Basa-Basi #39 : Salah Kaprah

 



Sekitar tiga atau empat tahun ke belakang, ada sebuah kejadian yang menggegerkan. Seorang bocah yang masih sekolah menengah tiba-tiba diisukan hamil, perutnya sebetulnya tidak menampakkan perubahan karena badan si anak cenderung bongsor. Isu itu berkembang menjadi fakta tatkala orang tua sang anak menarik anaknya dari sekolah, kemudian menikahkan anaknya—tentu nikah siri—dan memindahkannya ke kota lain. Sejak saat itu, saya tidak mendengar berita lain lagi mengenai anak ini.


Sebut saja namanya Melati. Kehidupan sekolahnya diwarnai dengan prestasi dan cukup aktif. Kecerdasannya juga luar biasa, setidaknya sejak SD, saya sedikit mengenal anak ini. Tidak ada yang aneh bahkan sampai ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari sekolah. Dari gosip yang beredar, yang menghamilinya konon masih teman satu sekolahnya. Informasi terakhir yang saya dapatkan, sang jabang bayi tidak digugurkan, melainkan dilahirkan secara normal dan mereka membentuk keluarga baru di kota lain. 


Fenomena hamil diluar nikah bukanlah hal yang baru. Apalagi untuk anak-anak remaja yang masih dalam masa pubertas, konon syahwatnya berada di puncak. Hal yang menarik adalah menanggapi bagaimana pencegahan dan kekhawatiran orang tua, pada umumnya di daerah pedesaan maupun suburban


————————————————


Masa sekolah adalah masa eksperimen. Rasa ingin tahu pada anak-anak remaja di masa sekolah betul-betul tinggi dan tak terbendung. Sebagian menyalurkannya untuk hal yang positif, sebagian untuk hal negatif. Sebelum menggunjing orang, saya ingin bercerita mengenai dosa-dosa masa sekolah yang tidak patut untuk ditiru. 


Masa sekolah menengah adalah masa-masa dimana saya pertama kali mencicipi alkohol dan rokok. Waktu itu hujan turun dengan lebat di malam minggu, saya dan beberapa kawan memutuskan untuk bersukacita mengisi malam libur. Seperti anak sekolah pada umumnya, kami berkumpul dan bakar ayam. Hal yang baru bagi saya ketika seorang kawan membeli minuman keras jenis anggur secara patungan. Waktu itu harganya sekitar 50 ribuan per botol, sedangkan untuk miras produksi rumahan atau homemade seperti ciu, arak, atau tuak masih berkisar sepuluh sampai dua puluh ribu per liter.


Tidak bisa dipungkiri bahwa sejak saat itu saya tertarik dengan alkohol. Sehingga sampai beberapa tahun kemudian, saya secara casual masih mengkonsumsi alkohol berbagai jenis. Sebelum akhirnya saya memutuskan untuk tidak lagi mengkonsumsi alkohol dua tahun lalu, sebelumnya saya termasuk cukup kuat menenggak minuman keras. Tapi setelah bosan, ada fase dimana saya merasa alkohol itu lebih banyak mudharatnya dibandingkan manfaatnya. Karena setelah saya bekerja, memiliki banyak kesibukan, alkohol ternyata menurunkan efektivitas kerja.


Permasalahannya dengan hal ini yakni tidak semua orang bisa memiliki kesempatan untuk keluar dari alkohol, atau lebih dari itu, seperti seks bebas. Saya meyakini bahwa lingkungan dan keluarga adalah pendorong utama seseorang dalam menjalani hidup. Seseorang yang hidup dengan ugal-ugalan bisa dipastikan memiliki lingkaran pertemanan atau keluarga yang sama ugal-ugalannya. 


Saya ingat terakhir kali minum alkohol ketika saya membeli dua botol bir dengan jenis pilsener. Botol pertama berhasil saya habiskan, tapi botol kedua baru seperlima botol saja rasanya sudah tak karuan. Selain itu, waktu itu saya sedang bersemangat tertarik dengan kopi. Saya memiliki rutinitas minum lain yakni menyeduh kopi berbagai jenis dan minum teh. Lama kelamaan, hasrat untuk minum alkohol saya menjadi hilang sampai akhirnya saya benar-benar berhenti. Atau lebih tepatnya, selera minum saya teralihkan secara tidak sengaja menjadi hobi minum kopi.


Selain itu, pada waktu yang bersamaan saya sudah memiliki seorang kekasih yang cukup agamis dan memiliki moral yang lebih baik. Teman-teman saya juga mulai berubah, dari yang tadinya setiap nongkrong harus selalu ada alkohol menjadi orang-orang yang setiap ke burjo harus selalu minum es jeruk atau kopi panas. Lama kelamaan, lingkungan saya juga berubah dan hal itu semakin menjadikan saya lebih anti terhadap alkohol.


Saya tidak menampik fakta bahwa beberapa teman saya masih sering minum minuman keras. Tapi tentu semakin dewasa, mereka juga lebih paham bahwa alkohol bukan jalan satu-satunya untuk menambah keakraban.


————————————


Harga kondom itu tidak lebih mahal dari harga popok. Satu pak dengan isi tiga kondom harganya bisa dijangkau dengan sepuluh sampai dua puluh ribu saja, kecuali untuk jenis tertentu. Banyak yang mengatakan hal demikian, bahwa memakai kondom adalah jalan paling aman ketika libido sudah naik ke puncak pikiran.


Hal yang mungkin terlupakan adalah kenyataan di lapangan bahwa kebanyakan kasus hamil diluar nikah terjadi pada remaja puber yang masih belum dewasa. Belum memahami konsep konsekuensi. Apalagi kalau diajak berputar-putar membahas konsep moral atau hukum sebab-akibat. Kadang, agama juga sering terlupakan saat nafsu sudah di depan mata.


Perbedaan mendasar dari anak-anak remaja dengan orang dewasa ketika melakukan hubungan seks adalah waktu dan tempat. Hal ini penting tapi sering terlewatkan untuk dibahas.


Pemuda pemudi seperti mahasiswa atau mahasiswi yang melakukan hubungan seks, memiliki kecenderungan hamil diluar nikah yang tampaknya lebih rendah dibandingkan anak sekolah yang sedang bereksperimen dengan reproduksi. Meskipun beberapa orang dewasa yang ceroboh juga bisa ‘meleset’. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari ketersediaan waktu dan tempat.


Jika kita menelusuri kehidupan liar pemuda-pemudi Indonesia di twitter misalnya, ketika mereka bercinta, rata-rata dengan sengaja menyewa hotel atau apartemen. Selain itu, karena sebagian besar sudah aware dengan Penyakit Menular Seksual (PMS) mereka juga biasa menggunakan kondom untuk berjaga-jaga. Waktu yang dipilih juga biasanya pulang kerja, libur kuliah, atau di hari-hari lain yang lebih luang.


Hal diatas sulit didapatkan untuk anak-anak remaja yang masih duduk di bangku sekolah. Pertama, mereka rata-rata tidak memiliki kemampuan untuk menyewa hotel, tentu saja karena uang masih minta ke orang tua. Kedua, awareness pada PMS juga masih cukup rendah, dan rata-rata informasi mengenai seks yang didapatkan anak-anak remaja ini hanya bersumber dari konten di media sosial atau situs penyedia layanan video esek-esek. Ketiga, waktu untuk anak sekolah tentu saja terbatas, apalagi rata-rata masih tinggal bersama dengan orang tua. Ditambah dengan pengambilan keputusan pada anak remaja masih tergolong rendah dan sederhana, menjadikan semuanya sebagai bencana besar.


Alih-alih menyewa tempat yang layak dan privat seperti hotel, misalnya, kebanyakan anak remaja yang sedang ingin bercinta memilih jalan pintas. Sebagian mungkin melakukannya di rumah ketika sepi, sebagian melakukannya di toilet umum, sebagian di kebun yang sepi, dan tak jarang melakukannya di tempat wisata bahkan toilet tempat ibadah. Kejadiannya pun biasanya tidak terkonsep, alih-alih merencanakan untuk bertemu dimana jam berapa, mereka lebih spontan dan oportunis. Maka jangan heran jika mereka tidak sempat membeli kondom, lha merencanakan saja tidak bisa.


————————————-


Orang tua merasa jika seks adalah hal yang tabu. Kata-kata yang keluar biasanya “Tidak perlu diajarkan, suatu saat bakal bisa sendiri.” dan hal ini menjadi masalah besar. Karena minimnya pencegahan dari orang tua membuat anak-anak bisa kelewat batas. Tapi menjadi strict parent juga bukanlah pilihan yang tepat, karena anak bisa melakukannya dan tidak akan pernah mau bercerita dengan orang tua yang terlalu keras. Menjadi orang tua yang membebaskan pun bukanlah jalan keluar.


Siap atau tidak, dunia berjalan menuju sesuatu yang baru dalam peradaban, yakni globalisasi dan arus informasi yang kian melaju. Selain akses kepada edukasi lebih mudah untuk masuk, akses masyarakat pada terorisme, prostitusi, bahkan perjudian pun lebih mudah. Ini adalah sebuah keniscayaan bahwa kita tidak lagi bisa mengontrol anak, bahkan jika sang anak tidak diberi akses terhadap ponsel, ia masih bisa bergaul dengan kawan-kawannya yang memiliki akses.


——————————————-



Memiliki anak adalah sebuah rezeki. Konon, anak adalah rezeki yang dititipkan oleh Tuhan untuk para orang tua. Tapi mungkin rezeki yang dititipkan oleh Tuhan ini bisa jadi salah penanganan ketika yang menerimanya tidak siap. 


Permasalahan utama dari hamil diluar nikah, utamanya untuk anak remaja adalah ketidaksiapan. Misalnya ketidaksiapan finansial, mental, bahkan fisik. Sepasang kekasih yang sedang dipenuhi rasa cinta—atau cinta monyet—kemudian secara ‘tidak sengaja’ mendapati sang perempuan bunting dan melahirkan anak tentu merupakan sebuah masalah. Mereka tidak siap dengan apa yang dihadapinya : seorang bayi manusia yang merengek-rengek dan menangis minta susu.


Hal ini kemudian memaksa sang orang tua untuk bekerja, dan mau tidak mau putus sekolah—apalagi jika keluarga besarnya tidak ada yang mau membantu dengan bayi mereka. Sang bapak yang mungkin masih senang bermain mobile legends atau PUBG secara terpaksa harus bekerja untuk membeli popok, dan sang istri yang masih ingusan perlu menyusui untuk pertama kalinya di umur belasan. Hal ini menimbulkan rentetan permasalahan yang jauh lebih serius pada masyarakat secara umum.


Permasalahan ekonomi biasanya terjadi di fase ini, sehingga tidak heran banyak anak remaja di awal 20an tahun sudah menjanda. Sebagian karena sang suami yang tidak mampu bekerja—karena memang belum waktunya—sebagian lain karena sang suami memang sedang masa puber dan kecantol wanita lain. Perceraian terjadi, masalah ekonomi muncul. Dan hal yang paling menyedihkan bukan untuk sang bapak yang harus bekerja di usia muda, bukan pula untuk sang ibu yang harus menjanda, tapi bagi sang anak yang harus menghadapi kesialan berturut-turut bahkan sejak badannya belum utuh terbentuk di perut ibunya.


Anak ini akan tumbuh tanpa ayah biologisnya yang mungkin kabur entah kemana, hanya ditemani sang ibu yang berjuang sendirian untuk membesarkannya, dan ketika waktunya sudah tiba, dia akan terheran-heran melihat tanggal lahirnya dan membandingkan dengan surat kawin ibu-bapaknya. Belum tanggapan masyarakat yang mungkin sebagian akan menatap sinis ke arah wajahnya, dan sebagian akan menudingkan jarinya ke keningnya sambil mengatakan bahwa ia anak yang tak diinginkan.


Bagaimanapun, saya berdoa agar semua anak yang lahir tanpa direncanakan untuk hidup lebih baik. Lebih baik dari bapak dan ibunya, menerima kenyataan yang mungkin sedikit kurang enak di telinganya, dan tumbuh besar sebagai seseorang yang kuat menghadapi kerasnya dunia. 


Meskipun istilah ‘anak haram’ masih populer, saya merasa bahwa anak-anak itu tidak pernah haram. Mereka lahir dengan suci dari rahim ibunya, dan yang lebih tepat diberikan label haram adalah ayah dan ibunya. Bukan perkara agama, tapi kedangkalan otak. Label orang tua durhaka juga tampaknya perlu disematkan kepada pasangan-pasangan semacam ini, yang hanya berani berbuat tapi tidak berani bertanggung jawab.


————————-


Dibalik senyuman manis anak-anak yang dilahirkan tanpa direncanakan, biasanya ada orang tua yang masih bersikap kekanak-kanakan. Dengan kedangkalan otak yang penuh rasa ignorance. Dalih mereka biasanya “Lho, kan bukan masa subur, kok bisa hamil?”


Atau yang lebih klise “Karena sedang di puncak, aku lupa keluar dimana.” dan yang lebih bajingan adalah laki-laki sok jago yang merasa barangnya lebih canggih dan presisi dari prosesor komputer dengan mengatakan “Tenang saja, aku tahu kapan waktunya keluar.”


Makanya, jual otak, uangnya lumayan bisa buat beli kondom. Soalnya harga popok semakin mahal dan harga susu sudah tidak lagi bersahabat. 


—————————


Tidak ada yang perlu dinormalisasi dari hal ini. Karena perkawinan, apalagi melahirkan seorang manusia tanpa persiapan adalah awal dari sebuah bencana. Ditambah jika sang ayah dan ibu merupakan sosok yang masih belum siap secara finansial maupun psikologis untuk membina rumah tangga dan mendidik anak.


Sebagai manusia yang berakal sehat, tentu kita tidak ingin melahirkan seorang anak yang tidak bisa kita didik, atau menjerumuskannya ke dalam nestapa yang berkepanjangan. Anak adalah titipan Tuhan, dan barangkali kita perlu memantaskan diri untuk menerima amanat dariNya. Jika anak sebagai rezeki, dan kita tidak mampu untuk menerimanya dengan persiapan penuh, bagaimana mungkin Tuhan mau memberikan kita rezeki yang lebih lebih lagi?


——————————-


Pembaca yang budiman, saya menyadari tulisan saya dibaca oleh banyak orang. Meskipun saya dan anda tidak pernah berkenalan secara langsung, saya ingin menegaskan bahwa saya tidak pernah anti secara ekstrim terhadap apapun. Melainkan kehati-hatian harus selalu menjadi nomor satu dalam hidup kita.


Diluar sana mungkin ada teman-teman pembaca yang menjalani hidup dengan penuh gairah bercinta. Tapi tolong, harap dicatat bahwa selain memproteksi dari anak yang tak diinginkan, penyakit menular juga mengintai apabila kita tidak berhati-hati saat melakukan hubungan. 


Lagipula, kondom tidak membuatmu cemen. Menurut saya, yang membuatmu cemen justru ketika harus menyesali hal yang sebenarnya bisa dihindari. Menyesal karena tertular penyakit menular seksual, atau menyesal karena punya anak dan bingung cara mengurusnya yang baik sebagai orangtua terdengar lebih cemen daripada membungkus barangmu pakai karet.


Sebagai pesan untuk laki-laki sok jagoan diluar sana yang mungkin masih duduk di bangku sekolah, ingatlah bahwa barangmu tidak secanggih itu untuk bisa diatur tepat waktu. Selain itu, hari apes selalu mengintai di belakang punggungmu. Nanas muda juga kadang tidak selalu tersedia, dan kadang tidak berefek apa-apa. Cytotec juga mahal dan susah dicari. Apalagi kalau sudah jadi anak, sekolahmu bisa sia-sia dan kamu belum tentu bisa menjadi ayah yang baik.


Ingatlah bahwa menghamili wanita ada waktunya. Kalau bisa, dahulukan belajar dan bekerja sampai bisa mandiri dan memiliki kebijaksanaan yang cukup. Jangan menjadi ayah muda yang kekanak-kanakan dan mengabaikan anakmu yang minta susu karena kamu masih sibuk push rank atau balapan drag bersama teman-temanmu.


Percayalah bahwa memiliki anak memerlukan kelapangan hati, kebijaksanaan yang tinggi, dan kesiapan yang luar biasa besar. Jika kamu berpikir bahwa pubertas adalah tanda kebijaksanaan, ingatlah bahwa pubertas hanyalah masa transisi dari tingkah kanak-kanak menjadi kekanak-kanakan, masa transisi dari merasa seperti power ranger menjadi merasa seperti jagoan. 


Ingatlah bahwa harga kondom lebih murah dibanding harga popok, atau biaya berobat jika tertular PMS. Lebih bagus lagi, kalau memang masih sekolah, lebih baik tenaganya yang berlimpah itu digunakan untuk mencatat nama-nama kerajaan dan nama latin dari anatomi manusia dibanding menghamili teman sekelasmu.


Tetaplah untuk mengingat konsekuensi dan hukum sebab akibat meskipun di otakmu tidak pernah ada halal-haram, pahala-dosa, atau moral-amoral. Mulailah membuat anak ketika kamu memang siap untuk mengurusnya, dan kalau tidak siap, apa susahnya untuk tahu diri?




Ciamis,

20 Februari 2023.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Macam-Macam, Jenis dan Contoh Cara Penggambaran Tokoh dalam Cerita

Jagat Alit - Godi Suwarna