Sebuah Catatan Suatu Senja
Sore yang cerah, awal Februari 2017.
Lama sekali rasanya jarak antara satu
postingan dengan postingan lainnya. Ditambah dengan kesulitan akses internet
dikarenakan harga kuota melambung tinggi bak harga cabe dan sembako. Beberapa
kali saya hendak menulis, tapi alangkah terkejutnya melihat ad-ware yang cukup
menjengkelkan di komputer saya. Tiap buka internet, pasti selalu ada update
yahoo yang ternyata masih jelmaan virus Trotux yang mengubah settingan semua
browser.
Oke, lupakanlah tentang semua kejengkelan ini.
Ngomong-ngomong tentang internet, setelah sekian lama tidak membeli buku baru
seusai membeli Iblis Menggugat Tuhan, rasanya begitu hampa. Siang dan malam
dihabiskan untuk bermain game online dan membaca komik barat saja di komputer.
Berbeda dengan zaman dulu, karena dulu masih banyak buku berserakan disana-sini
(baca: memenuhi seluruh ruang tamu dan kamar tidur), saya masih sering membaca,
entah itu membaca majalah-majalah lama yang bertumpuk menjadi prasasti kertas
ataupun membaca cerita silat Wiro Sableng.
Tapi sekarang entah kemana, ada yang habis
dimakan rayap, ada yang tertinggal covernya saja, ada yang hilang usai dipinjam
seseorang, bahkan ada yang diangkut ke tukang rongsokan, ditukar dengan bawang
merah untuk sekali makan. Untuk mengobati rasa lapar dan haus terhadap bacaan,
saya mulai membaca cerpen-cerpen kompas dan tempo secara online di
Lakonhidup.wordpress.com atau di cerita-silat.iwapblog.com untuk membaca cersil
mandarin dan lokal.
Suatu ketika saya melihat-lihat cerpen di
website-website penulisan, sungguh kecewa, isinya 90% dapat dipastikan
merupakan cerpen remaja yang memuat romantisme semata, nilai moralnya dinomor
empatkan-entah lima-. Diluar romantisme, jarang saya menemukan cerpen-cerpen
segarang Eka Maryono. Paling, diluar kisah romantisme masa puber, saya
menemukan cerpen fantasi yang memuat pertarungan sengit antara manusia dengan
mahluk astral dengan nama tokoh kejepang-jepangan. Nakamoto, Mamamoto,
Kisaragi, Shinbo.
Walaupun menurut Seno Gumira Ajidarma tipe
orang seperti ini yang menuntut ‘sastra yang benar-benar sastra’, tapi katanya
lagi, sesungguhnya sastra itu tidak ada. Sebagai contoh, silahkan anda ketik ‘Baca
Cerpen Online’ di mesin pencari, yang keluar, jauh lebih banyak soal
percintaan, perselingkuhan, kisah sedih antara pangeran kodok dan putri keong,
atau semacamnya yang entah kenapa alur ceritanya hampir mirip. Monoton.
Layaknya sinetron Indonesia, ceritanya sudah
pasti dapat ditebak. Mungkin juga, Indonesia kehilangan stok penulis skenario
sinetron sehingga mendatangkan sinetron-sinetron Turki dan India.
Kembali soal sastra ini, jarang sekali
menemukan blog aktif yang membahas sastra secara mendalam. Kebanyakan dipenuhi
oleh blog berita abal-abal, penghasutan, ujaran kebencian, dan provokasi antar
umat beragama dan antara kawan sebangsa. Mungkin ini juga yang mengakibatkan
para sastrawan muda Indonesia menjadi kurang terlihat oleh generasi-generasi
terdahulu, ya, khususnya di era digital ini, informasi seputar sastra dapat
ditutupi dengan begitu rapatnya oleh jutaan website kemarin sore yang memuat
isu-isu provokasi.
Kini, masyarakat dimanjakan dengan berbagai
macam berita-berita hoax, berita penghasutan, dan berbagai macam
artikel-artikel yang bermaksud mengadu domba antara berbagai pihak. Seorang
kenalan saya berpendapat jika itu merupakan berita yang didanai oleh
pihak-pihak elit politik tertentu, hingga Yahudi dan isu-isu lainnya. Tapi,
menurut saya sendiri, sebagai seorang blogger sekaligus mantan pemain iklan di
media online, mereka melakukan itu atas dasar rasa rakus, lapar akan uang.
Ketika tulisan mereka yang menghebohkan itu bisa menembus ribuan pengunjung,
sudah bisa dipastikan uang mengalir ke rekening mereka. Dan lagi, segala
sesuatu yang nikmat itu selalu menjadi candu. Lagi, lagi, lagi dan lagi, hingga
akhirnya otak mereka disetir oleh nafsunya sendiri.
Kembali ke urusan sastra, tampaknya penikmat
sastra dewasa ini merupakan orang-orang tua yang ingin bersantai menghabiskan
pagi dan senja minum kopi di depan rumah sambil membaca cerpen, atau anak-anak
sekolah yang mempunyai tugas Bahasa Indonesia menganalisa cerpen dan kembali
dikumpulkan pada gurunya-tanpa ada hasrat untuk membacanya-.
Dalam situasi genting politik dan isu-isu
perpecahan disana-sini, saya selalu mengingat kata-kata bung Seno Gumira
Ajidarma “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena jurnalisme
bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran. Fakta-fakta bisa
diembargo, dimanipulasi, atau ditutup dengan tinta hitam, tapi kebenaran muncul
dengan sendirinya, seperti kenyataan.”
Kelebihan sastra adalah anda bisa menulis
tulisan-tulisan offensive sekalipun
dengan bahasa yang seakan-akan indah dan hanya memandang estetika semata. Jadi,
anda bebas menindas seseorang tanpa harus berurusan dengan Undang-Undang,
karena sastra tetaplah sastra, banyak sajak-sajak karya penulis besar seperti
sajak ‘Di Restoran’ Sapardi Djoko Damono yang ditafsirkan berbeda-beda oleh
banyak orang. Begitu pula dengan tulisan anda, boleh saja orang menafsirkan
apa, tapi kenyataan sebenarnya hanya anda yang tahu-dan Tuhan, tentunya- sehingga
tidak perlu berakhir di sel penjara yang dingin bersama para umat uang.
Senja diterkam malam, keremangan mulai
membanjiri langit. Awan putih bergerak diatas sana, memandang manusia-manusia
yang selalu mengotori langitNya tanpa belas kasihan, seperti saya dan anda yang
senantiasa merusak ciptaanNya. Akuilah, kita tak sempurna.
“Duhai
kasihku,
Nikmati
malam ini,
Pertunjukan
maksiat para bajingan
Memancing
gelak tawa
Para
penonton terhipnotis
Oleh
mata mereka sendiri
Di
luar sana,
Bulan
senantiasa berputar
Dan
di sini,
Kita
melahap skenario tanpa ujung”

Komentar
Posting Komentar