusia selalu berbatasan dengan kebebasan manusia yang lain. Setidaknya, itu yang dikatakan Sartre, bahwa hell is the other people, neraka itu orang lain. Saya bisa saja telanjang bulat sambil berlari dan makan eskrim di alun-alun, tapi selain masih punya secuil rasa malu, kebebasan saya juga bertentangan dengan kebebasan orang lain. Saya tidak bisa memaksakan kehendak, karena meskipun saya senang melakukannya, orang lain mungkin jijik, trauma, atau ketakutan.


Man is condemned to be free, kata Sartre lagi. Manusia dikutuk dengan kebebasannya. Kebebasan itu adalah sebuah kutukan yang memenjarakan kita. Karena tanggung jawab kita besar atas semua perbuatan yang kita lakukan. 


Kebebasan manusia dibatasi dengan tanggung jawabnya. Tapi terkadang, manusia merasa jauh lebih bebas dengan embel-embel organisasi maupun perkumpulan pertemanan tertentu. Sebagian orang bisa mengabaikan aturan, atau menolak prinsip moral yang ada hanya karena alasan loyalitas.


Seorang kawan menceritakan pengalamannya beberapa malam yang lalu. Dengan suara penuh amarah, dia meledak-ledak menceritakan bagaimana bobroknya sistem manajemen yang ada di kantornya. Perusahaan yang dimiliki pemerintah tempatnya bekerja ternyata menyimpan segudang masalah.


Sumber masalahnya sederhana, yakni senioritas berbumbu loyalitas yang kuat dan kotor. Seorang ketua divisi rupanya sedang berusaha untuk naik jabatan dan mendapatkan sorotan lebih dari senior yang lebih tinggi. Dia melakukan segala cara untuk bisa menjilat telapak kaki atasannya, dari membuat kegaduhan, lempar tanggung jawab, hingga merekayasa laporan yang ada. Kejadiannya makin parah ketika individu ini—yang akan kita sebut Madam—secara terang-terangan menyatakan perang dengan bawahannya.


Dia mengklaim semua keberhasilan sebagai hasil kerja kerasnya, sedangkan kesalahan yang jelas-jelas rantai komandonya berasal dari Madam ini, dia melemparkan semuanya kepada tim. Di hadapan sang senior, Madam merasa perlu untuk pamer betapa superior dan kerja kerasnya harus diakui, dan dia selalu gesit untuk menghalang-halangi kemajuan yang idenya berasal dari tim. 


Loyalitas yang menjebak ini kemudian menjadi lingkaran setan. Madam semakin gila dengan liurnya yang menetes-netes melihat jabatan yang mungkin bisa dia raih, dan untuk mencapai itu, dia perlu loyal pada sang atasan. Bawahan Madam, sebagian besar tentu saja geram dengan sikapnya yang selalu melempar tanggung jawab dan bersikap manis di depan atasan. Sayangnya, sebagian kecil orang yang dekat dengan Madam merasa hal ini juga bisa dia manfaatkan sebagai celah lebar untuk promosi karir. Beberapa orang kemudian menjilat Madam, dengan melaporkan kesalahan-kesalahan yang tidak perlu.


Madam semakin otoriter, memberikan usulan-usulan dan beban kerja yang kian tak masuk akal. Beberapa orang bersiap untuk menjilat madam dengan tujuan kedekatan dan loyalitas. Sedangkan madam terus menjilat pada sang atasan. Saling jilat dalam kode loyalitas ini tidak memiliki ujung yang pasti. Betapa bobroknya manajemen perusahaan tentu dirasakan semua orang yang ada di dalamnya, tapi hanya sebagian orang yang mengambil kesempatan untuk menjilat, sebagian lainnya menahan geram dan tangis karena penindasan makin menjadi-jadi.


—————————————


Sikap loyal adalah sesuatu yang bagus. Tidak ada yang salah dengan loyalitas. Hanya saja manusia cenderung menjadi membabi-buta mengabaikan prinsip moral ketika harus berhadapan dengan loyalitas. Manusia lupa bahwa keluarga, teman, atasan, atau bahkan organisasi bukanlah alasan untuk menabrak aturan yang ada.


Manusia yang jatuh dalam pencarian makna hidup dan menemukan dirinya sebagai loyalis sejati terkadang bingung dalam menentukan sikap. Sehingga pergulatan batinnya yang tiada henti adalah satu kesetiaan menuju kesetiaan yang lain. Manusia merasa eksis, berguna, dan bermakna ketika dirinya setia dan berguna bagi yang lain.


Tapi kemudian pertanyaan yang sama berulang-ulang muncul semakin jelas, seberapa besar takaran loyalitas yang kita perlu keluarkan?


Loyalitas tanpa batas. Konon begitu jargon mengatakan. Kesetian manusia pada kawan, keluarga, atasan, atau organisasi. Tapi jangankan setia pada sesuatu yang kecil seperti manusia, toh kita cinta dan setia pada tanah tanah air pun di titik tertentu memiliki batas ekstrimnya yang akan menjatuhkan kita kepada chauvinism.


Loyalitas tanpa logika dan batasan moral hanya akan menjatuhkan kita pada jurang kehancuran. Dalam banyak perkumpulan, loyalitas selalu dijadikan jargon nahwa itulah satu-satunya kehormatan seorang anggota, entah itu kepada organisasi, maupun kepada sang senior. Loyalitas palsu ini berujung hanya tameng untuk melanggengkan kekuasaan dan superioritas seorang yang lebih tinggi, atau sebagai upaya menjilat saja.


Bagaimanapun, mungkin menjadi loyal adalah satu-satunya pilihan yang menjadi konsekuensi kebebasan manusia. Bisa jadi juga bahwa loyalitas bagi sebagian orang adalah jalan menuju pencarian makna hidup, meskipun mereka tahu bahwa pada akhirnya semuanya akan berulang terus menerus dalam fase yang tak terbatas. 


Atau mungkin, loyalitas hanyalah satu dari sekian banyak cara manusia untuk eksis dan mendapatkan pengakuan, setidaknya merasa berguna. Tak peduli seberapa bodoh loyalitas itu menggiring pantat mereka menuju kebodohan lain yang tak terhingga.


Ciamis, 15-16 Februari 2023.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Macam-Macam, Jenis dan Contoh Cara Penggambaran Tokoh dalam Cerita

Jagat Alit - Godi Suwarna