Lho - Yanusa Nugroho
Cerpen Lho karya Yanusa Nugroho ini membuat saya geleng-geleng kepala. Menurut Yanusa Nugroho sendiri dalam bukunya yang berjudul Kuda Kayu Bersayap, cerpen ini terinspirasi kisah nyata di sekitarnya. Seperti judulnya, usai membaca cerpen ini saya berucap "Lho, kok bisa?"
Pertama kali saya membaca cerpen ini dalam buku Kuda Kayu Bersayap, dan saya rasa cerpen ini cukup menarik sehingga saya membagikannya di Venusastra.
Lho
Karya Yanusa Nugroho
Dulu,
waktu aku kecil, sering orang yang lebih tua dariku menasihati bahwa
kedua telingaku ini harus mau mendengar ucapan orang lain. Tentu,
maksudnya adalah mau menerima nasihat dari orang lain, karena siapa tahu
mereka punya pengalaman hidup berharga. Nasihat itu selalu terngiang
dan bahkan sudah merasuk ke dalam jiwaku, sehingga ketika kuliah pun,
aku lebih suka jadi pendengar daripada pembicara.
Dalam
kehidupan sehari-hari, aku menjadi manusia yang jarang sekali
menggunakan mulut, karena aku entah bagaimana seperti tersihir oleh
kata-kata "diam adalah emas." Ada untung, ada pula ruginya. Untungnya,
aku menjadi manusia yang jarang salah ngomong dan sekali berkata, aku
selalu didengar orang. Ruginya, aku kurang populer di mata rekan-rekan
entah ketika masa kuliah dulu, atau sekarang ini di tempatku bekerja.
Bahkan, ketika aku sudah berumah tangga dan tinggal di kompleks, kalau
ada rapat RT pun aku tidak pernah diundang, gara-gara orang kurang
mengenalku. Terus mau apa coba?
Aku
memang tidak bisa bergaul, karena di dalam pergaulan yang dibutuhkan
adalah bicara, bicara, dan bicara. Mungkin karena itu pulalah aku jadi
suka mencari kesibukan sendiri. Kalau hari kerja, ya, memang tak ada
kesibukan lain selain mengerjakan tugas kantor. Tapi bila hari libur,
maka aku akan berusaha mencari kesibukan di rumah, atau tidur! Nah, pada
suatu kali ketika cuti, aku berniat mengecat rumahku. Kebetulan yang
akan kucat memang bukan seluruh dinding rumah, tapi hanya beranda dan
pagar tembok yang tak seberapa itu. Setelah kubayangkan warna yang akan
kuoleskan di dinding, aku pun ke toko material mencari cat dan peralatan
lainnya.
Belum
lagi aku mengunci pintu pagar, tiba-tiba Pak Sodik, orang yang biasa
mengerjakan renovasi rumah lewat di depan rumah. Setelah basa-basi dan
seperti biasa kujawab cuma dengan senyum, dia bertanya aku akan ke mana,
dan kujawab akan membeli cat tembok. Tanpa kuduga dia langsung bicara
panjang lebar soal harga cat, sampai warna. Dia, tanpa kuminta langsung
mengeluarkan ilmunya soal cat dan aku tak bisa lain kecuali mendengarnya
dengan kesabaran imitasi. Entah ke mana saja arah bicaranya, yang
kutahu pada akhirnya dia menawarkan diri mengecat tembok rumahku. Aku
tertawa kecil dan mencoba menolak dengan halus, "Wah, mana kuat saya
bayar Pak Sodik." Dia tertawa saja, tapi bersikeras agar pekerjaan
tersebut diserahkan kepadanya. "Pokoknya, Mas Nug terima beres. Daripada
tangannya belepotan cat, kan, enggak lucu?" tambahnya sembari
menodongkan tawarannya padaku. "Baik. Ongkos tukang catnya, berapa per
hari?" tanyaku sekadar ingin cari celah. "Ah, kayak enggak kenal saja,
pakai nanya segala..." jawabnya sambil tertawa entah apa maksudnya.
Begitulah percakapanku dengan Pak Sodik. Akhirnya dialah yang
mengerjakan pengecatan dinding rumahku.
Anehnya,
ongkosnya selalu dia rahasiakan, seakan aku sudah biasa menyuruhnya
mengecat rumahku. Sementara aku masih saja memikirkan kira-kira berapa
biayanya. Karena tak ada lagi yang bisa kulakukan, aku masuk kamar dan
membiarkan dia bekerja. Kusibukkan diriku dengan membaca apa saja. Entah
bagaimana aku meraih sebuah buku, oleh-oleh dari seorang kawan.
Panchatantra, sebuah kumpulan cerita klasik India, yang semasa kecil
kukenal lewat dongeng tutur ayahku. Meskipun sudah kuhafal benar
cerita-cerita itu, tapi saat itu aku menikmatinya juga. Kisah si petani
bodoh, Pertapa dan Jin, dan entah apalagi, kubaca semuanya, sampai
akhirnya tiba-tiba Pak Sodik muncul di pintu kamarku.
"Ada apa, Pak?"
"Sudah selesai..." jawabnya dengan raut muka kurang senang. Kulihat
arlojiku, baru jam tiga. Sudah selesai. Ya, memang hanya sedikit yang
harus dikerjakannya.
"Berapa, Pak?"
"Terserah sajalah... soalnya, ya,
gimana, ya. Ini, kan, enggak seberapa..." jawabnya dengan nada yang
menusukku.
"Tadi, kan, saya sudah bilang, kalau ini pekerjaan enggak
seberapa, dan juga soal biayanya... ya, kan?" kataku tak mau kalah.
Tapi, tampaknya dia tidak bisa menerima sanggahanku.
Dia terus menggumam
tak jelas, tapi kutahu maksudnya. "Kalau sekalian yang dalam, sih, saya
bisa mengira-ira berapa besarnya. Tapi, ini, kan, cuma sedikit. Jadi...
saya enggak enak mau minta bayarannya."
Aku makin kesal. "Pak, begini
saja. Enggak usah merasa enggak enak. Bilang saja berapa, saya bayar,"
kataku seraya mencabut dompet.
"Wah, jangan begitu Mas. Masak saya mau
narik ongkos lebih mahal dari harga catnya," ucapnya sambil tersenyum
kecewa
."Kalau memang begitu, ya enggak apa-apa. Ini mohon diterima..."
kataku sambil mencabut selembar 50 ribuan. Dia tak bicara lagi dan
langsung pulang.
Terus
terang aku kesal, mana mungkin hanya mengerjakan tak lebih dari 15
meter persegi, aku harus mengeluarkan upah Rp 50 ribu. Tapi, ya, mau
bilang apa? Beberapa hari kemudian, kebetulan aku diundang teman yang
mengadakan akekah untuk anaknya yang baru lahir. Di tempat itu pun aku
merasa hanya sebagai pendengar, mendengarkan orang bicara soal politik,
soal sepak bola, soal perempuan, soal anak-anak, narkoba, dan entah apa
lagi. Rasanya begitu banyak pengetahuan mereka soal topik-topik itu,
sementara aku merasa tak tahu apa-apa. Gelak tawa dan canda ria
berhamburan di sekitarku dan seakan tak mau menyentuhku sama sekali,
sampai sebuah kalimat menyedot perhatianku: soal Pak Sodik.
Pak Wisnu,
seorang tamu juga, yang bicara soal Pak Sodik, segera kutanyai lebih
banyak. Katanya, dia kemarin menyuruh Pak Sodik membetulkan kitchen
set-nya. Sambil bekerja Pak Sodik ngoceh bahwa dia kecewa karena pernah
disuruh orang kompleks mengecat rumah dan dibayar murah sekali. Biasanya
dia dibayar Rp 100.000 per pekerjaan mengecat rumah, tapi cuma dibayar
kecil. Begitu tutur Pak Wisnu. Nyaris saja aku bertanya soal siapa yang
menyuruh Pak Sodik dan berapa jumlah uang yang diterimanya, tapi
kuurungkan. Tapi, yang membuatku jadi lebih kesal adalah ketika kudengar
bahwa Pak Sodik berkomentar soal luasnya tembok yang harus dicat.
Katanya, "Cuma ngecat se-emprit saja pakai nyuruh orang. Kayak bos saja.
Kayaknya enggak mau kotor." Entah apa yang kemudian diceritakan Pak
Wisnu, rasanya aku sudah tak tahu lagi. Terus terang aku marah pada
manusia "kancil" satu itu. Bagaimana mungkin dia bisa memutarbalikkan
ucapan dan membuatku seperti orang paling jahat di dunia. Sejak saat
itu, aku berjanji tak akan menyuruh dia lagi untuk melakukan pekerjaan
apa pun.
Suatu
kali, aku berniat mengganti rumput di halaman rumahku. Tak seberapa
luas memang, tapi jika diganti dengan rumput golf, kok, kayaknya bagus.
Tanpa pikir panjang, aku pergi dan membeli rumput tersebut. Ketika aku
asyik mencangkuli halamanku, tiba-tiba si "setan" itu muncul lagi.
Seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya, dia mulai berkomentar soal
rumput. Namun, kali ini tak kuhiraukan sama sekali. Ketika, sebagaimana
kuduga, dia akhirnya meminta pekerjaan itu, aku cuma menjawab bahwa aku
bukan sok bos yang hanya bisa menyuruh-nyuruh orang. Aku memang
bermaksud menyinggungnya, tapi badak juga dia rupanya. Entah bagaimana,
akhirnya dia pergi dan itu membuatku lega.
Akhirnya,
begitu magrib tiba, selesailah taman baruku. Puas juga rasanya mengisi
hari Minggu dengan kegiatan itu. Di stasiun kereta api yang akan
membawaku ke Kota, aku bertemu orang-orang kompleks yang juga berangkat
bekerja dengan menaiki kereta pagi.
Setelah omong sana-sini, akhirnya
ada satu kalimat yang membuatku harus menahan amarah. Menurut salah
seorang itu, entah siapa, Pak Sodik menggerutu bahwa di kompleks
ternyata masih saja ada yang bermental petani. Orang itu, kata Pak
Sodik, rumahnya bagus, barang-barangnya mewah, tapi tak mau memberikan
sedikit mata pencarian bagi orang semiskin dia.
Padahal, tambahnya,
rumput yang digantinya itu cukup luas, yang menurutnya bisa memberinya
10 - 20 ribu rupiah sekadar buat makan hari itu. Ketika aku duduk dan
menatap pemandangan di luar kereta, aku tak bisa mengerti tentang apa
yang baru kualami ini. Kereta api membawaku ke suatu tempat yang jauh
dari kompleks rumahku, tapi yang mungkin akan membawaku kepada
lingkungan yang tak jauh berbeda dari apa yang ada di sekitar rumahku.
Aku mulai berpikir, mungkin kini saatnya aku harus banyak bicara, entah
benar, entah salah. Yang penting bicara. Dengan berbicara, mungkin orang
akan segan kepadaku. Mungkin.
(Tabloid Nova, 5 Maret 2000)
![]() |
| Yanusa Nugroho |


Komentar
Posting Komentar