Negeri Para Pahlawan

Suatu malam dengan gemericik air hujan di luar rumah, Februari 2017

Entah kenapa, antara ada yang salah dengan kupingku atau settingan speaker yang pas, tetapi suara dangdut koplo yang diputar begitu terdengar merdu—benar-benar terdengar pas di telinga. Juragan Empang, Kimcil Kepolen, Edan Turun, dan lagu-lagu lain mengalir dengan merdu. Entah telingaku yang memang sedang menginginkan hiburan setelah aktivitas yang (hampir) padat seharian ini, pagi-pagi berangkat sekolah, pelajaran tambahan, pulang sekolah di jalanan licin yang entah kenapa APBD selalu tak bisa mencukupi kebutuhan masyarakat.

Sore hari diguyur hujan. Tak begitu deras namun terus menerus turun hingga malam tiba. Membuat jalanan licin, para pekerja enggan keluar rumah. Mungkin bagi rakyat pedesaan, wajib membeli sepatu boot, motor trail, atau mobil offroad. Karena jalanan yang rusak. Jalanan beraspal, baru saja diaspal beberapa waktu lalu setelah bertahun-tahun lamanya rusak parah, terbengkalai. Sebagus apapun kau bawa mobil ke desa kami, kau punya mobil bakalan sudah seperti kendaraannya War Boys di Mad Max. Tinggal kerangka saja.

Entah tiada masyarakat yang melaporkan hal ini ke pejabat setempat atau mungkin juga rakyat sudah bosan mendengar alasan para pemegang kekuasaan di wilayah kami. Semoga saja yang kedua tidak benar, karena, kau tahu, aku sudah muak dengan berbagai macam kasus di media. ‘Pejabat menistakan agama’, ‘wakil rakyat korupsi’, ‘wakil rakyat nonton video porno saat rapat, ‘pejabat mesum di ruang sekretaris’, dan berita miris sejenis. Dan, kau tahu, ketika mereka ditangkap polisi, digiring ke kantor, diliput media, mereka senyum-senyum seolah apa yang mereka lakukan adalah menyelamatkan dunia dari invasi alien. Absurd.

Yah-paling tidak, kita sudah bisa menduga kenapa mereka bisa senyum saat ketahuan melanggar hukum, penjara VIP, kemudian sipir penjara yang bisa disuap segepok uang palsu, atau karena mereka bisa membeli hukum dan jalan-jalan menonton pertandingan tennis. Tampaknya, oleh karena hal itu pula generasi penerusnya makin nggak bener, sekolah asal dapat ijazah, asal punya kenalan di internal pemerintahan, mereka yang bahkan tak paham urusan politik pun bisa duduk ikut rapat dengan telinga tersumpal headset.

Oleh karena itu pula, tampaknya, setiap orang ingin jadi pahlawan. Di depan istana negara sekelompok manusia berorasi, ingin jadi pahlawan, setidaknya bagi kelompok mereka. Di depan gedung perwakilan rakyat, sekelompok anak muda membawa spanduk besar dan pawai dari kampusnya, sama, ingin jadi pahlawan pula. Tak ketinggalan, sopir-sopir becak dan ojek yang sepi pelanggan ikut turun ke jalanan, berorasi, didandani, lumayan, sebungkus nasi untuk sarapan dan uang lima puluh ribu bisa di tangan mereka, mereka pun sama, ingin jadi pahlawan.

Begitulah kiranya para pahlawan tumpah ruah dari sana sini, membanjiri jalanan metropolitan. Para pelacur tiap gang pergi ke jalanan, mereka ingin jadi srikandi. Begal, jambret, germo, gigolo, dan preman datang dari berbagai arah. Tampaknya, peradaban sudah sangat maju saat ini. Atau mungkin mundur jauh ke belakang? Entahlah, yang pasti, di antara mereka, tiada yang ingin jadi pecundang.

Ketika pecah pertempuran antara para pahlawan itu, seperti perang Pandawa Kurawa di Kurustera, lantas ada yang gugur di jalanan (baca: medan perang), disebut apakah si pembunuh? Disebut apakah korban yang meninggal? Akankah mereka berdua sama-sama disebut pahlawan? Tak ada yang tahu pasti.

Sedangkan aku disini hanyalah seorang pecundang di belakang layar, di kegelapan malam, menikmati secangkir kopi panas dan musik yang mengalun. Aku tak peduli pada mereka yang mungkin saja berencana hendak kembali jadi pahlawan, atau memang sedang berlaga jadi pahlawan saat ini. Aku menikmati semua ini. Toh, kalaupun aku pergi ke sana, ikut-ikutan berdemonstrasi, adakah yang akan menganggapku pahlawan? Sedangkan di pelosok-pelosok negeri ini ribuan orang mengalami kemiskinan dan kelaparan, dan para pahlawan ini—entah berjuang untuk apa, yang jelas rakyat miskin itu bukan cakupan mereka.

Sudah kubilang kan, mereka pahlawan. Sudah. Itu saja. Mereka menganggap aku pecundang, terserah, aku sedang bersenang-senang disini. Percuma, berorasi di depan gedung pejabat, dan orang di dalamnya mendengarkan musik rock dengan earphone menempel di telinga. Percuma.

Jika yang ingin kau lakukan adalah mengganti sitem politik pemerintah, yang perlu kau lakukan adalah berprestasi, kemudian masuk ke internal pemerintah, jika kerjamu bagus maka kau bisa jadi menteri, atau mungkin presiden. Kalau Cuma berorasi tanpa ada usaha mengubah pemerintahan dari dalam, anak TK juga bisa. Weka weka weka.

Komentar

Postingan Populer