Wayang Golek yang Semakin Pudar
Wayang golek, sebuah pertunjukan boneka dari Jawa Barat itu hampir pudar. Beberapa waktu lalu saya menonton kembali lakon legendaris berjudul Rahwana Pejah, kisah Ramayana yang lebih dalam lagi mengisahkan tentang Rahwana, raksasa jahat nan rakus yang berasal dari Alengka.
Rahwana ini konon
bermuka sepuluh atau biasa disebut sebagai Dasamuka. Prabu Rahwana konon
merupakan seorang rakhsasa (iblis) yang mempunyai keahlian di bidang sastra,
namun sayangnya dia mempunyai kesombongan yang tinggi – kemudian digambarkan
dengan simbol dua puluh tangan.
Wayang golek jarang
sekali saya dengar akhir-akhir ini dipentaskan jika bukan dalam acara-acara
kebudayaan. Seorang dalang wayang golek yang saya sukai adalah Alm. Asep
Sunandar Sunarya dari grup Giriharja 3, merupakan seorang dalang yang terampil
dalam memainkan wayangnya. Entah kenapa yang paling saya suka dari Alhmarhum
Asep adalah geraman raksasa.
Wayang golek, sama
seperti halnya wayang kulit, bisa dijadikan sebagai media dakwah untuk umat
Islam. Banyak sekali pentas wayang yang digunakan sebagai ajang dakwah juga,
walaupun kisah wayang berasal dari agama Hindu di India. Dari sini saya
kepikiran, kenapa budaya dari India ini yang masuk ke Indonesia zaman dahulu
bisa digunakan sebagai media hiburan dan juga dakwah bagi para wali (kalau wali
menggunakan wayang kulit), tetapi sekarang kok budaya-budaya yang masuk tampak
seperti negatif semua?
Menurut saya pribadi,
tidak ada kebudayaan yang jelek, hanya saja kita harus bisa menerapkannya di
tempat yang tepat. Selain itu diperlukan juga adanya pendalaman lebih lanjut
tentang budaya yang masuk, karena dengan mendalami lebih jauh lagi, kita bisa
melihat apa sih makna/filosofi dari budaya tersebut. Jangan
sampai budaya luar masuk, kita nggak tahu maknanya apa, kemudian
kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Wayang golek tergantikan
oleh video-video yang semakin mudah diakses, beberapa orang berpendapat begitu
dan meng-kambing hitamkan teknologi sebagai penyebab kepunahan massal berbagai
budaya Indonesia. Well, tampaknya itu memang benar, tapi punahnya
kebudayaan bisa dicegah dengan adanya bantuan-bantuan dari berbagai pihak,
misalnya dari pemerintah seperti Kemendikbud yang mengadakan acara-acara yang
diharapkan akan mempertahankan kebudayaan Indonesia. Sedangkan jika mau
dipersempit lagi, maka lingkungan keluarga juga berperan penting dalam menjaga
kebudayaan warisan leluhur.
Saya sendiri
diperkenalkan kepada dunia pewayangan oleh ayah serta kakek saya, mereka
biasanya bicara tentang kisah dan silsilah pewayangan. Kakek saya merupakan
seorang mahabrata holic, beliau paham betul tentang berbagai macam keadaan
dalam kisah Mahabrata, mulai dari gada yang dipakai Bima untuk melawan seratus
Kurawa di Kurusetra hingga keadaan dan sejarah kenapa Padang Kurusetra
dijadikan sebagai arena tarung kedua saudara ini. Selain keluarga, beberapa
sastrawan turut mengenalkan saya ke dunia wayang seperti Yanusa Nugroho dalam
berbagai cerpen wayangnya dan Seno Gumira dalam cerpen Kitab Omong Kosong.
Wayang golek sudah siap
untuk menghilang, kemudian dilupakan masyarakat dan hanya akan tinggal nama.
Kemajuan teknologi bukan berarti harus melupakan peninggalan yang ada, kemajuan
teknologi harus diimbangi dengan menjaga kebudayaan Indonesia agar tetap lestari.
Percuma ada 17 ribu pulau jika kebudayaannya harus ditinggalkan. Indonesia tak
pantas menyandang negeri kaya jika rakyatnya melupakan kekayaan budayanya
sendiri.
Jangan pernah berpikir
jika orang yang menyukai wayang golek adalah orang tua, udik, kampungan, atau
bahkan manusia purba. Orang yang masih menghargai budayanya adalah orang yang
kuat, kuat ikut mempertahankan budayanya dari arus globalisasi yang
menyeret-nyeret semuanya. Tak masalah jika menyukai budaya luar, asalkan
diimbangi dengan masih mencintai –atau sedikitnya mengetahui budaya-budaya
bangsa.
“Indonesia Pusaka
Pusaka Indonesia
Hilang
Terbawa arus
Entah menguap
Bersama debu industri.”
Ciamis, 12/4/17
Komentar
Posting Komentar