Basa Basi Sambil Ngopi Malam Hari #1

filsafat nietzsche


Postingan kali ini saya hadirkan untuk membahas beberapa hal yang saya temukan akhir-akhir ini yang tampaknya bisa berguna bagi saya pribadi atau bagi pembaca (mungkin). Ditemani segelas kopi hitam dan pisang goring panas yang baru saja diangkat dari kompor oleh ibu, hal ini menambah semangat untuk menulis, well.. mari kita mulai.

Kebenaran itu tidak perlu ada! – Seno Gumira Ajidarma


Saya tidak begitu terkejut ketika membaca wawancara antara WhiteboardJournal dengan SGA tentang sastra di zaman sekarang ini karena dimana-mana orang berteriak kebenaran. Well, awalnya saya sekedar membuka-buka tulisan Seno Gumira, membaca opini atau cerpennya, namun akhirnya saya bertemu dengan Whiteboardjournal, yang mana disana saya menemukan artikel wawancara bersama “Bapak Senja”. Disana Bung Seno memberikan tanggapan seperti ini :

Sebetulnya, apakah ada kebenaran yang tidak baru? Kebenaran itu sesuatu yang sulit. Mungkin memang ada kebenaran di dunia, tapi kita tidak pernah bisa tahu dan mungkin tidak bisa mendapatkan kebenaran. Makanya dalam ilmu pengetahuan sosial atau humaniora, berkembang ilmu kritis, karena kebenaran itu dikuasai oleh rezim-rezim kebenaran juga. Baik itu agama atau negara. Misalnya apapun yang dibilang agama atau negara itu pasti benar. Nah itu rezim. “Yang umum sajalah” atau “yang normal sajalah,” nah itu bentuk ungkapan rezim dan itu berbahaya.
Misalnya nasib LBGT. Klaim normal dicabut dari mereka, bahkan sekarang, mending kalau mereka semata terlihat abnormal. Padahal itu konsep normalitas yang sangat keliru, yang berpihak dan dimanipulasi. Begitupun dengan semua kebenaran lain. Jadi kata-kata kebenaran itu tidak perlu ada, karena mengandung klaim-klaim yang menguntungkan pihak yang mengeluarkan klaim maupun orang-orang yang mendukungnya.
Semua yang ada di media sosial adalah pertarungan, makanya kacau balau. Orang perlu mundur dan ambil jarak untuk belajar. Selain itu, tulisan di media sosial hanyalah bentuk lain dari tradisi lisan, tidak ada hubungannya dengan budaya menulis atau membaca. Ibarat bentuk cetak dari mulut saja (tertawa). Jadi, level kecerdasannya gawat.
Nah, karena sebelum saya membaca wawancara itu pun sudah membaca beberapa teks filsafat, maka saya nggak terlalu heran juga, walaupun pada kenyataannya disana orang masih berperang kebenaran absolut atau kebenaran relatif. Saya sependapat dengan sastrawan idola saya ini, karena kebenaran itu tidak bisa dipaksakan dan tidak sama antara satu orang dengan yang lainnya, atau bahkan hem.. kebenaran itu tidak ada.

Untuk melihat isi teksnya (biar saya nggak dikira bohong atau sekedar menghasut ya) silahkan klik link -> https://www.whiteboardjournal.com/interview/30743/membongkar-sastra-bersama-seno-gumira-ajidarma/


Dunia Sophie, novel ringan dengan pesan yang berat.


Kemudian saya tadi sore mendapatkan link ebook ‘Dunia Sophie’ dari seorang kawan dunia maya yang juga gemar dengan filsafat. Dunia sophie, awalnya saya kira novel ini adalah novel anak-anak atau remaja, yah—paling mentok saya kira urusan keluarga. Namun saya salah! Saya menyesal kenapa saya baru membacanya setelah 16 tahun terbit. Novel ini menceritakan tentang filsafat, tentang bagaimana kehidupan, apa itu manusia, kenapa manusia perlu menjadi bijak, kenapa manusia perlu berpikir, dan yang lainnya. Buku ini rasanya tak berlebihan jika saya nobatkan sebagai buku ‘pelajaran’ terbaik yang pernah saya baca. Melalui sudut pandang Sophie, seorang anak yang beranjak remaja, penulis menuturkan cerita dengan santai dan tidak terkesan menggurui.

Novel ini mengisahkan Sophie yang menerima amplop berisi surat dari seorang filsuf misterius yang belakangan diketahui namanya sebagai Alberto Knox, dan pada akhirnya semakin sering pula sang guru misterius ini memberikan pelajaran filsafat pada Sophie, mulai dari Socrates, Plato, hingga Darwin. Penulis juga memberikan selipan cerita ringan yang berisi pesan filsafat sehingga mudah untuk dicerna orang awam seperti saya. Well, ebook 500 halaman lebih ini merupakan sesuatu yang berharga, mendapatkannya dan membacanya memang mudah, tapi memerlukan waktu untuk mencernanya.

Ipse se nihil scire id unum sciat


Beberapa waktu lalu saya memasang kalimat ini sebagai status BBM dan facebook, namun tampaknya lebih banyak orang yang menganggap saya ini gila, sableng, atau alien planet namek. Kalimat ini berasal dari bahasa latin dan diucapkan oleh filsuf Athena, Socrates. Adapun arti dari kalimat ini adalah : Aku hanya tahu satu hal yakni : aku tidak tahu apa-apa.

Beberapa orang bilang ini merupakan paradox Socrates, namun saya lebih ingin tahu tentang maknanya. Kalau menurut saya pribadi, kalimat ini menunjukkan bahwa manusia perlu tahu jika manusia hanyalah setetes air saja di samudera yang luas, pemikiran manusia bisa dibilang hanyalah seperse-triliyun pengetahuan yang ada di alam semesta. Well, seorang bijak seperti Socrates mana mungkin mmengatakan sesuatu yang lain bukan?

Amor fati fatum brutum


Kata-kata ini diucapkan oleh seorang filsuf Jerman yang dikenal dengan nama ‘Sang Pembunuh Tuhan’. Yups, Nietzsche! Filsuf berkumis tebal yang melebihi Freddy Mercury atau Hitler ini mengatakan Amor Fati fatum brutum. Walaupun saya kurang menyukai Nietzsche karena pandangannya saya anggap sebagai nihilism, walau orang bilang pandangannya adalah menaklukkan nihilism. Well, untuk kalimat yang satu ini, saya merasa berterima kasih karena dia telah mengatakannya.

Cintailah takdir walaupun takdir itu brutal.” Kurang lebih begitu yang bisa saya tangkap dari kata-kata Nietzsche. Hal yang membuat saya heran, yang mengenalkan saya terhadap kalimat ini adalah sebuah website Islam, well, walaupun filsafat dilarang dalam beberapa pendapat ulama, namun akhirnya saya bisa menemukan filsafat barat ini di website Islam. Menurut kajian, kalimat ini berarti menerima segala sesuatunya dengan ikhlas, selalu bersyukur atas apapun yang terjadi, walaupun kenyataan pahit kita harus tetap menerimanya.

Dihargai setelah mati


Judul yang ini tampaknya terlalu aneh,tapi ini yang bisa saya simpulkan dari sebuah chapter di buku Dunia Sophie dan perkataan guru saya. Socrates, seorang filsuf Athena yang malang karena harus dihukum mati karena mempertahankan pendiriannya hingga tiang gantungan, akhirnya semakin dikenal setelah dia tiada. Sedangkan beberapa waktu lalu saya mendengarkan ceramah guru saya tentang harga, manusia perlu melakukan sesuatu agar bisa dihargai orang lain.

Kedua hal itu kemudian saya rangkai, akhirnya saya menemukan titik temu. Walaupun manusia melakukan sebuah kebajikan, tak jarang banyak yang tidak dihargai semasa hidupnya, nah di masa setelah meninggal biasanya yang merasa terbantu akan merasa bahwa manusia itu perlu dihargai. Guru saya kemudian memberikan contoh tentang pahlawan revolusi yang dijadikan pahlawan setelah meninggal. Well, mau di dunia atau setelah orang itu mati, sebuah kebaikan akan dibalas kebaikan pula.

Saya kemudian teringat pada perkataan Pramoedya Ananta Toer “Saat orang tidak menulis, namanya akan hilang darri sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Sir Arthur Conan Doyle, Bastian Tito, dan penulis lain memang sudah tiada, namun nama mereka tetap ada di hati masyarakat, mereka membagikan pikiran mereka kepada orang banyak, pikiran tidak perlu diumbar, namun perlu untuk dibagikan dan direnungkan atau dinikmati bersama-sama. Bingung? Sama.

Teori mengancam pikiran, tetapi cerita tidak. – A.S Laksana


Beberapa malam ke belakang, saya membuka youtube, melihat-lihat video seperti biasa, memutar musikalisasi puisi, membuka musik folk indie, hingga akhirnya video Ari Reda membawa saya kepada sebuah video wawancara dengan A.S Laksana.

Dalam video tersebut, A.S Laksana berkata jika yang kita perlukan adalah teknik penceritaan yang baik, karena cerita tidak mengancam pikiran, berbeda denga teori. Teori mengancam pikiran, teori bisa membuat orang waspada, sedangkan cerita tidak. Kemudian A.S Laksana melanjutkan, wajar saja jika ada cerita yang menyinggung dan diboikot oleh kelompok masyarakat tertentu, kata beliau itu sudah biasa.

Hal ini seolah menjadi letusan pistol untuk saya, saya sekarang berada di garis start drag race, bersiap menunggu letusan pistol tanda saya harus mulai meluncur. Saya akhirnya memahami, saya hanya perlu bercerita. Kata-kata A.S Laksana ini juga yang menjadi inspirasi saya untuk kembali menulis cerpen, walaupun cerpen saya dengan sengaja saya buat untuk menyinggung, tapi A.S Laksana itu bukan masalah, dan pada akhirnya saya memposting cerpen Balada Orang Gila.

Videonya dari channel YayatMF saya sajikan di postingan kali ini :



Saya sendiri tampaknya akan memilih hidup di jalan sastra, mungkin gaya saya akan jadi bohemian beberapa tahun kedepan, haha. Tapi itulah indahnya hidup, hidup itu indah, hidup itu harus dibawa senang. Kalau nggak bisa bikin orang lain senang, ya terlebih dahulu buat diri kita senang, guru saya pernah bilang begitu di suatu sore yang cerah nan indah.

Well, saya sendiri sudah menghasilkan belasan cerpen di minggu-minggu ini, namun semuanya masih terlalu vulgar, saya belum bisa menggunakan metafora, jadi mungkin belum halus bahasanya. Tapi bukankah indah seperti itu, misalnya saja Sapardi Djoko Damono, beliau tak peduli orang lain yang sampai pusing memikirkan makna puisinya, karena kebenaran dari makna puisi itu hanya sang pengarang yang tahu.

Well, saya pun tak peduli orang mau menafsirkan apa tentang karya-karya saya, toh, Cuma saya dan Yang Maha Kuasa yang tahu artinya. Orang mau bantu mikirin ya monggo, saya malah merasa terbantu dan senang sekali. Kopi sudah habis, malam semakin dingin.


Ciamis, malam senin

14/5/17

Komentar

Postingan Populer