Tentang Rasa #2 : Makanan dan Hubungan


Namanya Tia. Kekasih sekaligus partner saya dalam berbagi cerita. Meskipun orang bilang bahwa kekasih kita adalah cerminan dari diri kita, tetap saja, kami memiliki perbedaan pandangan dan keyakinan. Tia selalu yakin bahwa bakso–dengan topping babat– merupakan jenis makanan yang lebih enak dibandingkan saudaranya, mie ayam. Saya meyakini sebaliknya, saya tetap berpegang teguh bahwa indikator keberhasilan sebuah warung bakso/mie ayam berada pada nikmat atau tidaknya mie ayam yang disajikan. 


Tia bukan orang yang rewel perkara makanan, meskipun kadang-kadang cenderung membosankan. Ia hanya akan makan sesuatu yang menurutnya enak, dan malas untuk berpindah ke lain hati. Ayam yang digoreng kering, misalnya, atau sate taichan langganannya di Tasikmalaya. Selera makanannya cukup bagus, meskipun harus siap diajak ke tempat yang itu-itu saja. Mau bagaimanapun, itu tentu lebih baik dibandingkan diajak makan kemudian dijawab ‘terserah’.


——————-


Satu hal yang tidak pernah saya lupakan adalah pada awal Juli 2020, waktu itu kami berdua pergi ke Yogyakarta. Saya ada urusan dengan studi, sedangkan Tia ikut mengantar—atau berlibur. Momen itu juga merupakan pertemuan kami setelah sekian lama tidak bertemu—mungkin kami bertemu terakhir kali ketika saya SMP dan dia kuliah semester awal, atau lebih jauh dari itu.


Seperti kebanyakan pelancong, kami memutuskan untuk mengunjungi jalan Malioboro. 2020 lalu, penataan kawasan Malioboro masih belum digalakkan oleh Pemda DIY, sehingga masih banyak tempat makan yang tidak menaruh pricelist di menunya dan banyak PKL yang mangkal (sekarang dipindah ke Teras Malioboro).


Hari pertama, kami tentu saja mengisi perut dengan jajan di sekitar Sosrowijayan. Karena kami terlalu bersemangat, kami merasa kenyang dan hanya jajan bakso malang. Makanan lain yang dibeli tentu saja cilok. Makanan lain yang dibeli—jika saya tak salah ingat, adalah pecel lele di kawasan Malioboro, tidak terlalu enak, dan cenderung pricey.


Satu hal yang harusnya kami hindari adalah membeli makanan di kawasan wisata yang ramai. Tapi waktu itu sudah hampir larut malam, dan kami belum mengisi perut sama sekali dengan nasi.


Besoknya, usai membereskan sedikit urusan di Jombor, Jogja bagian utara, kami memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri perkampungan di Jalan Selokan Mataram. Tak disangka, di sebuah warung kecil kami menemukan makanan yang nikmat, kalau tidak salah ingat, waktu itu kami pesan ayam goreng, nasinya ambil sendiri sepuasnya, dan dengan berbagai macam side dish seperti bakwan, kami membayar kurang dari 30 ribu.


Tapi tentu saja, satu hal yang saya ingat apabila ditanya mengenai bagaimana first date saya dengan Tia, saya akan dengan semangat menjawab bahwa bakso malang yang kami makan di Sosrowijayan itu enak, makan nasi ayam di Jombor, kemudian jajan-jajan makanan di Malioboro!



——————-


Saya tinggal di Jogja dalam periode waktu yang cukup singkat, hanya sekitar 2 tahun saja. Tapi selama itu pula, kadang Tia datang untuk berlibur dan kami melakukan aktivitas menyenangkan : makan-makan. Dia biasa datang dengan bus, yang akan saya jemput di Terminal Giwangan, beberapa kali dia merasa ingin naik kereta, tapi selama pandemi, harga kereta naik tinggi, dan aturan-aturan kesehatan yang merepotkan cukup menyulitkan perjalanan jarak jauh.


Pernah suatu ketika kami menyusuri jalanan Jogja. Kami makan di warung soto lamongan langganan saya, di jalan Gedongkuning Selatan. Warung soto lamongan yang sering saya kunjungi ini selalu menjadi tempat yang paling tepat untuk sarapan atau ketika ingin makan enak dengan harga terjangkau. Satu porsi soto ayam kalau tidak salah berkisar 8000 rupiah, sedangkan soto daging sapi di harga 10 ribu rupiah. Kelebihan soto ini juga karena biasanya buka sedari pagi. Jika ada mood untuk lari pagi, saya berkeliling di sekitar Kotagede dan tidak jarang menyempatkan diri untuk mengisi perut di warung ini.


Waktu itu udara begitu panas, matahari juga bersinar cukup terik. Saya dan Tia berangkat dari kosan, untuk pergi mencari makanan—setidaknya niatnya begitu. Setelah kami memesan dua porsi soto daging, saya berusaha untuk meraih uritan dan sate-satean yang disimpan di meja sebrang. Tapi naasnya, satu wadah penuh berisi sate dan mendoan itu jatuh ke lantai. Tentu saja muka saya berubah jadi merah.


Tia mungkin ingin menggerutu pada saat itu, tapi dia memilih mengumpulkan sate-satean itu untuk kami beli dan makan. Tentu saja dia sudah memahami saya yang selalu ceroboh dalam setiap hal— saya pernah menumpahkan segelas penuh berisi air, menumpahkan satu kaleng penuh minuman bersoda, hingga menyenggol piring sampai jatuh dan terbalik. Bagaimanapun juga, kecerobohan saya tampaknya selalu dimaafkan, meskipun kadang dia menggerutu sambil mengerlingkan mata.


---------------


Makan Lele, Terong, dan Ayam di Lesehan Mak Lie.



Lesehan Mak Lie

Di atas merupakan foto ketika saya dan Tia makan di Lesehan Mak Lie, di Jalan Gedongan Baru, Yogyakarta. Waktu itu hari sabtu, kurang lebih jam 5 sore, sebelum maghrib kami makan ayam goreng, terong goreng dan lele. 

Malamnya, menikmati wedang ronde di Malioboro.
                                                              



—————————-


Perkara Bakso dan Mie Ayam


Seperti yang disinggung di awal tulisan, bahwa kami memiliki pandangan berbeda soal bakso dan mie ayam. Tapi yang pasti bahwa Tia adalah pecinta garis keras bakso, dan saya adalah fanboy mie ayam. Hal ini kemudian menjadikan malam-malam kencan kami diisi dengan makan mie ayam atau bakso, alih-alih makanan kekinian atau hal-hal fancy.


Mie Bakso Citarasa


Di Rancah, Tia memiliki warung bakso favorit : Mie Bakso Cita Rasa. Kami pernah makan di tempat ini beberapa kali. Warung bakso ini cukup terkenal, dan cukup banyak pengunjungnya. Variasi makanan yang ditawarkan standar warung mie bakso pada umumnya, berkisar di bakso, mie ayam, mie yamin dengan topping turunannya : babat, bakso urat. 


Saya sendiri pernah mencoba mie ayam dan mie baksonya. Memang mie baksonya enak, tekstur mienya kenyal khas mie yang digunakan di Jawa Barat. Bakso yang digunakan standar saja, teksturnya pas, tapi rasa dagingnya mungkin bisa ditingkatkan ke level yang lebih baik. Sedangkan mie ayamnya, saya merasa bahwa sejauh ini tidak ada yang bisa mengalahkan mie ayam khas Solo atau Jogja.


Tia sendiri selalu makan mie yamin manis dan bakso dengan babat—yang memang enak. Mie yang digunakan kenyal, bumbunya manis, dan ada satu khas bumbu yang sering digunakan : daun jeruk. Saya menemukan bahwa banyak warung bakso dan mie ayam di Jawa Barat yang memiliki aroma khas daun jeruk yang wangi dan begitu kuat, tetapi di Jogja, saya jarang menemukannya. Setidaknya kalaupun menggunakan daun jeruk, aromanya masih kalah dengan wangi taburan bawang goreng atau sedapnya aroma manis dan gurih yang mendobrak cuping hidung.


Selain di Rancah, Tia memiliki beberapa warung bakso rekomendasi favoritnya di Tasikmalaya. Pertama, Mie Bakso dan Mie Ayam Kang Dani di Sadananya, Ciamis. Kedua, merupakan sebuah warung bakso yang cenderung kecil namun padat pengunjung di Tasikmalaya, Mie Bakso Adis. 


Mie Bakso dan Mie Ayam Kang Dani

Mie Bakso dan Mie Ayam Kang Dani

Mie Bakso dan Mie Ayam Kang Dani

November 2022, karena kebetulan saya ada urusan dengan Tia ke Tasikmalaya, kami memutuskan untuk mengisi perut di Mie Bakso dan Mie Ayam Kang Dani di Ciamis. Sebuah warung makan bakso yang cukup besar dan luas dengan dua lantai, terletak agak sedikit jauh dari jalan utama, tapi ramai dikunjungi. Saya melihat mobil dan motor yang berbaris dengan rapi di parkiran, sedangkan sang juru parkir yang sudah lumayan sepuh juga sibuk mengatur posisi kendaraan pengunjung.


Di seberang warung ini, terdapat lapangan bola yang hijau dan diisi anak-anak bermain bola. Karena kami ingin sedikit udara segar, kami memutuskan untuk duduk di lantai kedua di atas. Usai memesan dua porsi makanan dan minuman, kami bergegas pergi ke lantai dua. Sambil menunggu, saya memutuskan untuk sembahyang di tempat yang disediakan—fasilitas yang cukup bagus dan rapi. Disediakan juga alat sembahyang bagi yang lupa membawa mukena atau sarung/celana panjang. 


Ketika saya kembali ke meja kami, sudah tersaji masing-masing mie ayam babat dan mie bakso babat—tampaknya, karena Tia begitu mencintai bakso dengan babat lebih dari apapun. Juga, segelas jus stroberi untuk saya dan es teh manis untuk Tia. Suasana makan cukup menyenangkan, dan mungkin tempat favorit saya untuk makan mie bakso atau mie ayam. Angin sepoi-sepoi berhembus karena lantai kedua itu semacam semi-outdoor, memiliki atap namun bagian samping yang mengarah ke jalanan hanya dilindungi oleh railing besi. 


Posisi duduk yang dibuat lesehan juga menyenangkan dan nyaman, setidaknya bagi yang dalam perjalanan dan ingin selonjoran, hal itu mudah dilakukan. Dengan meja kecil berisi saus tomat, sambal, kecap, dan kondimen lain, posisi makannya seperti duduk di kotatsu. Cita rasa mie ayamnya sedikit mengingatkan saya dengan mie ayam solo, gurih, manis, ditambah dengan mie bulat kenyal yang menambah citarasa makanan. Sedangkan babat sebagai topping menambah variasi tekstur dalam mie ayam ini. Potongan ayam yang digunakan merupakan potongan dadu kecil, kaldu yang diberikan cenderung bening atau kuning keemasan, hal ini meningkatkan variasi rasa di dalam mie ayamnya. Karena dominasi rasa manis di ayam bisa ditambah lebih lezat dengan kuah kaldu yang cenderung asin dan gurih. Dilengkapi dengan pangsit basah yang membuat setiap suapan menjadi lebih meledak di mulut.


Jika ada kesempatan lagi, tentu saya akan senang sekali berkunjung kembali. Saya sempat berpikir untuk makan kesana lagi, tapi karena musim hujan, dan saya harus pergi ke Tasikmalaya dengan segera, akhirnya kami pergi ke pilihan lain. Saya dan Tia mengunjungi warung Mie Bakso Adis. 


Mie Bakso Adis

Mie Bakso Adis

Tanggal 5 Februari 2023, ketika matahari terik bercampur dengan debu kendaraan, kami membelah jalanan untuk mengisi perut. Sebenarnya kami sama-sama sudah makan pagi itu, tapi tentu saja selalu ada ruang kosong untuk mie bakso. Di Jalan Tentara Pelajar, Tasikmalaya, kami mengunjungi warung bakso yang kecil tapi padat pengunjung. 


Posisinya lumayan strategis karena ramai kendaraan berlalu-lalang dan dekat dengan alun-alun. Tapi tentu dengan kondisi ini, ada kelemahan juga, konsep warung yang tidak terlalu tertutup mungkin membuat sebagian orang terlalu bising dengan kendaraan yang lewat. Tia bilang bahwa warung bakso ini akan pindah ke seberang jalan untuk mengakomodir pengunjung yang selalu ramai mendatangi tempat ini. Saya kira, langkah brilian dalam melihat antusiasme pengunjung. Selama kami makan pun, pengunjung datang silih berganti.


Karena tidak menyediakan mie ayam, akhirnya kami berdua sepakat untuk memesan mie bakso dengan babat. Tidak lupa jus jeruk untuk Tia dan saya memilih memesan jus sirsak. Tak lama untuk pihak warung menyiapkan makanan, dalam beberapa menit, seorang pelayan membawa pesanan kami. 


Saya menyukai warung bakso ini karena alasan sederhana : kustomisasi yang cukup banyak. Di meja, tersaji beberapa jenis kondimen, mulai dari sambal yang pedasnya minta ampun, kecap manis, cuka, acar, bubuk putih semacam garam atau msg, potongan jeruk, saus tomat dan kecap asin (yang lebih berbau seperti kecap ikan atau saus tiram encer). Ketika pesanan kami datang, saya sudah bisa menebak bahwa mie yang digunakan enak. 


Mie yang disajikan dilengkapi dengan beberapa sayuran pelengkap, sedangkan babat dan bakso dipisah di mangkok berisi kuah bening yang juga diisi cacahan daun bawang. Tidak lupa seledri dan sawi hijau. Seperti yang saya bilang bahwa saya adalah orang paling ceroboh, dan lidah saya tidak setahan pedas seperti Tia. Saya memasukkan satu sendok penuh sambal dan berakhir dengan muka merah dan berkeringat tanpa henti.


Mie yang digunakan enak sekali, teksturnya kenyal dengan ukuran sedang dan bulat. Di atas mie, ditaburi dengan suwiran ayam yang lembut. Untuk menambah citarasa makanan yang lebih enak, saya menambahkan acar mentimun dan wortel yang disediakan. Saya makan lebih cepat dari Tia karena beberapa faktor, pertama bahwa mulut saya terbakar oleh sambal, kedua, karena Tia sibuk push rank di permainan Mobile Legends.


Sejauh perjalanan kami sebagai pasangan, bisa disimpulkan bahwa mie bakso dan mie ayam selalu menempati pilihan utama untuk mengatasi rasa lapar. 


—————————-


Jajan dan Jalan


Kopi dan teh, jajanan biasa.



Seperti kebanyakan perempuan, pasangan saya juga menyukai kegiatan jajan-jajan. Meskipun lebih seringnya, saya yang harus memelas agar kami bisa berhenti dan jajan di jalanan. Tia memiliki perut kecil yang tidak sanggup diajak jajan terlalu banyak. Makanya, saya yang sering memegang komando untuk jajan, karena saya yang lebih sering merasakan lapar atau hanya lapar mata dan ingin mencoba jajanan yang ada.


Kami sama-sama pekerja, dan itu alasan utama mengapa kadang-kadang kami jajan tergantung siapa yang baru gajian. Sebelum split bill menjadi tren dan mengusik wacana publik, kami sudah lebih dulu jajan bergantian, tergantung siapa yang sedang memiliki rezeki lebih. 


Kami tidak memiliki banyak keinginan untuk jajan makanan ringan, kadang-kadang kami hanya membeli apa yang ada di depan mata. Seringnya, kami jajan cilok, atau sekadar membeli seblak. Sebagai orang yang konsisten, Tia selalu memiliki pesanan yang sama setiap kali jajan : seblak dengan level medium, atau level 2. 


Menunggu antrian seblak.

Kadang-kadang kami hanya beli minum, saya tentu saja kopi, dan Tia membeli milo atau minuman matcha. Sejauh yang saya ingat, kami lebih antusias untuk makan makanan berat dibandingkan jajanan-jajanan ringan. Makanan ringan yang kami beli selain makanan-makanan pedas dan gorengan adalah eskrim. Kami berdua suka eskrim. Saya suka menghabiskan cone eskrim bagian terakhir—bagian paling enak— dan Tia selalu mau untuk berbagi itu karena dia berpikir bahwa cone eskrim bagian ujung tidaklah lebih enak daripada eskrim di dalamnya.


———————-




Jika waktu masih memberikan bagiannya untuk saya, dan Tuhan masih mengizinkan kami untuk terus bersama sepanjang waktu. Tentu saja, saya memiliki harapan bahwa di masa-masa mendatang, saya bisa tetap bersama dengan Tia. Saya selalu senang melihat pipinya yang bulat bergerak-gerak ketika mengunyah mie, atau bibirnya yang belepotan karena makan eskrim, dan hal-hal sekecil matanya yang gembira ketika melahap sebutir bakso. 


Jika pertanyaan tentang cinta selalu dijawab dengan hal-hal filosofis, mungkin saya akan menjawab dengan hal-hal sederhana. Pertanyaan seperti “Kenapa kamu masih bertahan mendampingi dia?” agaknya bisa saya jawab dengan jawaban yang absolut dan ringkas, “Saya masih senang melihat senyumannya yang gembira dengan bibir belepotan eskrim rasa stroberi, atau matanya yang bulat berbinar-binar melihat semangkok penuh mie bakso dengan babat.”


Apapun yang terjadi dalam hidup ini, kami akan berusaha untuk bersama-sama, saling menggenggam tangan dan terus melangkah menuju warung bakso terdekat.




Ciamis,

8 Februari 2023


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Macam-Macam, Jenis dan Contoh Cara Penggambaran Tokoh dalam Cerita

Jagat Alit - Godi Suwarna