Basa-Basi #44 : Pemilu



 Terakhir saya benar-benar mengikuti politik adalah era pemilu 2019. Pada saat itu, isu politik identitas dan polarisasi masyarakat sangat ramai diperbincangkan. Alasannya mungkin cukup sederhana, karena media sosial kiranya sedang berada di puncak sebagai media penyebaran berita dan informasi. Hal ini didukung dengan masyarakat Indonesia—termasuk saya—yang kaget dengan riuhnya informasi yang berhamburan dari sana-sini.


Tinggal beberapa bulan lagi menuju 2024. Pemilihan umum akan kembali dilaksanakan dan baliho-baliho capres dan cawapres sudah muncul dimana-mana. Dalam perjalanan saya untuk menemui dokter saraf hari kamis lalu, di sepanjang jalan berbagai baliho dengan berbagai warna sudah terpasang. Beberapa tampak standar, namun sebagian lagi memasang motto aneh dan menggelitik. Saking tidak kreatifnya, saya sampai garuk-garuk kepala.


Tapi bagaimanapun, saya tidak terlalu mengikuti perkembangan dunia politik akhir-akhir ini. Berita yang saya tahu cuma sebatas bahwa Anies Baswedan, salah satu calon presiden yang populer dan dinilai cukup kuat itu memilih Cak Imin sebagai calon wakil presiden. Kabarnya, sebelumnya Anies sempat digembar-gemborkan berpasangan dengan AHY dari Partai Demokrat. Berita itu lantas mengagetkan banyak pihak, contohnya saja ketika saya membuka tiktok beberapa hari belakangan, muncul simpatisan Partai Demokrat yang marah-marah sekaligus kecewa dengan keputusan Anies.


Dunia politik memang selalu penuh warna. Ada kepahitan sekaligus kebahagiaan yang terpancar. Sebagian orang mungkin menilai politik sebagai lahan penuh kekejaman dan kekejian, tapi sebagian lainnya merasa bahwa politik adalah satu-satunya kendaraan untuk menjaga stabilitas negara. Saya memilih untuk setuju dengan keduanya. 


————


Tidak ada hingar bingar pemilu yang seramai tahun 2019 jika saya perhatikan. Tapi meskipun gaungnya hanya terdengar oleh sebagian kalangan, cukup bisa dipastikan bahwa tahun ini dan tahun depan akan meriah. Berita akan berseliweran dari segala penjuru dengan memuat berbagai macam isu politik yang panas dan dibalut dengan kalimat sensasional.


Saya tidak terlalu tertarik dengan dunia politik akhir-akhir ini karena tampaknya tidak ada perubahan revolusioner yang ditawarkan. Semua pihak dan semua kubu tampak seolah-oleh bergandengan tangan dengan rasa persaudaraan yang erat. Menjadi hal yang bagus sebenarnya, meminimalisir perpecahan yang bisa berujung pada politik identitas dan segala tetek bengeknya. Tapi rasanya memang ada sesuatu yang kurang. Api yang biasanya menyala, membakar langit dengan kepulan asap tebal kini hanya terasa hangat. 


Rasanya sedikit monoton dan saya kira bisa dibilang bahwa mereka, para elit yang saling berlomba memperebutkan suara itu seperti kehilangan semangat. Setidaknya di kancah nasional. Atau mungkin hanya belum waktunya. Jika genderang perang sudah mulai ditabuh, siapa yang tahu bahwa ‘event lima tahunan’ ini bisa membuat langit runtuh.


—————


Dalam skala yang lebih kecil, para kader sudah mulai bergerak mencari suara. Saya mendengar bahwa mulai ada nama-nama yang mulai muncul. Beberapa waktu lalu ada acara jalan santai, dan donatur untuk pemberian doorprizenya adalah anggota partai yang hendak mencalonkan diri di tingkat provinsi. Dalam susunan acara, disebut lengkap nama sang donatur, partai yang menaunginya, hingga cita-citanya untuk mendapatkan suara.


Memang sah-sah saja apabila seorang anggota partai melakukan cara-cara seperti itu untuk mendekatkan diri kepada masyarakat. Meskipun jeleknya, ketika sudah mendapat kursi, lebih banyak yang lupa dengan suara-suara yang membantunya naik ke atas. 


Masyarakat juga sudah menganggap hal ini sebagai hal biasa. Hal lumrah dengan bibir manis sang anggota partai. Karena menurut sebagian orang, siapapun yang duduk mewakili mereka, pada akhirnya kehidupan akan berjalan sama seperti biasanya. Hal ini tentu saja tercipta di benak masyarakat karena minimnya perubahan. Tidak ada perubahan signifikan entah dari partai A, B, atau C yang menduduki jabatan sebagai wakil rakyat. Pada akhirnya kehidupan berjalan normal. Itu pun masih untung, lebih naas lagi jika ternyata setelah terpilih, justru kemunduran sosial yang didapatkan.


—————


Tapi apapun yang terjadi 2024 nanti, ingatlah, bahwa ini cuma event lima tahunan. Mbok ya jangan terlalu serius. Dipikirkan mumet sendiri. Mari menghadapi masa depan dengan waras, segila apapun para elit berdansa di singgasana mereka.





16 Sept 2023

Ciamis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Macam-Macam, Jenis dan Contoh Cara Penggambaran Tokoh dalam Cerita

Jagat Alit - Godi Suwarna