Basa-Basi #42 : Kendali Emosi

 


Berita pagi ini cukup menghebohkan, seorang siswi SMK terluka parah dalam pertengkaran dengan siswi SMA. Bekas sayatan cutter nampak di lehernya—dengan kulit yang sudah terkelupas dan menampakkan daging lehernya. Sesuatu yang mengerikan, terlebih jika kita mengetahui motif dibalik kengerian ini.


Berita masih simpang siur sampai saat ini, tapi yang jelas bahwa dua gadis belia ini terlibat dalam pertikaian yang inti masalahnya adalah romansa para remaja. Sebagian mengaitkannya dengan faktor kecemburuan, sebagian bilang bahwa seorang lelaki tengah diperebutkan dan dituding menjadi penyebab semua ini terjadi. Entahlah, yang jelas bahwa hal ini cukup gila.


Sebagai seorang lelaki, tentu saya kerap menghadapi problematika yang sama. Misalnya ada beberapa laki-laki yang merasa dirinya cukup berani untuk merebut kekasih saya dan menawarkan pertengkaran tangan kosong, sebagian menggunakan mulutnya untuk menyerang saya. Adapun dulu ketika masih bersekolah, saya pernah hampir memperebutkan seorang gadis. Hal itu kemudian tidak menjadi masalah karena seperti kata orang, cinta monyet itu fana dan hanya didasari oleh ilusi hasrat untuk memiliki.


Tapi sejujurnya, saya lebih menyukai kata-kata Kenny Rogers dalam lagunya Coward of the County, dia bilang ‘Son, you don’t have to fight to be man.’. Tidak perlu bertengkar, apalagi sebagai laki-laki, yang menjadi nomor satu adalah kebijaksanaan. Pertengkaran, dalam membela apapun itu, hanyalah kesia-siaan dan omong kosong belaka jika masih ada cara lain untuk dilakukan.


***


Bagi beberapa orang mungkin cinta memang layak dibela mati-matian. Tapi yang menyedihkan, kadang-kadang cinta tidak bisa jelas tertangkap oleh akal sehat dan logika manusia. Bentuknya samar-samar dan kadang tidak bisa dibedakan dengan hal lain yang tidak sepenting itu. Nafsu dan cinta, misalnya, atau rasa penasaran dan cinta, kadang-kadang sulit untuk dibedakan.


Hal ini kadang menjadi masalah baru, karena alih-alih membela cinta, kita berakhir hanya untuk membela nafsu semata, atau bahkan membela ego yang menelan akal sehat kita bulat-bulat. Rasa cinta itu tidak bisa dideskripsikan, maupun dicari persamaannya, dan oleh karena itu sangat rawan kita menyalah artikannya.


Kejadian beberapa waktu lalu itu pun membuat saya kaget. Hal semacam itu tidak perlu terjadi, apalagi di masa-masa SMA. Rasanya terjadi eskalasi yang sangat pesat dalam kenakalan remaja, meskipun ketika SMA saya juga melakukan hal-hal bodoh seperti minum minuman keras ketika libur tiba, tapi kali ini kenakalan yang terjadi agak sedikit berbeda.


Ketika saya SMA, kenakalan yang dilakukan kawan-kawan saya tidak pernah jauh dari kenakalan yang merugikan mereka sendiri, atau setidaknya tidak terlalu memiliki efek besar terhadap orang lain. Saya rasanya belum pernah mendengar ada perkelahian yang mengakibatkan luka serius di antara teman-teman saya. Kalaupun ada pertengkaran, biasanya hanya sebatas adu mulut dan berlangsung tak terlalu lama.


Mungkin remaja zaman dulu lebih memiliki kontrol emosi yang lebih baik, atau justru remaja zaman sekarang lebih memiliki keberanian lebih yang tak terarah. Satu hal yang jelas bahwa tidak semua hal harus diselesaikan dengan perkelahian, apalagi jika ada alternatif lain yang lebih mudah.


***


Nasehat saya mungkin terdengar seperti bualan belaka, tapi saya bisa merasakannya. Hidup dengan kontrol emosi yang buruk adalah hidup yang sulit untuk dijalani. Hal ini bisa berkembang dari urusan sepele hingga hal-hal besar. 


Saya mengenal seseorang yang sebut saja beliau dengan sebutan Joko. Pria ini memiliki hobi yang sedikit nyeleneh—hampir setiap hari, dan setiap hal dia akan berusaha untuk berkomentar. Jika ada sesuatu yang menurutnya tidak sejalan, mulutnya tidak akan berhenti berbicara sampai orang yang dia hadapi mengaku bahwa Joko benar. Katakanlah bahwa Joko semacam polisi moral—dia menegur semua orang yang tidak sejalan dengan moralitas yang dijunjungnya.


Joko melakukan hal itu selama bertahun-tahun, dan saya rasa semua orang pernah menjadi sasarannya. Sebagian orang merasa terbantu karena Joko bisa diajak untuk ikut campur segala masalah dan memberikan komentarnya—atau sindiran jika ia mau. Tapi tak sedikit pula orang menjadi risih dengan sikapnya yang memaksakan diri untuk mencampuri hal-hal yang menurut sebagian orang tak perlu dibahas.


Tahun demi tahun berlalu dan hampir semua orang, bahkan rekan kerja dan tetangganya sendiri mulai membicarakannya di belakang. Apa yang saya tangkap dari pembicaraan mereka hanya satu—bahwa Joko tidak bisa menempatkan diri dan menempatkan perkataannya di tempat yang tepat. Semua ini berawal dari kontrol emosi.


Jika saja Joko mau menunggu amarahnya reda dan bukannya langsung menghajar orang lain dengan guyuran emosinya, mungkin dia tidak akan berada di posisi ini. Sejauh yang saya tahu bahwa Joko memiliki latar belakang yang cukup baik, orangnya ulet dan memiliki perangai yang cukup baik. Tapi semuanya luntur saat dia tak mampu mengendalikan emosinya.


Joko menjadi pemarah, dia selalu berlindung dibalik kata-kata yang menurutnya benar. Sebenarnya kita semua mirip Joko, kita semua selalu ingin idealisme kita disetujui orang banyak, dan kita ingin memberikan dampak positif untuk orang lain. Tapi kadang, cara yang salah bisa mengundang reaksi yang berbeda. 


Saya sendiri selalu ingin berkomentar ketika ada orang melakukan hal yang tidak bisa saya setujui, tapi saya juga selalu berusaha untuk tidak menuruti hawa nafsu. Pertama bahwa mungkin amarah saya hanya sebatas spontanitas belaka dan tidak perlu diutarakan, kedua, saya simpan komentar saya untuk didiskusikan saja bersama teman dekat atau saya tulis secara rinci. Secara tidak langsung saya menghindari pertengkaran dengan menahan emosi.


Kadang-kadang pula, yang kita lihat belum tentu sama dengan apa yang orang lain lihat. Moralitas kadang semu dan akal budi kita mungkin kurang mumpuni untuk langsung menghakimi. Hal ini menjadi pegangan saya selama bertahun-tahun, utamanya ketika saya merantau ke kampung orang, saya menyadari bahwa dari banyak aspek, diri kita sangatlah kecil.


Kemampuan nalar manusia tidaklah sebanding dengan dinamisnya kehidupan sosial dan perubahan masyarakat. Manusia kadang merasa benar dengan pikirannya, tapi kadang salah secara tindakan. Hal inilah yang kemudian harus menjadi pegangan dalam hidup—kita mungkin mampu berpikir baik dan buruk, tapi tidak selalu tindakan yang kita lakukan selaras dengan ideal yang dipikirkan.


Kembali pada pembahasan awal bahwa mungkin benar, yang dipikirkan oleh sang pelaku bahwa dia perlu membela nama baiknya, atau bahkan cintanya. Tapi output yang ada tidaklah perlu untuk dilakukan. Karena tidak mampu mengendalikan emosi, maka dengan sekejap amarah menguasai kepalanya dan nafsu mengambil alih kewarasannya dalam bernalar. Itu adalah contoh paling ekstrim ketika manusia tak mampu mengendalikan emosinya,


Contoh yang mudah ditemui adalah spesies seperti Joko. Manusia-manusia yang dengan gampang menuding orang lain ketika tak sejalan dengannya. Hanya berbekal keyakinan bahwa orang lain salah menurut sudut pandangnya, buru-buru ia menghakimi. Hal menyebalkannya, kadang orang semacam ini memiliki nilai pelajaran bahasa Indonesia yang buruk—ia tidak bisa persuasif dalam berbicara, dan kalimat yang dikonstruksinya tidaklah nyaman untuk didengar. Hal ini bisa menimbulkan masalah berkepanjangan.


Kita memang perlu untuk berbicara, perlu juga menyampaikan emosi kita. Misalnya rasa kesal karena seseorang menggunakan knalpot bising dan terus lewat di halaman rumah, tapi kita tidak wajib mendampratnya habis-habisan. Kadang, ngedumel karena fokus kita terganggu saja sudah cukup, tidak harus sampai melempari sang pengendara dengan batu. Karena bisa saja, memang itu hobi satu-satunya dan sang pengendara bisa mendapatkan kesenangan dari situ diantara jadwal padatnya.


Adapun jika memang benar-benar mengganggu, toh kita masih bisa melakukan pembicaraan baik-baik, empat mata. Tidak perlu ada orang lain yang mengetahui, kalau bisa satu pun—karena bagaimanapun tidak baik memarahi orang dan mempertontonkannya ke orang lain. Hal itu bisa menimbulkan rasa malu berkepanjangan dan tentu saja tidaklah bijaksana. 


Meskipun spesies semacam Joko akan berdalih dan bilang bahwa hal itu dilakukan agar orang lain tidak melakukan kesalahan yang sama. Pemikiran dangkal semacam itu hanya dimiliki oleh seseorang yang megalomania dan memiliki gangguan jiwa serta nir-empati. Jika seseorang melakukan hal bodoh dan kita tahu bahwa itu hal bodoh, memang baiknya diberitahu secara langsung dibanding memberitakan besar-besaran bahwa orang itu bodoh.


Sikap yang boleh dibilang sedikit bagian dari megalomania ini memang lebih banyak ditemukan di anak-anak remaja, meskipun sebagian orang terbiasa dan membawanya sampai tua. Merasa dirinya memiliki wewenang untuk menghakimi dan melakukan apapun. Tentu hal itu tidak akan berakhir baik meskipun tujuannya baik. 


Dalam kondisi apapun, berusahalah untuk menjadi lebih bijaksana dari hari ke hari. Belajar untuk mengendalikan emosi, belajar untuk bisa diam, belajar untuk bisa menyelesaikan masalah tanpa perlu ribut-ribut. Karena kebijaksanaan dalam berpikir, berkata dan bertindak bisa mengalahkan setan-setan yang berusaha mengambil alih tubuh kita.


Kadang tindakan jahat tidak perlu dibalas dengan tindakan yang sama, melainkan diam bisa menjadi jalan keluar. Karena bagaimanapun, keluasan berpikir manusia tidak ada batasnya jika kita mau dan mampu untuk belajar menjadi lebih baik. Tuhan maha pengampun, tapi manusia kadang tidak bisa memberikan ampunan ketika ada tindakan atau perlakuan yang tidak diinginkan. Jadi berhatu-hatilah, berpikir sebelum berucap, dan yang pasti, belajarlah untuk berpikir.


Belajar berpikir kritis, belajar lebih banyak kosakata sehingga yang keluar dari mulutmu bukan lagi bualan-bualan tentang seberapa besar dirimu, tapi seberapa kecil dirimu sehingga tak ada kata-kata yang sanggup kau keluarkan karena dirimu tak layak untuk mengucapkan hal-hal yang tidak perlu. Kau mungkin berpikir kau heroik, tapi jika tak ada kalimat baik yang bisa kau racik, hanya kesia-siaan belaka dan omong kosong yang orang lain pikirkan.


Hidup dikendalikan oleh emosi hanyalah kesia-siaan, dan hidup yang sia-sia tidak pantas untuk dijalani.


Ciamis, 26 Juni 2023.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Macam-Macam, Jenis dan Contoh Cara Penggambaran Tokoh dalam Cerita

Jagat Alit - Godi Suwarna