Ekonomi, Bung! Bukan Politik
Ekonomi, Bung! Bukan Politik
Secangkir kopi panas dan lagu Greenday – Minority membawakan
saya malam yang indah. Malam-malam terakhir ini saya merasa begitu hidup,
begitu bersemangat, pikiran saya merasa jadi segar kembali. Saya menonton
film-film lokal lawas, membaca novel Wiro Sableng, bersantai sambil menikmati
komik Marvel.
Saya telah putus dari sosial media.
Buset!. Kata-katanya tampak terlalu mengerikan karena walau
bagaimanapun juga, semua orang di sekitar saya –bahkan ibu saya sendiri—tak
bisa lepas dari sosial media. Sosial media menjadi lebih adiktif dari tembakau,
dan tampaknya beberapa tahun silam tak ada yang bisa memprediksi internet bisa
merajai dunia.
Saya sendiri sudah muak dengan internet, atau bisa dibilang
dengan sosial media. Sebulan yang lalu, tepat ketika saya masih mmenggunakan
facebook, setiap harinya muncul berita-berita tak jelas, penghasutan, hoax, dan fitnah. Hal ini tampaknya
menjadi sebuah ‘pembalasan’ atas berlakunya UU ITE, karena sebelum UU ITE
diberlakukan—kala itu saya masih berkutat di pembangunan wapsite musik bajakan—keadaan internet normal-normal saja.
Waktu penutupan situs-situs download lagu, saya masih menggunakan wapka, jadi saya memutuskan untuk berhenti
daripada kena aturan yang baru itu lagi panas-panasnya digulirkan. Usai
diberlakukannya UU ITE hate speech
atau ujaran kebencian itulah, puluhan situs berita abal-abal mulai bermunculan.
Setiap orang sekarang bisa menjadi jurnalis dadakan.
Seseorang bisa saja duduk di kamarnya, menulis berita heboh
dan menghasut orang lain, memperburuk keadaan sosial-politik Indonesia yang
memang sebelumnya juga sudah carut-marut. Pergolakan sosial terjadi,
manusia-manusia diadu domba—bukan ya, ini adu manusia.
Saya tampaknya tak akan menyalahkan pemerintahan,
menyalahkan kelompok tertentu, atau konspirasi-konspirasi lain. Saya hanya akan
menyalahkan ekonomi. Ekonomi menjadi sesuatu yang penting saat ini, karena
tatkala manusia menjadi pengangguran, tak ada pemasukan untuk kehidupan
sehari-harinya maka ia akan mencari jalan lain. Internet.
Internet bukan sesuatu yang haram, melanggar aturan, atau
menciptakan kerusuhan. Tapi manusia, manusia, iblis, dan nafsu sering
digambarkan sebagai penyebab kekacauan dunia. Bermodalkan internet harian, kau
menulis satu paragraph yang bisa menghasut berjuta manusia, kemudian terjadilah
sebuah perang maha dahsyat yang diawali oleh isengnya seorang pengangguran.
Nggak setuju? Nyatanya saya pernah mengalami hal yang sama bersama kawan-kawan
blogger angkatan 2015-2016an.
Saya berkutat di dunia berita, menulis berita yang sekiranya
bisa viral dan menghebohkan. Saya perlu uang, untuk itulah sebagian besar
kejahatan cyber dilakukan. Kejahatan cyber tidak ditujukan untuk memperpanas
kondisi politik, kejahatan cyber
ditujukan untuk menghidupi keluarga, kurang lebih begitu yang saya bisa
ketahui.
Bayangkan saja, bagaimana keadaan negara bisa menjadi panas
gara-gara isu yang tak bisa dibendung itu. Ada berita yang memperpanas kubu
hitam, ada yang memperpanas kubu putih, akhirnya bentrok. Kesempatan dalam
kesempitan, begitu yang saya ketahui, kebetulan saya mempunyai kawan seorang
blogger yang blognya berisi berita-berita semacam itu, tak tanggung-tanggung,
baru saja post 1 jam, viewers sudah
ribuan. Hebat betul kekuatan media sekarang ini.
Masyarakat Indonesia mencoba untuk mengikuti perkembangan
zaman, mulai dari anak muda hingga kakek-nenek tua renta internetan, tapi
mereka masih belum bisa membedakan mana hitam dan mana putih, layaknya anak sd
yang baru mengenal pacaran, belum tentu tahu apakah French kiss itu baik atau buruk –oke, lanjut.
Sebuah hal fatal yang dilakukan pemerintah adalah kurangnya
pengawasan di internet. Bapak saya mencibir “Virus udah menginfeksi, kok
pemerintah baru bertindak kalang kabut, katanya udah dimulai sejak lama di
negara lain”. Begitu pun penyebaran berita hoax,
pemerintah menurut saya hanya mengawasi media-media besar dan mengekang untuk
tidak keluar jalur. Disini salahnya, pemerintah tidak mengawasi media-media
kecil, bahkan kalau perlu saya ingin pendaftaran sosial media itu memakai kartu
identitas.
Orang Indonesia sudah cukup pintar. Pintar menghasut,
menyebarkan berita hoax, kebencian,
dan memfitnah melalui internet. Jika beberapa tahun lalu hal yang paling
mengancam rakyat Indonesia lewat internet adalah situs dewasa, maka kali ini
surat kabar jadi mengancam! Haha.
Kebebasan berpendapat seusai lewat orde baru ini sudah jadi
momok menakutkan bagi setiap orang. “Kebebasan berpendapat itu artinya bebas
menindas juga.” Kata Seno Gumira Ajidarma dalam sebuah wawancara. Menurut Seno
Gumira, sastrawan favorit saya, orang perlu menjaga jarak dari sosial media,
jangan sampai ikut-ikutan masuk ke dalamnya, karena sosial media itu merupakan
arena pertarungan. (Wawancaranya bisa anda baca sendiri di WhiteboardJournal)
Memang betul begitu yang saya rasakan. Saya akan mencoba
menarik diri dari media sosial, kemudian bersantai sambil menikmati kopi hitam
yang aromanya menggoda di kamar, duduk dan menyaksikan pertarungan yang bahkan
saya tak yakin ini akan berakhir.
Ciamis
21/5/17
Komentar
Posting Komentar