Balada Orang Gila - Azi Satria
“Manusia-manusia
pudar.” Pria berusia empat puluh tahunan dengan pakaian compang-camping dan
rambut gondrong itu berpuisi di tengah jalan yang ramai, tak seorang pun
memperhatikan kecuali aku.
“Manusia kehilangan warna.” Kata pria gondrong
itu sambil menatap langit.
Aku mulai tertarik, untuk itu aku duduk di
bangku pinggir jalan sambil menghisap rokok.
“Manusia bagaikan lebah! Bekerja siang malam
hingga mati oleh aktivitas yang tiada hentinya!” pria itu berjingkrak dan
memposisikan tangannya bagaikan tokoh film kartun hendak mengeluarkan jurus
andalan.
“Manusia diterkam nafsunya sendiri! Manusia
telah kehilangan jati diri sebagai mahluk berjiwa abadi!” pria itu mulai
menari, seperti tari baris namun wajahnya menunjukkan ketidak senangan terhadap
orang sekitar.
Tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.
“Hei. Lagi apa?”
Ketika kulihat, Sinta sudah duduk disampingku
sambil memakan snack. Ia menatapku dengan penuh keheranan.
“Menonton sandiwara.” Jawabku.
“Lha, itu kan orang gila. Sudah lama dia
berkeliling di kota ini, selalu saja seperti itu. Ada desas-desus bilang kalau
dia gila karena ngelmu gagal.” Kata Sinta.
“Bagiku dia normal.”
Sinta mengerutkan dahinya saat aku berkata
demikian.
Kemudian kulihat lagi pria gondrong menggaruk
kepalanya, dan dengan ekspresi sedih dia berteriak lantang “Dimanakah bisa
kutemukan manusia di lautan lebah pekerja?! Dimanakah jiwa-jiwa abadi yang tak
terperangkap oleh duniawi?!”
Orang-orang yang lewat menatapnya dengan
sinis, ada juga yang melongo dan segera pergi menjauh, mungkin jijik.
“Aku berdiri di atas panggung kehidupan!
Memainkan peranku sendiri! Aku menjalani teater kehidupan dengan tokohku
sendiri! Aku menjadi tokoh utama dalam lakonku sendiri! Teater ini hening,
kawan! Hening oleh kebisingan lebah-lebah pekerja!” pria itu duduk dan
berteriak dengan ekspresi sedih.
“Aku berteriak lantang untuk peranku!
Pikiranku bukan lemari yang bisa kau kunci kemudian kau bakar sesuka hati! Aku
menolak untuk dijadikan kambing hitam atas kesalahan peranmu!” pria itu berlari
kesana kemari.
“Kau sudah lama disini?” Tanya Sinta.
“Lumayan, tadinya aku mau pergi mencari buku,
tapi tokonya tutup.”
“Toko buku yang mana?”
“Yang di seberang jalan itu, yang dulu kita
membeli buku Socrates itu bersama-sama lho, masa nggak inget?”
“Ooh.. toko itu kan udah lama tutup gara-gara
sepi peminat.”
“Begitu ya.. pantas di kota ini aku kesusahan
mencari toko buku.”
“Buku sekarang menjadi barang langka yang tak
berharga.”
“Seperti kebebasan.”
Sinta memandang wajahku.
“Ya, kebebasan.” Kataku lagi.
“Kebebasan apa?”
“Kebebasan berekspresi, sebuah hal langka yang
tak diminati. Orang lebih mudah untuk mempercayakan pikirannya kepada orang
lain untuk disetir sesuka hati. Seperti orang itu.” Kataku sambil menunjuk ke
depan.
Namun saat telunjuk ku arahkan ke depan, pria
gondrong kulihat sudah berada jauh, bersama beberapa polisi, tangannya
diborgol. Sinta menepuk pundakku.
“Sudahlah, apa kau mau menjadi orang gila
seperti itu?”
“Dia bukan orang gila, dia orang yang bebas.
Bebas sebebas bebasnya menjadi manusia yang utuh, dia tak mau diatur seperti
orang lain karena dia mempunyai perannya sendiri di kehidupannya.”
“Aturan ‘kan diciptakan untuk menjaga
kedamaian dan kerukunan.”
“Salah. Aturan diciptakan untuk mengekang
kebebasan.”
“Kau ini tak percaya hukum atau bagaimana
sih?”
“Aku muak.”
“Muak ya boleh saja, tapi tak perlu menjadi
egois dan mengkambing hitamkan aturan sebagai penyebab utama kurangnya
kebebasan untuk setiap manusia.”
“Lantas, apa yang perlu disalahkan?”
Sinta terdiam, aku tahu dia masih punya
keinginan untuk berdebat dan masih mempunyai banyak teori dan mungkin bisa
mengalahkan perkataan-perkataanku, namun kurasa dia memilih untuk diam karena
hal lain, bukan karena tak bisa mengalahkanku.
“Kau tahu kenapa orang tadi disebut gila?”
Tanya Sinta padaku.
Aku menggelengkan kepala.
“Karena minoritas selalu dianggap sebagai
sebuah kesalahan dalam kehidupan masyarakat. Dia menyuarakan ekpresi di tengah
lautan manusia yang pikirannya sudah disetir orang lain. Semua usahanya sia-sia
saja, tapi aku yakin, pikirannya akan terbang ke pikiran orang-orang seperti
kamu, kemudian berlanjut. Pikiran itu akan membekas bagaikan peluru, rasa itu
akan kamu rasakan kembali. Suatu saat nanti kau akan dianggap sebagai orang
gila pula.” Dia berceramah di depanku.
“Ya, aku akan menjadi orang gila selanjutnya,
berharap semoga ada orang waras yang mendengarkanku.” Jawabku sambil tertawa
getir.
Aku melihat bayang-bayang kebebasan di angkasa
biru, dan kudengar gema suara pemikiran. Kulihat jiwa-jiwa abadi terbang
melintasi langit bagaikan roket, membekas di angkasa. Walau aku tahu, gelap
akan menghapus semua itu.
Ciamis,
11:37 5/8/17
Malam
dingin.
Credit my personal blog : Asmovora
Cerpen ini dibuat tanpa melalui kritik dan saran terlebih dahulu dikarenakan beberapa orang yang saya mintai kritik enggan membacanya. ya, bukan enggan memberikan kritik, namun enggan membacanya! jadi mohon maaf apabila banyak kata yang menyinggung pihak tertentu.

Komentar
Posting Komentar