Kitab Omong Kosong dan iPusnas

Suatu malam di pertengahan Februari, 2017

Dengan secangkir kopi di meja tempat ‘menulis’ dan musik indie mengalun sangat cocok untuk menemani malam gelap dengan gemericik gerimis yang sejak tadi sore turun membasahi jalanan, membasahi aspal, membasahi tanah merah di depan rumah, dan membasahi tanaman di belakang rumah.

Di ruangan tengah, ayahku seorang diri bersorak kegirangan manakala tim jagoannya memasukan bola ke gawang lawan. Tidak, sebenarnya dia tak pernah menjadi pendukung klub manapun, dia hanya suka dengan sepak bola, tim manapun itu, Persib, Persija, ketika mereka memasukan bola ke gawang, pasti dia berteriak senang. Tampak seperti ada kesenangan tersendiri yang aku tak paham, mungkin karena aku jauh dari dunia olahraga. Kecuali catur, atau e-Sport *itu juga kalau ada yang berkenan memasukkannya sebagai cabang olahraga.

Beberapa jam yang lalu aku membaca eBook ‘Kitab Omong Kosong’ karya Seno Gumira Ajidarma, itu pun secara Cuma-Cuma alias gratis, meminjam di aplikasi perpustakaan milik negara, iPusnas. Perpustakaan Nasional berbasis digital ini memang kurasakan besar sekali manfaatnya, apalagi di era digital ini, semakin banyak hal-hal instan yang memungkinkan orang-orang duduk di depan layar komputer atau ponsel pintar sementara kurir mengantar barang atau makanan ke tempat duduknya.






Begitu juga dengan iPusnas, hanya tinggal mengunduh aplikasinya di Google Play Store (di Android, kalau di iOS belum tahu tersedia atau tidak di AppStore) secara gratis, mendaftar menjadi anggota perpustakaan, kemudian menjelajahi rak-rak digital. Berbagai macam buku disediakan di iPusnas, mulai dari sastra karya SGA, Tere Liye, atau Dee Lestari hingga komik sekocak Agen Polisi 212. Bacaan berat sampai ringan pun bisa anda dapatkan disini. Walaupun tampilan dan fiturnya masih belum maksimal, namun konten-kontennya tak boleh anda lewatkan untuk menambah pengetahuan.

Jadi situ baca apa aja di iPusnas?

Well, aku masih membaca Kitab Omong Kosong. Baru pinjam dua buku sih, Filosofi Kopi dan Kitab Omong Kosong. Berhubung tebal eBook Kitab Omong Kosong ini 456 halaman dan aku baru menyelesaikan 105 halaman (alias masih Bab 2) jadi nggak pinjam banyak-banyak dulu, takutnya nanti malah keenakan ganti-ganti bacaan, terus malah terbengkalai.



Oh, ya, soal Kitab Omong Kosong, dugaanku meleset, biasanya cerita pewayangan sulit dipahami dan bahkan silsilahnya begitu ruwetnya mirip cerpen Dusta Itu (Yanusa Nugroho), atau cerita-cerita lain yang lebih ruwet. Kisah dalam Kitab Omong Kosong ini begitu menarik, menceritakan pewayangan Ramayana dengan bahasa yang mengalir, menyisipkan berbagai kutipan dari kitab aslinya setiap halaman, dan dengan gaya SGA, menonjolkan cerita Maneka, si pelacur yang mempunyai rajah kuda di punggungnya (entah ini asli atau rekaan, yang pasti sungguh berkesan).

Tapi aku ini nggak terlalu mempermasalahkan kisah Maneka ini asli atau hanya tokoh rekaan SGA yang memang hobinya mengangkat tokoh-tokoh kelas bawah seperti Rambo sang tukang becak (Becak Terakhir di Dunia), Sukab sang pemburu anjing jalanan (Legenda Wongasu), atau Sopir taksi (Taksi Blues). Jikalau memang naskah aslinya, mungkin ini yang membuat SGA tertarik karena seperti dijelaskan sebelumnya, SGA hobinya mengangkat kisah orang-orang kelas teri.

Di Bab pertama, pembaca akan dijelaskan secara singkat Rahwana yang dihukum terjepit diantara dua gunung jelmaan anaknya, Sondara dan Sondari. Kisah gelembung kejahatan yang keluar dari mulut Rahwana hingga kisah Sinta yang diusir oleh Rama dari Ayodya karena permintaan rakyat Ayodya, hingga dengan penderitaan yang begitu mendalam, para siluman di hutan mengantarkan Sinta ke sebuah gubuk milik Empu Walmiki. Bertahun-tahun kemudian lahirlah Lawa dan Kusa.

Tampaknya sudah menjadi spoiler yang besar ya hihii..

Ngomong-ngomong, banyak pesan moral yang bisa didapatkan dari Kitab Omong Kosong ini, tak seperti namanya, isinya sangat padat dengan pesan moral, asalkan kita sebagai pembaca cukup cermat dalam melihat lebih dalam lagi tujuan penulis.

Penilaian sementara untuk kisah ini 9/10.

Memang rasanya jarang sekali karya-karya Seno Gumira yang jelek, hampir semuanya bisa memuaskan hasrat para pembaca dan penikmat sastra. Well, akhirnya lagu di playlist sudah mulai memutar Edge of The Blade – Epica, menggantikan lagu Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti-nya Banda Neira, artinya aku sudah cukup lama menulis 600 kata dan hampir 4000 huruf artikel ini. Malam juga semakin kelam, gemericik air hujan berubah layaknya rintihan wanita.

“Di bawah purnama
Lampu jalanan bercahaya
Menerangi malam kelam mencekam
Kunang-kunang menari
Walau mereka sadar

Purnama kan berganti”

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer