Basa Basi Sambil Ngopi Malam Hari #1
Postingan kali ini saya hadirkan untuk membahas beberapa hal
yang saya temukan akhir-akhir ini yang tampaknya bisa berguna bagi saya pribadi
atau bagi pembaca (mungkin). Ditemani segelas kopi hitam dan pisang goring panas
yang baru saja diangkat dari kompor oleh ibu, hal ini menambah semangat untuk
menulis, well.. mari kita mulai.
Kebenaran itu tidak perlu ada! – Seno Gumira Ajidarma
Saya tidak begitu terkejut ketika membaca wawancara antara WhiteboardJournal dengan SGA tentang
sastra di zaman sekarang ini karena dimana-mana orang berteriak kebenaran. Well, awalnya saya sekedar membuka-buka
tulisan Seno Gumira, membaca opini atau cerpennya, namun akhirnya saya bertemu
dengan Whiteboardjournal, yang mana
disana saya menemukan artikel wawancara bersama “Bapak Senja”. Disana Bung Seno
memberikan tanggapan seperti ini :
Sebetulnya, apakah ada
kebenaran yang tidak baru? Kebenaran itu sesuatu yang sulit. Mungkin memang ada
kebenaran di dunia, tapi kita tidak pernah bisa tahu dan mungkin tidak bisa
mendapatkan kebenaran. Makanya dalam ilmu pengetahuan sosial atau humaniora, berkembang
ilmu kritis, karena kebenaran itu dikuasai oleh rezim-rezim kebenaran juga.
Baik itu agama atau negara. Misalnya apapun yang dibilang agama atau negara itu
pasti benar. Nah itu rezim. “Yang umum sajalah” atau “yang normal sajalah,” nah
itu bentuk ungkapan rezim dan itu berbahaya.
Misalnya nasib LBGT. Klaim normal dicabut dari mereka, bahkan
sekarang, mending kalau mereka semata terlihat abnormal. Padahal itu konsep
normalitas yang sangat keliru, yang berpihak dan dimanipulasi. Begitupun dengan
semua kebenaran lain. Jadi kata-kata kebenaran itu tidak perlu ada, karena
mengandung klaim-klaim yang menguntungkan pihak yang mengeluarkan klaim maupun
orang-orang yang mendukungnya.
Semua yang ada di media sosial adalah pertarungan, makanya kacau
balau. Orang perlu mundur dan ambil jarak untuk belajar. Selain itu, tulisan di
media sosial hanyalah bentuk lain dari tradisi lisan, tidak ada hubungannya
dengan budaya menulis atau membaca. Ibarat bentuk cetak dari mulut saja
(tertawa). Jadi, level kecerdasannya gawat.
Nah, karena sebelum saya membaca wawancara itu pun sudah
membaca beberapa teks filsafat, maka saya nggak terlalu heran juga, walaupun
pada kenyataannya disana orang masih berperang kebenaran absolut atau kebenaran
relatif. Saya sependapat dengan sastrawan idola saya ini, karena kebenaran itu
tidak bisa dipaksakan dan tidak sama antara satu orang dengan yang lainnya,
atau bahkan hem.. kebenaran itu tidak
ada.
Untuk melihat isi teksnya (biar saya nggak dikira bohong
atau sekedar menghasut ya) silahkan klik link
-> https://www.whiteboardjournal.com/interview/30743/membongkar-sastra-bersama-seno-gumira-ajidarma/
Dunia
Sophie, novel ringan dengan pesan yang berat.
Kemudian
saya tadi sore mendapatkan link ebook ‘Dunia Sophie’ dari seorang kawan dunia
maya yang juga gemar dengan filsafat. Dunia sophie, awalnya saya kira novel ini
adalah novel anak-anak atau remaja, yah—paling mentok saya kira urusan
keluarga. Namun saya salah! Saya menyesal kenapa saya baru membacanya setelah
16 tahun terbit. Novel ini menceritakan tentang filsafat, tentang bagaimana kehidupan,
apa itu manusia, kenapa manusia perlu menjadi bijak, kenapa manusia perlu
berpikir, dan yang lainnya. Buku ini rasanya tak berlebihan jika saya nobatkan
sebagai buku ‘pelajaran’ terbaik yang pernah saya baca. Melalui sudut pandang
Sophie, seorang anak yang beranjak remaja, penulis menuturkan cerita dengan
santai dan tidak terkesan menggurui.
Novel
ini mengisahkan Sophie yang menerima amplop berisi surat dari seorang filsuf
misterius yang belakangan diketahui namanya sebagai Alberto Knox, dan pada
akhirnya semakin sering pula sang guru misterius ini memberikan pelajaran
filsafat pada Sophie, mulai dari Socrates, Plato, hingga Darwin. Penulis juga
memberikan selipan cerita ringan yang berisi pesan filsafat sehingga mudah
untuk dicerna orang awam seperti saya. Well,
ebook 500 halaman lebih ini merupakan sesuatu yang berharga, mendapatkannya dan
membacanya memang mudah, tapi memerlukan waktu untuk mencernanya.
Ipse se nihil scire id unum sciat
Beberapa
waktu lalu saya memasang kalimat ini sebagai status BBM dan facebook, namun
tampaknya lebih banyak orang yang menganggap saya ini gila, sableng, atau alien
planet namek. Kalimat ini berasal dari bahasa latin dan diucapkan oleh filsuf
Athena, Socrates. Adapun arti dari kalimat ini adalah : Aku hanya tahu satu hal yakni : aku tidak tahu apa-apa.
Beberapa
orang bilang ini merupakan paradox Socrates,
namun saya lebih ingin tahu tentang maknanya. Kalau menurut saya pribadi,
kalimat ini menunjukkan bahwa manusia perlu tahu jika manusia hanyalah setetes
air saja di samudera yang luas, pemikiran manusia bisa dibilang hanyalah
seperse-triliyun pengetahuan yang ada di alam semesta. Well, seorang bijak
seperti Socrates mana mungkin mmengatakan sesuatu yang lain bukan?
Amor fati fatum brutum
Kata-kata
ini diucapkan oleh seorang filsuf Jerman yang dikenal dengan nama ‘Sang
Pembunuh Tuhan’. Yups, Nietzsche! Filsuf berkumis tebal yang melebihi Freddy
Mercury atau Hitler ini mengatakan Amor Fati fatum brutum. Walaupun saya kurang
menyukai Nietzsche karena pandangannya saya anggap sebagai nihilism, walau
orang bilang pandangannya adalah menaklukkan nihilism. Well, untuk kalimat yang satu ini, saya merasa berterima kasih
karena dia telah mengatakannya.
“Cintailah takdir walaupun takdir itu
brutal.” Kurang lebih begitu yang bisa saya tangkap dari kata-kata
Nietzsche. Hal yang membuat saya heran, yang mengenalkan saya terhadap kalimat
ini adalah sebuah website Islam, well,
walaupun filsafat dilarang dalam beberapa pendapat ulama, namun akhirnya saya
bisa menemukan filsafat barat ini di website Islam. Menurut kajian, kalimat ini
berarti menerima segala sesuatunya dengan ikhlas, selalu bersyukur atas apapun
yang terjadi, walaupun kenyataan pahit kita harus tetap menerimanya.
Dihargai setelah mati
Judul
yang ini tampaknya terlalu aneh,tapi ini yang bisa saya simpulkan dari sebuah
chapter di buku Dunia Sophie dan perkataan guru saya. Socrates, seorang filsuf
Athena yang malang karena harus dihukum mati karena mempertahankan pendiriannya
hingga tiang gantungan, akhirnya semakin dikenal setelah dia tiada. Sedangkan beberapa
waktu lalu saya mendengarkan ceramah guru saya tentang harga, manusia perlu
melakukan sesuatu agar bisa dihargai orang lain.
Kedua
hal itu kemudian saya rangkai, akhirnya saya menemukan titik temu. Walaupun manusia
melakukan sebuah kebajikan, tak jarang banyak yang tidak dihargai semasa
hidupnya, nah di masa setelah meninggal biasanya yang merasa terbantu akan merasa
bahwa manusia itu perlu dihargai. Guru saya kemudian memberikan contoh tentang
pahlawan revolusi yang dijadikan pahlawan setelah meninggal. Well, mau di dunia atau setelah orang
itu mati, sebuah kebaikan akan dibalas kebaikan pula.
Saya
kemudian teringat pada perkataan Pramoedya Ananta Toer “Saat orang tidak
menulis, namanya akan hilang darri sejarah. Menulis adalah bekerja untuk
keabadian.” Sir Arthur Conan Doyle, Bastian Tito, dan penulis lain memang sudah
tiada, namun nama mereka tetap ada di hati masyarakat, mereka membagikan
pikiran mereka kepada orang banyak, pikiran tidak perlu diumbar, namun perlu
untuk dibagikan dan direnungkan atau dinikmati bersama-sama. Bingung? Sama.
Teori mengancam pikiran, tetapi cerita tidak. – A.S Laksana
Beberapa malam ke belakang, saya membuka youtube,
melihat-lihat video seperti biasa, memutar musikalisasi puisi, membuka musik
folk indie, hingga akhirnya video Ari Reda membawa saya kepada sebuah video
wawancara dengan A.S Laksana.
Dalam video tersebut, A.S Laksana berkata jika yang kita
perlukan adalah teknik penceritaan yang baik, karena cerita tidak mengancam
pikiran, berbeda denga teori. Teori mengancam pikiran, teori bisa membuat orang
waspada, sedangkan cerita tidak. Kemudian A.S Laksana melanjutkan, wajar saja
jika ada cerita yang menyinggung dan diboikot oleh kelompok masyarakat
tertentu, kata beliau itu sudah biasa.
Hal ini seolah menjadi letusan pistol untuk saya, saya
sekarang berada di garis start drag race, bersiap menunggu letusan pistol tanda
saya harus mulai meluncur. Saya akhirnya memahami, saya hanya perlu bercerita. Kata-kata
A.S Laksana ini juga yang menjadi inspirasi saya untuk kembali menulis cerpen,
walaupun cerpen saya dengan sengaja saya buat untuk menyinggung, tapi A.S Laksana
itu bukan masalah, dan pada akhirnya saya memposting cerpen Balada Orang Gila.
Videonya dari channel
YayatMF saya sajikan di postingan kali ini :
Saya sendiri tampaknya akan memilih hidup di jalan sastra,
mungkin gaya saya akan jadi bohemian beberapa
tahun kedepan, haha. Tapi itulah indahnya hidup, hidup itu indah, hidup itu
harus dibawa senang. Kalau nggak bisa bikin orang lain senang, ya terlebih
dahulu buat diri kita senang, guru saya pernah bilang begitu di suatu sore yang
cerah nan indah.
Well, saya sendiri
sudah menghasilkan belasan cerpen di minggu-minggu ini, namun semuanya masih
terlalu vulgar, saya belum bisa menggunakan metafora, jadi mungkin belum halus
bahasanya. Tapi bukankah indah seperti itu, misalnya saja Sapardi Djoko Damono,
beliau tak peduli orang lain yang sampai pusing memikirkan makna puisinya,
karena kebenaran dari makna puisi itu hanya sang pengarang yang tahu.
Well, saya pun tak
peduli orang mau menafsirkan apa tentang karya-karya saya, toh, Cuma saya dan
Yang Maha Kuasa yang tahu artinya. Orang mau bantu mikirin ya monggo, saya
malah merasa terbantu dan senang sekali. Kopi sudah habis, malam semakin
dingin.
Ciamis, malam senin
14/5/17


Komentar
Posting Komentar