Gugatan - Supartika
Kali ini saya hendak membagikan cerpen yang menurut saya
cukup ‘berani’. Cerpen Gugatan karya I Putu Supartika ini menyinggung keadaan
sosial Indonesia –dan seseorang tentunya—tapi cerpen ini takkan ada yang berani
untuk memboikotnya karena satu hal : MASYARAKAT INDONESIA MAYORITAS TIDAK SUKA
MEMBACA. Seperti kata A.S Laksana, wajar jika ada kelompok tertentu yang
tersinggung, itu sudah biasa, namun cerita berbeda dengan teori, cerita tidak mengancam/membuat
orang waspada, cerita hadir sebagai pandangan lain yang disajikan berbeda
dengan perspektif umum. Selamat membaca!
Gugatan
Karya
I Putu Supartika
Sudarma
meninggal siang tadi karena serangan jantung, dan sore ini mayatnya dikubur di
sebuah kuburan tua yang ditumbuhi rumput ilalang yang tingginya selutut, dan
rohnya dilempar ke neraka oleh malaikat. Andaikan saja ia tidak mendengar
jeritan dan raungan orang-orang yang tersiksa, dan melihat jilatan api di
kejauhan, pasti ia akan menganggap dirinya tersesat di sebuah kegelapan malam
dengan gelap yang tiada ampun.
Ketika kesadarannya belum pulih benar, dua penjaga neraka dengan
tubuh gempal hitam, wajah bengis, dan bertaring tiba-tiba menyeretnya.
“Bajingan, kau mau bawa aku ke mana?”
Sudarma membentak dan mencoba melawan, tetapi tak digubris.
“Kau mau bawa aku ke mana?”
Lagi-lagi tak ada jawaban. Kedua penjaga itu berjalan lurus
menembus kegelapan malam sambil menyeret tubuh Sudarma. Setelah melewati jalan
dengan kobaran api di kiri dan kanannya, ia diseret melewati anak tangga yang
tinggi, entah berapa jumlahnya. Mungkin 2.222 anak tangga, atau mungkin 22.222
anak tangga, atau bahkan 222.222 anak tangga.
Sampai di puncak anak tangga, tubuhnya dilempar, seperti
melempar bangkai anjing ke sungai dan ditinggalkan begitu saja. Ia berdiri
dengan bersusah-payah, lalu menengok ke belakang dan tidak menemukan anak
tangga yang tadi dilewatinya. Ia hanya melihat api. Api yang begitu besar dan
ia tidak pernah melihat api sebesar itu sebelumnya. Hawa panas yang luar biasa,
keringat yang meleleh, dan ia mencoba untuk berlari menjauhi api itu. Ia
berlari, api itu tetap mengikuti dirinya. Di belakangnya, seperti seekor anjing
mengekori majikannya. Setiap menoleh ke belakang, api itu semakin mendekat.
Hingga ia merasa lelah, lelah, sangat lelah, lalu terjatuh karena kelelahan.
“Kau harus dilempar ke kerak neraka.”
Ia mendongakkan mukanya dan mendapati di depannya berdiri
sesosok makhluk aneh. Besar, bertanduk, berpakaian serba putih, dan membawa
sebuah buku.
“Siapa kau?”
“Pencatat perbuatan manusia di dunia.”
“Apa maumu?”
“Menyeretmu ke kerak neraka.”
“Kerak neraka?”
“Ya.”
“Salahku?”
“Banyak.”
Ia bangun lalu mendekati makhluk aneh itu.
“Tidak! Aku tidak percaya.”
“Apa kau tidak percaya denganku?”
“Tidak!”
“Apa kau tidak percaya dengan udara dan embus napasmu?”
“Aku percaya, tapi tidak dengan kau.”
“Itu aku.”
“Kau bohong.”
“Aku ada dalam napasmu, aku ada dalam darahmu, aku ada dalam
pikiranmu, aku ada dalam keringatmu, aku ada dalam pembuluh nadimu, aku ada
dalam jantungmu, aku ada dalam suaramu, aku ada …. ”
“Diam kau bajingan! Aku tidak pernah merasa bersalah, semua yang
aku lakukan adalah benar. Kau tak berhak menyeretku ke neraka. Semestinya di
surga tempatku.”
“Kau banyak dosa. Tidak pantas di surga.”
“Aku selalu taat berdoa.”
“Hanya untuk pencitraan, agar orang-orang memandangmu sebagai
manusia saleh, manusia tanpa cela. Doamu tidak tulus, mulutmu busuk. Dan dalam
buku catatanku telah tercatat dengan rapi, dan tidak bisa kau bantah.”
“Bagaimana bisa kau bilang pencitraan? Aku telah berdoa ke semua
benua. Aku berlayar dari ujung timur ke ujung barat, dari ujung selatan ke
ujung utara. Setiap kuil aku singgahi, setiap tempat ibadah aku singgahi, dan
di sana aku berdoa, aku berdoa, dan terus berdoa. Bangun tengah malam aku
berdoa, fajar aku berdoa, sebelum mandi aku berdoa, sebelum makan aku berdoa,
siang, sore, senja, sebelum bekerja, di jalan, aku selalu berdoa. Apakah doaku
masih kurang?”
“Tidak ada artinya. Doamu tidak tulus. Kau berdoa, tapi kau
selalu nyinyir mengurus orang yang tidak berdoa. Mulutmu busuk, membuat banyak
orang sakit hati. Apa kau ingat berapa pelacur yang kau sebut anjing karena
tidak pernah berdoa dan tidak kenal Tuhan, sementara kau rajin datang ke tempat
pelacuran?”
“Apa salahnya? Aku memperingatkan mereka agar mereka taat
berdoa.”
“Dengan mulut berbisa?”
Ia terdiam. Saat masih hidup, memang benar ia telah melewati
semua benua untuk berdoa. Ia mengejar Tuhan ke mana pun yang ia bisa. Dan saat
perjalanannya mengarungi semua benua untuk berdoa, ia juga tidak lupa singgah
ke tempat-tempat pelacuran terkenal dan mewah di setiap benua yang
disinggahinya. Masih terdengar jelas di telinganya dengus napas pelacur yang
ditindihnya. Masih ingat dengan jelas pula bagaimana ia mengumpat dengan kata
anjing kepada pelacur yang habis ditidurinya setelah ia menanyakan apakah
pelacur itu punya Tuhan, dan pelacur itu mengatakan tidak mengenal Tuhan, dan
ia tidak pernah tahu bagaimana pelacur itu akhirnya gantung diri beberapa bulan
setelah itu karena sakit hati.
“Tapi, aku masih punya perbuatan baik. Sewaktu menjabat wali
kota, aku membangun banyak tempat ibadah, dan banyak dari tempat ibadah yang
aku bangun, biayanya keluar dari kantongku sendiri. Aku mengalokasikan dana
sebesar-besarnya untuk pembangunan tempat ibadah, hingga kota yang aku pimpin
menjadi kota suci, tempat para dewa, dan para malaikat baik.”
“Kau membangun banyak tempat ibadah, tapi rakyatmu banyak yang
mengemis di pinggir jalan. Uang yang kau sumbangkan atas nama pribadi, kau
ambil dari khas kota.”
“Itu tidak benar. Jangan sembarangan menuduh. Apa kau menguping
pembicaraan – yang sakit hati karena kalah saing dalam pemilihan wali kota?”
“Apakah aku lebih percaya pada lawan politikmu daripada
kemampuanku? Aku adalah keadilan, aku bertindak seadil-adilnya kepada semua
makhluk. Aku tidak mengadakan yang tidak ada, aku juga tidak meniadakan yang
ada. Aku mencatat apa yang ada, dan sebenar-benarnya.”
“Apakah aku harus mengaku melakukan dosa itu?”
“Maling tidak selamanya harus mengaku maling.”
“Rakyatku banyak yang menjadi pengemis, itu karena mereka malas.
Mereka malas mencari kerja, mereka hanya ingin hidup mewah, mereka tak mau
berusaha. Mereka pemalas! Sudah sepantasnya mereka menjadi kere dan mengemis di
pinggir jalan.”
“Apakah tugasmu jadi wali kota untuk menghukum mereka?”
“Aku sudah membantu mereka, setiap minggu aku turun ke
pelosok-pelosok kota. Aku berkeliling melihat mereka, dan kadang aku memberikan
mereka bantuan dari kantongku sendiri. Lewat anak buahku, aku juga telah
mengirimkan bantuan kepada mereka. Aku memberikan mereka bahan makanan,
pakaian, dan semua yang mereka butuhkan. Membuat banyak program agar mereka
tidak miskin lagi. Tapi toh mereka tetap miskin, mereka pemalas. Apakah aku
salah?”
“Apakah menurutmu semuanya itu benar?”
Sudarma terdiam. Ia tidak menjawab benar atau salah. Ia hanya
ingat bahwa ia telah melakukan yang terbaik untuk kotanya. Menjadikan kotanya
kota suci, hingga banyak para pelancong datang ke kotanya untuk berdoa, atau
sekadar untuk menebus dosa-dosa yang telah menumpuk agar dikurangi setengahnya
atau bahkan dihapuskan semuanya. Tapi dalam hal lain, ia juga pernah
menggelapkan dana pembangunan tempat suci untuk membelikan anaknya mobil, dan
sebuah apartemen untuk istrinya, dan sebagaimana yang dikatakan makhluk aneh
itu. Ia juga sering menyumbang atas nama pribadi, padahal uang yang
disumbangkan itu milik pemerintah.
Bagaimanapun juga, hati kecilnya sebenarnya membenarkan semua
ucapan makhluk aneh yang berdiri di depannya. Ia memang melakukan apa yang
dikatakannya, tetapi ia tak mau mengalah begitu saja.
“Hei makhluk pembual. Aku tidak percaya dengan semua bualanmu.
Aku perlu bukti!”
“Bukti?”
Makhluk aneh itu melemparkan buku yang ada di tangannya. Buku
itu mengenai kepala Sudarma yang membuatnya sedikit puyeng karena buku itu
sangat tebal.
Sudarma membuka halaman pertama, dan tertulis dengan jelas kapan
ia dilahirkan, di mana ia dilahirkan, dukun yang membantu kelahirannya, siapa
orangtuanya, dan tetek-bengek lainnya yang berhubungan dengan kelahirannya. Di
halaman berikutnya tercatat kapan pertama kali ia melakukan dosa, dan dosa apa
yang dilakukannya, dan kebaikan apa pula yang ia lakukan.
“Sudah cukup?”
“Belum, aku harus mengecek semua kebenarannya.”
Makhluk aneh itu tersenyum mendengar jawaban Sudarma.
Sudarma membuka halaman lain secara sembarang. Di halaman itu
tertulis, dirinya sewaktu SD pernah meminjamkan uang untuk temannya yang tidak
membawa bekal.
“Biar kau tahu makhluk bodoh, aku pernah membantu temanku yang
tidak membawa bekal saat sekolah dulu. Seharusnya aku dapat sedikit surga.”
“Aku tahu itu, dan seharusnya kau membaca kelanjutan catatan
itu.”
Sudarma membaca paragraf selanjutnya. Tercatat ia menagih uang
itu dua kali lipat keesokan harinya.
“Brengsek! Seharusnya aku tidak melakukannya,” Sudarma mengumpat
dalam hati.
Ia menutup buku itu dan membukanya kembali dari halaman
belakang. Dan tercatat dengan jelas pula, sehari sebelum meninggal, ia meludahi
seorang pemulung yang kedapatan mencuri sepeda rusak yang tergantung di
belakang rumahnya. Tapi, dalam dua paragraf berikutnya tercatat sehari sebelum
meninggal ia menyumbang untuk pembangunan tempat suci di kotanya.
“Sehari sebelum meninggal, aku melakukan perbuatan yang mulia.
Aku menyumbang untuk pembangunan tempat suci, seharusnya itu bisa menebus
dosaku. Ini jelas-jelas tidak adil.”
“Dan di halaman selanjutnya tercatat, kau meminta panitia yang
menerima sumbanganmu untuk mencatat namamu di halaman pertama sebuah koran yang
terkenal di kotamu.”
Begitulah, Sudarma mencermati halaman demi halaman buku itu, dan
selalu mengungkapkan kebaikan yang telah ia lakukan dalam hidupnya yang ia
temui dalam buku catatan itu, dan semuanya mendapat sanggahan yang membuat
dirinya tidak bisa melawan.
“Apakah bisa diakhiri?”
“Aku belum membaca semuanya.”
“Masih ada waktu setengah hari untukmu.”
Sudarma tenggelam dalam catatan-catatan perjalanan hidupnya, dan
makhluk aneh yang berdiri di depannya tersenyum melihat manusia yang keras
kepala itu. Dalam sejarah penghakiman manusia atas dosa yang dilakukannya di
dunia, baru kali ini ia menemukan manusia keras kepala dan merasa dirinya
pantas mendapatkan surga atas dosa-dosa yang telah dilakukannya.
“Waktumu habis.”
“Aku belum membaca semuanya.”
“Tidak ada waktu lagi.”
“Lagi setengah hari saja dan aku akan membaca semuanya.”
“Api di belakangmu akan segera menggulungmu.”
Ia menoleh ke belakang. Ia bergidik melihat api yang begitu
besar.
“Tunggu dulu, di sini tercatat aku pernah berpuasa, dan
melakukan malam penebusan dosa sebagaimana yang dilakukan Lubdaka saat …. ”
Ia belum selesai mengucapkan kalimat itu, dan tubuhnya sudah
digulung api yang begitu besar, dan makhluk aneh yang ada di depannya tak
mendengar apa pun yang dikatakan Sudarma.
Keterangan:
Lubdaka adalah seorang pemburu
yang memperoleh surga karena berpuasa dan melakukan malam penebusan dosa saat
Siwa Ratri dengan tanpa sengaja saat ia berburu di tengah hutan. Kisah ini
diceritakan dalam kitab Siwaratri Kalpa.
Supartika memiliki nama lengkap I Putu Supartika, lahir di
Karangasem, Bali, pada tanggal 16 Juni 1994. Alumnus Universitas Pendidikan
Ganesha, jurusan Pendidikan Matematika. Kini mengelola jurnal sastra Bali
modern Suara
Saking Bali.
Cerpen ini
saya temukan di LakonHidup.com
– hak cipta ada pada pengarang dan surat kabar, saya hanya membantu para
pembaca yang kesulitan mendapatkan koran untuk membaca cerpen-cerpen terbaru,
juga sebagai peringatan jika sastra Indonesia belum mati.
Mantap gan ceritanya juga keren kok
BalasHapusYupp 👍 semoga bermanfaat
Hapuscerpen gugatan ini memang sangat menarik
BalasHapus