Kejenuhan Sarman karya Seno Gumira Ajidarma

Pic : google

Kejenuhan Sarman karya Seno Gumira Ajidarma

“Berceritalah tentang kejenuhan,” kata Alina kepada juru cerita itu. Maka juru cerita itu pun bercerita tentang Sarman.
Pada suatu hari yang cerah, pada suatu hari gajian, Sarman membuat kejutan. Setelah menerima amplop berisi uang gaji dan beberapa tunjangan tambahan dan setelah menorehkan paraf, Sarman termenung-menung.
Tak lama.
Ia segera berteriak dengan suara keras.
“JADI, UNTUK INI AKU BEKERJA SETIAP HARI, YA?”
Ia berdiri dengan wajah tegang. Tangan kirinya menggenggam amplop, tangan kanannya menuding-nuding amplop itu, dan matanya menatap amplop itu dengan penuh rasa benci.
“AKU TIDAK SUDI KAMU PERBUDAK! AKU MENOLAK KAMU!”
Kantor yang sehari-harinya sibuk, sejuk, saling tak peduli, dengan musik yang lembut itu pun mendadak jadi gempar.
“Eh, Sarman, kenapa dia?”
Namun Sarman tidak berhenti di sini. Ia melompat ke atas meja. Ia merobek amplop coklat itu. Ia keluarkan uang dari dalamnya. Ia robek bundel uangnya. Dan sebagian uang itu ia lemparkan ke udara.
“MULAI HARI INI AKU TIDAK PERLU DIGAJI! AKU AKAN BEKERJA SUKARELA, TETAP RAJIN SEPERTI BIASA! DENGAR TIDAK KALIAN, MONYET-MONYET?!”
Berpuluh-puluh lembar uang berguling-guling di udara diembus angin AC. Kantor itu seperti dikocok-kocok. Para pegawai tanpa malu-malu berebutan uang gaji Sarman. Pria maupun wanita saling berdesak, bersikutan, dorong-mendorong, berlompatan meraih rezeki yang melayang-layang di udara. Mereka cepat sekali memasukkan uang itu sekenanya dalam kantong bajunya. Lantas pura-pura tidak tahu.
Sarman menendang semua benda yang berserakan di mejanya. Map-map yang bertumpuk, mesin tik, segelas teh, bahkan foto keluarganya ia tendang melayang. Layar monitor komputer pun pecah digasaknya.
“Sarman! Kamu gila!”
Sarman melompat dari meja ke meja dengan ringan seperti pendekar dalam cerita silat. Ia tendang semua barang-barang di atas meja karyawan-karyawan lain, sambil terus memaki-maki.
Tak jelas benar apa yang dimaki.
Dalam waktu singkat, kantor yang terletak di lantai 17 itu pun berantakan. Para wanita sekretaris menjerit, “Aaa!”. Dan para karyawan pria memperlihatkan jiwa pengecutnya, tidak berani berbuat apa-apa. Meski dalam hati mengharap Sarman melempar-lempar lagi sisa uang yang dipegangnya.
Dan Sarman bukannya tak tahu.
“Kalian mau uang? Sukab! Kamu mau uang? Nih, makan!”
Sambil masih melompat dari meja ke meja, Sarman melemparkan uang di tangannya. Para karyawan berubah jadi serangga yang mengikuti ke mana pun Sarman pergi. Suasana kantor sungguh menjadi ingar-bingar. Wajah karyawan-karyawan itu seperti kucing kelaparan. Mereka berebutan dengan rakus. Yang sudah melompat, jatuh terdorong. Yang menubruk uang di lantai, diseret kakinya. Tidak sedikit uang robek dalam pergulatan. Tarik-menarik, cakar mencakar, tendang menendang, tidak pandang bulu.
“Masih mau uang lagi?” tanya Sarman sambil berdiri di atas meja Kepala Bagian.
Mereka serentak menjawab.
“Mauuu!”
Sarman tersenyum. Keringat menetes di dahinya. Ia longgarkan dasi yang mencekiknya.
“Baik! Tapi kalian harus berteriak: Hidup uang! Hidup uang! Setuju?”
“Setujuuu!”
Maka, seperti pelempar bola pada permainan softball, Sarman segera melemparkan lagi segepok uang di tangannya. Uang itu berhamburan di udara, berguling-guling turun bagaikan konfeti. Mata para karyawan dan karyawati berbinar-binar dengan riang, mulut mereka menganga, wajah mereka menunjukkan semangat tekad bulat yang sangat mengharukan.
“Serbuuu!” teriak mereka bersamaan. Pertarungan pun dimulai kembali. Kini mereka berebutan bagai permainan sebuah pesta. Mereka tertawa terkikik-kikik. Saking asyiknya, mereka lupa bahwa banyak kancing baju mereka yang lepas, sepatu copot, rok tersingkap, dan rambut terburai-burai.
Sarman berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil. Ia melompat dari meja ke meja sambil bersalto. Ruangan riuh dengan yel, meskipun tidak terlalu serempak, karena mereka berteriak sambil berebutan uang di udara dan di kolong-kolong meja. “Hidup uang! Hidup uang!”
– – –
Mendadak muncul Kepala Bagian. Ia diam saja di pintu, menatap para bawahannya berpesta pora. Wajahnya disetel berwibawa. Lantas ia melangkah seperti tak terjadi apa-apa, menuju ke mejanya.
Mula-mula para pegawai itu tidak tahu, masih berebut sambil tertawa-tawa. Namun yang tahu segera terdiam dan kembali ke mejanya, pura-pura bekerja. Padahal mejanya sudah berantakan dikacaukan Sarman.
Mereka mundur dengan tersipu-sipu. Tangan mereka kedua-duanya menggenggam uang. Sisa uang bertebaran di lantai, di kursi, di meja, di bak sampah, bercampur tumpahan kopi dan gelas yang pecah. Segala kertas terserak-serak, morat-marit, kacau-balau, kata peribahasa seperti kapal pecah.
Sarman masih berdiri di salah satu meja. Rambutnya kacau, wajahnya buas seperti binatang tersudut, pakaiannya yang biasanya rapi, dan sepatunya berkilat-kilat, kini kumal. Kepala Bagian hampir tak mengenali Sarman.
“Coba tolong jelaskan, apa artinya semua ini,” ujarnya.
Semua terdiam. Namun mata mereka tertuju ke arah Sarman, yang masih terengah-engah, menjulang di atas meja.
Pandangan Kepala Bagian pun akhirnya tertuju pada Sarman.
“Sarman, apakah kamu bisa turun dari meja itu?” katanya.
“Bisa Pak, tapi saya tidak mau,”
“Kenapa?”
“Jawabannya panjang sekali, Pak. Tidak perlu saya jelaskan,”
“Kenapa tidak? Kita bisa membicarakannya di ruangan lain dan…,”
“Tidak, Pak! Jangan coba-coba merayu!” tukas Sarman.
Kepala Bagian mendekat dan mencoba menenangkan.
“Apakah kamu mau cuti, Sarman? Kamu boleh ambil cuti besar. Cutilah satu bulan. Kamu sudah bekerja sepuluh tahun,”
Namun Sarman menjejak meja, menendang sisa tumpukan kertas di meja itu, lantas melompat lagi ke meja lain. Seorang wanita yang duduk di situ terpaku dengan ketakutan, tidak berani bergerak.
“Jangan mendekat! Saya sudah coba jelaskan, mulai hari ini saya menolak apa saja! Mengerti tidak? Saya menolak apapun kemauan kalian!”
Beberapa petugas keamanan memasuki ruangan. Kepala Bagian menahannya.
“Tunggu! Saya kenal dia. Sarman anak buah saya selama bertahun-tahun,”
Masih terdengar musik lembut, tapi apalah artinya? Petugas-petugas keamanan sibuk dengan HT-nya. Telepon berdering, tapi Sarman keburu melompat ke meja itu dan menendangnya. Ia masih menggenggam sebundel uang.
“Untuk apa kamu lakukan semua ini, Sarman? Untuk apa?” tanya Kepala Bagian.
“Wah, saya sudah lupa,” jawabnya berlagak cuek.
“Lantas, kamu mau apa? Aku sudah menawarkan cuti besar, langsung mulai hari ini, tunjangannya bisa kamu ambil hari ini juga. Kamu boleh pakai hotel milik perusahaan di Bali, pakai villa kantor di Puncak, biar kami selesaikan pekerjaanmu. Terus terang, selama ini kami memang terlalu…,”
“Apa? He-he-he!” ujar Sarman sambil meletakkan tangan di belakang telinga. “Cuti besar setelah sepuluh tahun bekerja? He-he-he…,”
Mendadak Sarman dengan lompatan karate menerjang jendela. Jendela tebal di lantai 17 itu tidak langsung pecah. Sarman meninjunya beberapa kali sampai tangannya berdarah, lantas ia mengambil kursi, menghantamnya ke jendela, barulah jendela itu pecah. Angin yang dahsyat menyerbu masuk kantor. Kertas-kertas beterbangan.
Sarman melompat ke jendela. Siap melompat ke bawah. Orang-orang gempar dan menjerit-jerit.
“Sarman! Jangan bunuh diri, Sarman!”
“Jangan akhiri hidupmu dengan sia-sia, Sarman! Ingat anak istrimu! Ingat orang tuamu di kampung! Ingat sahabat-sahabat kamu!”
“Sarman! Pakai otakmu! Hidup ini cukup berharga! Hidup ini tidak sia-sia!”
Sarman yang sudah menghadap ke jalan raya berbalik. Sambil menendang sisa-sisa kaca di kusen jendela, ia berteriak dengan marah.
“SUDAH SEPULUH TAHUN AKU BANGUN TIAP PAGI DAN BERANGKAT DENGAN TERGESA-GESA KE KANTOR INI! SUDAH SEPULUH TAHUN AKU BERANGKAT PAGI HARI DAN PULANG SORE HARI MELALUI JURUSAN YANG SAMA! SUDAH SEPULUH TAHUN AKU MENEMPELKAN JARIKU DI MESIN KEPARAT ITU TIAP PAGI DAN SORE! SUDAH SEPULUH TAHUN AKU MELAKUKAN PEKERJAAN YANG ITU-ITU SAJA SEMBILAN JAM SEHARI! SUDAH SEPULUH TAHUN! DAN AKAN BERPULUH-PULUH TAHUN LAGI!”
“Sarman sudah gila,” bisik seseorang.
“Kenapa sih, dia bisa begitu?” desis yang lain.
Sementara Sarman masih terus berpidato, para petugas keamanan tidak kehilangan akal. Mereka memanggil petugas pemadam kebakaran. Namun kedatangannya menimbulkan geger.
“Mana yang kebakaran, Pak?”
“Bukan kebakaran!”
“Ada apa?”
“Ada orang mau bunuh diri!”
“Di mana?”
“Tuh!”
– – –
Syahdan, di ketinggian lantai 17, tampaklah jendela yang terbuka itu menganga. Sarman tampak menghadap ke dalam sedang berteriak-teriak. Orang-orang yang sedang berada di bawah berhenti, menatap ke sana. Mobil-mobil juga berhenti. Jalanan macet.
Sarman jadi tontonan. Beberapa orang menggunakan teropong. Bahkan ada yang memotret dengan lensa tele. Petugas pemadam kebakaran membentangkan jala. Tangga mobil pemadam kebakaran, yang cuma 40,9 meter, diulurkan. Semprotan air disiapkan, untuk menahan laju kejatuhan tubuh Sarman, kalau jadi melompat. Jalanan macet total. Helikopter polisi meraung-raung di udara. Para penonton duduk di atap mobil. Beberapa orang bertaruh dengan jumlah lumayan, Sarman jadi bunuh diri atau tidak. Namun kru televisi terlambat datang.
Jalan lain untuk mencegah Sarman juga diambil. Di helikopter polisi itu terdapatlah keluarga Sarman: istri Sarman dan anaknya yang bungsu.
“Sarman, lihat itu anak istrimu!” teriak para karyawan dalam gedung.
“Ya, itu anak istrimu! Ingatlah mereka, Sarman! Jangan berbuat nekat!”
“Sarman! Sarman! Aku istrimu, Sarman! Aku mencintai kamu! Anak-anak juga mencintai kamu! Jangan melompat, Sarman!” teriak istrinya sambil menangis. Suaranya menggema lewat pengeras suara di celah raungan helikopter.
“Bapak! Bapak!” seru anaknya.
Sarman berbalik. Dilihatnya wanita itu melambai dengan air mata tumpah ruah. Hatinya tercekat. Ia ingin melambai kembali seperti selalu dilakukannya setiap pagi ketika berangkat ke kantor. Namun ini mengingatkannya pada segepok uang yang masih digenggamnya. Sarman kumat lagi. Dari dalam kantor, dua petugas keamanan merayap perlahan ke arah jendela.
“Ingat anak-anak kita, Sarman! Mereka membutuhkan kamu! Ingat ibumu, ia mau datang minggu ini dari kampung! Jangan tinggalkan kami, Sarman!” teriak istrinya lagi.
Namun Sarman melempar ratusan ribu rupiah ke udara.
“Ini uang kamu! Makan!”
Uang di tangannya sudah habis. Lembaran-lembaran uang itu beterbangan ditiup angin, berguling-guling tinggi dan berkilauan dalam siraman cahaya matahari.
“Sarman, o Sarman…,”
Istrinya menangis tersedu-sedu.
Anaknya masih saja berteriak, “Bapak! Bapak!”
Angin masih bertiup kencang di ketinggian itu. Sarman melihat uang gajinya berguling-guling melayang ke bawah. Kertas-kertas itu belum sampai tanah. Masih melayang-layang, menyebar. Orang-orang di kantor yang ada di tingkat bawah dari kantor Sarman terkejut melihat uang beterbangan di udara. Di bawah, anak-anak maupun orang dewasa bersiap-siap menangkap uang itu. Suasana sangat meriah.
Sarman merenung. Sekilas terlintas di benaknya untuk mengakhiri pertunjukan ini.
“Cukup sampai di sini aku berpura-pura gila,” pikirnya. “Pesanku tentunya sudah dimengerti,”
Namun saat itulah kedua petugas keamanan yang merayap tiba di jendela. Salah seorang menyergap, berusaha merangkul Sarman, tetapi gerakan yang baru pertama kali ia lakukan dalam hidupnya itu kurang sempurna. Sarman malah jadinya terpeleset ketika membuat gerak refleks menghindar. Petugas itu hanya sempat mencengkeram sepatu Sarman.
Orang-orang di bawah berteriak histeris. Orang-orang dalam gedung berebutan melongok dari jendela.
Tubuh Sarman meluncur. Ketika meluncur jatuh, Sarman sempat berpikir, betapa sandiwaranya kini menjadi kenyataan.
Dengan gerak mirip tarian, tubuh Sarman menembus sebaran uang kertas yang belum juga sampai ke bumi. Di bawah, petugas pemadam kebakaran telah membentangkan jala penyelamat lebar-lebar. Empat selang memancarkan air dengan keras ke atas.
“Apakah Sarman akhirnya bisa diselamatkan?” desak Alina yang sudah tidak sabar.
“Oh, itu sama sekali tidak penting, Alina,” jawab si juru cerita. “Itu sama sekali tidak penting,”.

Komentar

Postingan Populer