Dialog Sebuah Pikiran - Azi Satria | Cerpen

Dialog Sebuah Pikiran



karya

Azi Satria

Yang ada hanya pertengkaran
Pertikaian dan permusuhan
Apakah tak bisa disatukan
Menjadi satu dalam kedamaian..” [1]

Terdengar lagu reggae mengalun dari speaker tetangga sebelah.

Sinta menyulut rokok, kemudian menghisapnya pelan-pelan, mungkin merasakan bagaimana asap itu akan masuk ke dalam tubuhnya. Matanya menatap tajam pada gerombolan burung yang melintas untuk bermigrasi di langit sore.

“Kenapa sih, kita harus tetap tinggal disini?” Tanya Sinta lagi, sambil menatap mataku.

“Setidaknya, dengan tinggal disini kita bisa mmembuktikan kalau masih ada orang normal.” Jawabku sambil menerka-nerka pikiran Sinta.

Sinta menatap orang-orang yang lalu—lalang di depan rumahku sambil tangannya menggenggam bangku. Aku tahu dia tak senang dengan keadaan sekarang ini, hampir setiap hari kerusuhan selalu menghiasi surat kabar. Dia dibesarkan dalam keluarga yang harmonis dan saling menyayangi, kupikir keadaan sekarang membuatnya gelisah.

“Keadaan disini seperti konser musik metal, banyak kerusuhan tetapi orang-orang menyukainya. Aku tidak mengerti.” Katanya lagi.

“Itu karena kamu nggak mengetahui musik metal, kamu memandang keadaan dengan caramu, sedangkan orang-orang memandang dengan cara yang berbeda.” Aku berkata sambil meraih korek api di tangannya.

“Tidak bisakah keadaan disini seperti dalam konser folk atau jazz?”

“Lembut mendayu-dayu?”

“Tenang.”

Ruwet, nggak bakalan terwujud.”

“Kenapa?”

“Ego.”

Aku mengambil sebatang rokok filter, kemudian menyulutnya. Api dari korek cepat habis karena tertiup angin, namun dengan perlahan api itu akan menghabiskan rokok karena korek hanya berfungsi untuk menyalakan saja, dan dengan santai aku menghisapnya, membantu agar api itu tetap hidup dan menghabiskan sebatang rokok.

“Kenapa harus ada ego?” Tanya Sinta.

“Karena ada pikiran.” Jawabku “Bukankah lebih baik daripada tidak berpikir sama sekali?”

“Egois adalah salah satu bentuk nyata dari yang kau sebut tidak berpikir.”

“Jalani saja, pura-pura saja kau tidak dengar letusan bom dan teriakan-teriakan perang itu.”

“Aku masih bisa melihat darah terciprat, bau mesiu, dan merasakan jika udara ini semakin panas oleh kerusuhan.”

“Ini bagian dari dunia, warna-warni hidup. Ironi. Lama-lama kau akan merasa nyaman.”

“Nyaman sehingga aku tak mau keluar dari omong kosong ini?”

Sinta menatapku dengan tajam.

“Percayalah, jika kita bisa menyikapi ini dengan tenang semuanya akan kembali normal.” Kataku sambil membelai rambutnya yang hitam.

“Kita perlu suara, tapi tak ada yang mau teriak, sekalipun membuka mulut, akan langsung dibekap dari sana-sini.” Kata Sinta lagi.

Hey kau yang terluka karena engkau berbeda
Jangan pernah menyerah hancurkan kesedihan
Kita kan bersama, ayo lawan dunia
Injak kesombongan dan keangkuhannya..” [2]

Terdengar alunan musik rock dan tetanggaku bernyanyi-nyanyi riang di sambil mencuci mobil yang sebenarnya sudah mengkilap, ditambah mengkilap dengan plat merah.

“Tetanggamu itu, sinting apa gimana sih?” Tanya Sinta sambil mendelik dan memelototi tetanggaku.

“Dia aktivis tahun lalu, kemudian diangkat jadi dewan. Awalnya masih suka berteriak bersama rakyat di jalanan, kini kutanya pun dia hanya menjawab satu kata.” Jawabku sambil memandang tetangga sialan itu.

Seorang pengamen dengan tampang sangar dan tattoo memenuhi tangannya datang ke hadapan kami, kemudian tanpa disuruh ia bernyanyi

Ku bisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti..”[3]

Sinta memberi pengamen itu selembar uang lima ribu, kemudian dia bertanya
Nggak kerja?”

Pengamen geleng-geleng kepala.

“Ototmu gede, mungkin bisa jadi buruh pabrik.” Kata Sinta.

“Saya lulusan SD, mbak. Kalau mau kerja harus sarjana, hehe.” Pengamen berwajah sangar itu lama-lama tampak seperti kuda nil.

Sinta memberikan sisa rokok pada pengamen itu.

Makasih mbak, makasih!” pengamen berwajah sangar itu angguk-anggukan kepala, kemudian ngeloyor pergi lagi.

Udara semakin panas.

“Gelar duluan, otak belakangan. Selamat datang di negeriku, kawan.” Kata Sinta sambil menghisap dalam-dalam rokoknya.

“Begitulah keadaannya. Gimana jika ternyata penegak hukum, politisi, kemudian tokoh masyarakat juga sebenarnya hanya pekerja yang magang saja?”

“Untuk melihatnya, lihat saja di media. Apakah mereka benar-benar menggunakan otaknya untuk berbuat?”

“Tanpa otak pun, keadaan bisa damai-damai saja. Ini membuktikan keadaan disini lebih baik daripada di Amerika, Jepang, atau China. Di negara-negara itu mereka harus menguras otak untuk mengatur keadaan, disini tak perlu.”

Sinta nyengir kuda, kemudian dilemparkannya puntung rokok ke halaman.

A free for all
Fuck ‘em all
You are your own side!” [4]


Tetanggaku berteriak-teriak lagi. Mungkin gila.


Ciamis, 31/5/17

Catatan:

1 : Lirik Damailah Negeriku dari Guns Rasta
2 : Kita Vs Mereka dari Superman Is Dead
3 : Di udara dari Efekk Rumah Kaca
4 : Minority dari Greenday







Opsional –Dari penulis—

Setelah menulis beberapa cerpen yang dibalut dengan metafora-metafora membingungkan, akhirnya dengan senang hati saya bisa kembali menulis dan menyampaikan secara jelas apa yang saya katakan dalam cerpen-cerpen sebelumnya (Merpati, Negeri Tanpa Suara, Jalan-Jalan ke Neraka).

Well, terima kasih untuk Allah SWT—yang memberikan saya pikiran dan imajinasi ini, secangkir kopi, musik-musik folk, hening malam, filmnya Alejandro Doborowsky—yang semuanya sama-sama film ter-sialan, kemudian untuk orang-orang yang memberikan inspirasi—karena semakin ditekan, saya merasa semakin semangat, terima kasih sekali!
Setelah saya menonton wawancara AS Laksana “Cerita tidak sama dengan teori, teori bisa membuat orang waspada, namun cerita tidak. Wajar jika ada pertentangan dari kelompok tertentu, itu lumrah dalam kehidupan sosial” kemudian mendengar Seno Gumira berkata “Fungsi sastra tiap zamannya sama, membongkar tabu.” Akhirnya saya bisa kembali menulis—Yipee!

Untuk anda yang merasa resah dengan kehadiran cerpen ini, AS Laksana pernah bilang jika cerpen itu dibuat dengan perspektif tertentu, kemudian dipadukan dengan perspektif umum. Dan lagi-lagi, saya ‘berkiblat’ pada cerpen-cerpennya SGA yang menggunakan tokoh rakyat jelata sebagai tokoh utamanya. Jadi, cerpen-cerpen saya dibuat dengan sudut pandang orang-orang yang skeptis dan orang-orang ‘berandalan’ secara pikiran.

Saya juga berusaha untuk konsisten pada tema seperti ini karena Budi Darma pernah bilang jika seorang penulis berganti-ganti tema artinya penulis itu masih bereksperimen, tak peduli se’terkenal’ apapun, penulis yang mengganti-ganti tema tulisannya dianggap masih ‘eksperimental’.



Komentar

Postingan Populer