Jalan-Jalan ke Neraka - Azi Satria
Jalan-Jalan ke Neraka
karya
Azi Satria
Aku berdiri
di ujung dunia, dimana asap polusi tidak menghalangi pemandangan, dimana hawa
kejujuran terasa segar saat dihirup. Aku melihat lembah yang sangat dalam
dibawahku, tiga langkah lagi aku berjalan ke depan, entah aku akan mati atau
menghilang.
“Pak,
permisi.” Kata seseorang di belakangku.
Tatkala aku
menengok, seorang pria tua datang ke dekatku dengan tabung bambu berisi nira. Pria
tua dengan baju lusuh dan kepala botak itu membungkuk ke hadapanku, membuatku
merasa tak nyaman.
“O.. Iya.. Monggo..” jawabku sambil beringsut
mundur.
“Mau nira?” Tanya
pria tua itu.
“Nggak, pak, terima kasih.”
Pria tua itu
duduk di tanah, menggali umbi-umbian dari tanah kering.
“Bapak asli
sini?” tanyaku.
“Betul, pak.”
Jawab pria tua itu.
“Jangan
panggil bapak, panggil saja Ujang.” Kataku.
Pria tua itu
tersenyum kepadaku, membuat keriputnya tambah berlipat.
“Dari kota?” Tanya
dia.
“Iya, pak,
saya kesini ingin menikmati ujung dunia.” jawabku.
“Bukannya
enak di kota?”
“Sumpek.” Jawabku.
Tiba-tiba
kudengar suara letusan keras di bawahku, tepat di dasar lembah. Aku melongok
sedikit, namun hanya kegelapan yang kulihat sejauh ini. Di belakangku Pak Tua
terkekeh geli.
“Dibawah sana
apa sih pak?”
“Katanya
akhirat.”
“Akhirat?”
“Iya.”
Aku pernah
mendengar tentang akhirat, siksaan-siksaan dan berisikan malaikat mengerikan. Konon
katanya terdapat banyak sekali manusia yang digiring, entah itu ke neraka atau
ke surga. Tapi aku belum pernah mendengar di akhirat terdapat letusan bom.
Pak Tua
memakan mentah-mentah umbi-umbian yang dia dapat dari tanah, kemudian berkata
padaku “Dibawah sana kerap terdengar perang. Sama seperti tanah ini dahulu
kala.”
“Kalau saya
ke bawah sana, bisa balik nggak?”
tanyaku.
Pak Tua
melongo sebentar, kemudian tertawa dan menampakkan giginya yang tinggal dua.
“Tergantung, sampeyan bisa atau nggak manjat tebing ini. Sejauh yang saya tahu sih—belum ada yang bisa naik kembali. Seperti keponakan saya.”
“Keponakan
bapak pernah turun kesana?” aku bertanya.
“Iya, katanya
mau pergi ke akhirat, dia bilang akan kembali dalam dua hari, nyatanya istrinya
menunggu disini hingga dua tahun dan akhirnya mati kelamaan menunggu.” Pak Tua
menjelaskan sambil tangannya mengupas kulit tipis ubi jalar.
“Bapak
sendiri, ada rencana pergi ke akhirat?” tanyaku.
“Sejauh ini,
belum. Tapi ada yang bilang mau membangun jalan menuju surga, saya berharap
pembangunannya akan terlaksana.” Katanya.
“Jalan ke surga?”
“Iya. Ada orang
dari kota bilang mau bikin jalan ke surga dari ujung dunia, namun itu dua puluh
tahun yang lalu. Kalau ke bawah lembah sana katanya sih ke neraka, kalau ke
surga jalannya memutar dari sini. Ada yang bilang kalau mau ke surga harus ke
neraka dulu.”
“Mosok?”
“He-em.” Jawabnya.
Aku jadi
penasaran, dan penasaran itu semakin menjadi-jadi tatkala aku mencium bau mesiu
dari bawah sana.
“Saya ke
akhirat dulu pak, kalau begitu.” Kataku.
Pak Tua asyik
memakan ubi, dan aku pun tak peduli, aku hanya penasaran dan ingin segera terjun.
Kemudian setelah menyingkirkan semua ragu, aku melompat ke lembah yang dalam
itu. Aku terjun, meluncur ke bawah bak roket yang hendak kembali ke bumi, aku
kini percaya dengan gravitasi.
Tak terhitung
berapa lama aku terjun hingga aku ketiduran, perjalanan ke akhirat benar-benar
lama dibandingkan perjalananku ke ujung dunia.
*
Ketika aku
bangun, aku sudah ada di sebuah kota yang ramai dengan kendaraan. Gedung-gedung
menjulang tinggi, dan langit tertutup asap polusi. Aku perlahan berjalan ke
toko terdekat, toko bahan makanan.
“Permisi,
pak. Ini di akhirat ya?” tanyaku.
“Oh.. betul
sekali. Dari dunia ya pak?” Tanya penjaga toko berbadan tinggi besar.
“Iya.”
“Selamat
datang di akhirat kalau begitu pak, silahkan lihat-lihat.”
“Kalau ke
surga ke mana ya pak?”
“Oo.. surga. Sebetulnya
bapak salah lewat jalur pak, kalau ke surga harusnya lewat ujung dunia sebelah
barat, pak, itu pun jalannya terjal dan banyak yang mati sebelum sampai. Kalau ujung
dunia sebelah timur bapak datangnya ke neraka.”
“Oh.. jadi
saya nggak bisa ke surga ini?”
“Nggak, pak. Kebetulan pemerintah akhirat
belum menyediakan jalan ke surga, jangankan dari neraka ke surga, pak. Dari dunia
ke surga saja pemerintah belum membangunnya. Jadi ya mohon bersabar saja.”
Aku akhirnya
berjalan-jalan di neraka. Tak terhitung berapa hari aku di neraka, yang pasti
aku nyaman berada di sini. Keadaan tak ubahnya seperti di kampung halamanku, ada
taman, sekolah, rumah sakit, dan berbagai fasilitas umum.
Hanya ada
satu yang kubenci dari neraka, di tengah-tengah neraka ini terjadi perang
abadi. Kata warga disini yang sempat kutanyai, katanya perang disini sudah lama
terjadi, dan tengah-tengah neraka ini persis tembus ke dunia.
“Buat apa
perang di neraka?” tanyaku.
“Harusnya kau
jangan tanya padaku,” ujar penghuni neraka lama “Mereka itu berperang maunya
ada jalan ke surga.”
“Mau jalan ke
surga?”
“Iya, makanya
berebut tiket ke surga. Kau mau juga?”
“Kenapa tidak?”
“Di surga
katanya belum ada apa-apa, pembangunannya belum selesai.”
“Mosok?”
“Iya, banyak
sumber daya diangkut dari surga, tapi pembangunan di surga belum rampung juga.”
“Kok iso?”
“Entah.”
Aku meminum
seteguk anggur merah, menyaksikan langit neraka yang tertutup polusi. Sementara
itu samar-samar kudengar demonstrasi warga yang menginginkan jalan ke surga
segera dibangun, bersamaan dengan bau mesiu yang menusuk hidung, membuatku
betah tak betah menikmati neraka.
Ciamis
Di bawah langit malam kelam.
23/5/17
:P cerpen ini sengaja saya buat agar nantinya
multitafsir, monggo ditafsirkan sesuai dengan pikiran anda masing-masing, arti
sejatinya hanya saya yang tahu dan nggak akan ngasih tahu siapa-siapa (wkwk..)
Well, mohon maaf karena latarnya mengambil tema religi,
karena saya terinspirasi kata-kata “Sasta berguna untuk membongkar hal yang
tabu”. Jadi saya porak porandakan, biar sastra Indonesia nggak terlalu romantik
>_<


Komentar
Posting Komentar