Masyarakat Kloning dan Jati Diri yang Diperkosa
![]() |
via Quote-coyote.com |
Di
zaman sekarang, sulit menemukan manusia yang bukan copy-an dari orang lain. Begitulah
yang saya lihat. Banyak manusia yang cenderung disetir orang lain sehingga
kebebasan mereka untuk berekspresi pun dikekang. Misalnya saja media. Berbeda dengan
zaman dulu, misalnya saja forum Kaskus yang dahulu ramai dengan Fight Clubnya
kini ditutup digantikan dengan debate club yang isinya terkesan norak. Walaupun
menuruti peraturan pemerintah, terasa ada yang mengganjal dan mereka ini
cenderung disetir oleh pihak tertentu agar mereka tidak tersinggung dengan
konten-kontennya.
Misalnya saja dengan didominasinya media oleh
kelompok tertentu membuat para penulis pojok di surat kabar hati-hati dan
enggan mengkritisi, tak seperti tahun-tahun kebelakang. Satu kata yang membuat
penulis kita enggan menuangkan pikirannya : diboikot!
Sebenarnya menulis realita itu mudah, hanya perlu
menuangkan apa yang terjadi di sekeliling dan menerbitkannya. Namun tak semudah
itu ternyata. Bagi para pemilik media-media besar, penulis yang kritis dan
terkesan melawan aturan dan standar umum publik itu bisa membahayakan reputasi
media. Bukannya dapat untung, nanti malah buntung yang ada. Nah Loh!
Jadi, bagi penulis yang menggantungkan hidupnya
untuk media-media besar, sepertinya sulit untuk menuangkan ide-ide mereka tanpa
disetir oleh keinginan masyarakat ramai. Bahkan salah seorang kenalan saya yang
menulis buku dan komik menerbitkan bukunya sendiri karena perusahaan-perusahaan
percetakan besar tidak mau menerima naskahnya, katanya terlalu liar. Mungkin alasan
lain yang membuat para penulis kolom surat kabar enggan menuangkan ide-ide
kritisnya (terutama untuk para tikus yang memakai dasi dan gemar memakan uang
rakyat) adalah karena takut dihukum dan diseret dengan kasus penghasutan.
Amboi! Sungguh mudah sekali menggiring manusia masuk
ke penjara sekarang. Jika dulu kau hanya bisa memenjarakan mereka yang membunuh
atau mencuri, sekarang yang bicara pun bisa dimasukkan ke penjara. Makanya jangan
pernah membicarakan manusia-manusia golongan atas – walaupun otak mereka
tampaknya ada di bawah—karena sekalipun kau bicara tentang realita, mereka yang
punya kekuasaan akan dengan mudahnya menggiringmu ke penjara, atau dalam kasus
yang lebih dramatis, diculik, disiksa, kemudian dibuang ke laut lepas.
Jika dahulu tikus hanya bisa mencericit, hilir-mudik
kesana kemari sambil menyeret-nyeret ekornya, kini tikus telah berevolusi. Selain
gaya berpakaiannya bak manusia, mereka tak lagi tinggal di dapur, tetapi duduk
manis di ruang kerja dengan sekretaris seksi membelai moncong-moncong mereka. Tikus
kini juga bisa membahayakan manusia, jika dulu tikus hanya memangsa padi, maka
sekarang uang pun ikut-ikutan dijadikan target operasi mereka. Tikus ini, jika
dibicarakan seperti yang sedang saya lakukan sekarang pasti akan ngambek, lapor
pak pol, main suap, kemudian menuntut orang yang hanya bisa bicara seperti saya
ke pengadilan.
Well, jika di Jepang sedang ramai manga dan film
TerraFormars, kisah kecoak yang telah berevolusi menjadi monster mengerikan
yang berkembang biak begitu pesatnya di mars, maka di Indonesia yang berevolusi
adalah spesies tikus. Kecoak, dalam TerraFormars bisa mengalahkan para missionaries
dari bumi karena mereka adalah kelompok mayoritas, mayoritas akan selalu bisa
menindas yang lemah. Tetapi di bumi kita tercinta, tikus-tikus ini merupakan
golongan minoritas menyedihkan, hebatnya dengan satu kata mereka bisa menindas
para mayoritas, dan juga bisa melenyapkan segala kritik dari minoritas :
Kekuasaan!
Modarr!
Kalau sudah begini, yang besar bisa jadi gepeng,
terus yang kecil bisa-bisa makin kecil hingga tak bisa terlihat sama sekali. Apalagi
jika yang saya katakan diawal itu memang benar, manusia sekarang tak lebih dari
kloningan orang lain, identitas aslinya mana bisa diketahui orang. Kalau sudah
begini manusia terlihat seperti robot dengan system operasi yang sama,
kesana-kemari dengan otak diprogram orang lain.
Jika dahulu daerah yang paling besar potensinya
melahirkan pemikir-pemikir berkualitas adalah Minangkabau karena ratusan
sastrawan dan pemikir kebanyakan dari ranah minang, maka sekarang tampaknya
Bali yang menjadi tempat para pemikir, khususnya dalam musik. Jika dahulu di
Minang masyarakatnya menuangkan pemikiran mereka dalam bentuk tulisan / sastra,
maka kini di Bali yang menjadi kanvas tempat mencoretkan ide adalah musik.
Jika diantara anda sekalian yang pernah mendengar
band-band Bali, jangan heran jika mayoritas dari mereka liriknya sangaattt
berkualitas. Kita lihat saja seperti Navicula, Superman Is Dead, Nostress, atau
Dialog Dini Hari. Banyak band-band indie dan rock yang mengusung tema berisikan
pesan moral. Seperti Superman Is Dead yang membawakan slogan ‘Bhinneka Tunggal
Ika in Rock n Roll Way’, Navicula yang membawakan tema permasalahan sosial
seperti dalam lagu ‘Mafia Hukum’ atau ‘Metropolutan’, dan Nostress yang
membawakan tema alam dalam lagu ‘Tanam Saja’.
Band-band seperti itulah yang menemani hari-hari
saya akhir-akhir ini, menurut saya mereka adalah contoh manusia yang berani
mengekspresikan kegelisahan mereka dan berani melawan arus. Jika musik
Indonesia sedang populer oleh musik romantis atau galau-galauan, maka band-band
ini dengan penuh percaya diri menyuarakan pemikirannya tentang problematika
sosial. Bali, dalam pandangan saya adalah sebotol arak bali, kios tattoo di
seberang jalan, pantai berisi turis memakai bikini, musik rock yang menggema dari
setiap sudut jalanan, dan kertas berisi puisi yang panjangnya 5km yang keluar
dari kepala setiap orang yang lewat.
Post ini ditujukan untuk melawan arus pula, tak
perlu takut karena segala sesuatu pasti memiliki resiko. Saya tidak menyuarakan
kebenaran karena kebenaran relative, tergantung dari kepala mana kita
meninjaunya. Saya menyuarakan kebangkitan, bangkitnya para penulis Indonesia di
tengah kemelut duka yang merantai keyboard dan pena.
-“Lebih baik dibenci menjadi diri
sendiri daripada disukai tapi menjadi orang lain” – Kurt Cobain.
Ciamis, 4/11/’17
Komentar
Posting Komentar