Melestarikan Kemanusiaan
“Manusia mungkin takkan punah, namun kemanusiaanlah yang
tampaknya akan punah”
Kurang lebih begitu kalimat yang saya dapatkan ketika
bersemedi hari ini di kamar, dengan segelas kopi hitam dan musik folk yang
mengalun dari speaker. Entah kenapa saya bisa sampai memikirkan hal itu, entah
karena topik berita akhir-akhir ini hanya aksi kubu ini dan aksi kubu itu,
mulai dari yang damai sampai yang pake lilin. Mungkin juga karena saya beberapa
waktu lalu membaca sebuah kutipan dari Socrates, yang kurang lebih seperti ini
dalam bahasa Indonesia “Aku hanya tahu satu hal, yakni : aku tidak tahu
apa-apa.” Kalau aslinya tertulis dalam bahasa latin seperti ini : “Ipse se
nihil scire id unum sciat”
Entah karena kebetulan atau kenapa, akhir-akhir ini saya
juga sering bertemu dengan nama-nama filsuf, misalnya ketika saya membaca
cerpen Seno Gumira, tertulis Nietszche dalam cerpen : Taxi Blues, ketika saya
membaca Sebiji Pisang dalam Perut Jenazah karya M Shoim Anwar saya menemukan
Sartre, dan ketika saya tak sengaja membuka website agama, saya menemukan
biografi Ibn Rusyd, filsuf Muslim asal Spanyol (cmiiw).
Kembali kepada kalimat di awal, manusia sejauh ini sudah
berusaha untuk bertahan hidup, melewati fase-fase menyedihkan sebagai
homosapiens yang awalnya tanpa aturan, awalnya hidup berpindah tempat, kemudian
mengenal berburu, bercocok tanam, kemudian mengenal agama, mengenal tulisan,
dan masih banyak lagi fase-fase yang beragam. Bahkan mungkin bagi penganut
teori Charles Darwin, manusia mengalami fase kera, namun saya takkan
membahasnya kali ini karena saya sedang membicarakan manusia, bukan kera.
Manusia telah berusaha untuk bertahan hidup, menyesuaikan
diri dengan perubahan zaman yang semakin maju begitu pesatnya. Jika dulu
Jayabaya menulis ramalan di atas lontar yang kemudian diwariskan kepada turunan
kerajaan, maka kini semua orang bisa menulis ramalan di status facebook, di
twitter, atau di blog. Tetapi, jika dilihat lebih seksama, manusia sekarang
semakin jauh meninggalkan jubah kemanusiaan mereka, manusia sekarang hanya bisa
berteriak lantang kalau mereka adalah manusia walaupun tingkahnya tak lebih
dari binatang.
Media berita semakin laku karena setiap harinya kegiatan
bejat terus bertambah, mulai dari pesta hubungan badan antar kelamin hingga
saling bunuh gara-gara istri selingkuh. Well, pembunuhan tampaknya memang bisa
mengatasi overpopulasi yang dikhawatirkan sebagian orang, namun pembunuhan
bukanlah cara manusia untuk mengatasi masalah. Beribu tahun silam manusia berburu
hewan, dan pikiran saya tak bisa mengira-ngira apakah yang membuat manusia
purba bisa sadar kalau mereka itu manusia, berbeda dengan hewan. Jika dibandingkan
sekarang, manusia yang katanya bisa berpikir hingga memiliki IQ ratusan masih
saja saling bunuh gara-gara hal sepele, masih saja berperang untuk hal sepele.
Zaman telah berubah maju, tapi manusia malah mundur ke
belakang. Kemanusiaan kini terkikis sedikit demi sedikit. Banyak peristiwa di
tahun-tahun ini, seperti manusia setengah burung kenari yang bicara tanpa pikir
panjang terlebih dahulu hingga gerombolan leopard yang membawa hukum rimba. Kucing
atau anjing boleh saja berlari dari ujung gang dan langsung menyambar betina
kemudian kawin di tengah-tengah jalanan ramai, namun manusia bukan anjing. Hewan
boleh saja menuntaskan hasrat mereka dimanapun kapanpun dan dengan siapapun,
namun manusia, manusia punya akal, situ anjing?
Negara-negara besar membentuk koloni, melancarkan serangan
dan menindas yang lemah. Walaupun pemimpin negaranya yang sialan, namun
rakyatnya ikut dipandang sebagai masyarakat sampah oleh mata dunia, oleh karena
itu seorang pemimpin harusnya menunjukkan kelebihan yang bisa dianggap benar
oleh masyarakat. Walaupun pada hakikatnya kebenaran itu bisa dianggap sampah
oleh yang lain, namun seorang pemimpin harus mendahulukan “benar” menurut
masyarakat luas dan mengesampingkan egonya.
Banyak orang yang mengaitkan terkikisnya kemanusiaan manusia
oleh hal-hal yang mereka anggap menyesatkan, seperti gara-gara Yahudi,
gara-gara Amerika, gara-gara Illuminati, Freemason, hingga settingan new world
order. Tapi, bisakkah kalian memberikan bukti nyata ke depan mata dan bukan
hanya “katanya”? menurut saya pribadi, manusia perlu berfilsafat, bagaimana
manusia menjalani hidup di dunia ini sebagai manusia.
Berfilsafat tidak sama dengan belajar filsafat, belajar
filsafat menuntut anda untuk merenungkan hasil pikiran orang lain, sedangkan
berfilsafat artinya merenungkan sendiri sebuah hal. Mungkin agak membingungkan
karena penyampaian saya kurang enak ya, wkwk. Manusia perlu merenungkan arti
hidup, filsafat menurut saya tidak harus dilarang, filsafat artinya memikirkan
sesuatu dengan akal yang diberikan oleh Tuhan. Banyak yang kurang percaya
dengan filsafat, dan secara tidak sadar mereka sebenarnya melahap materi
filsafat sejak kecil.
Manusia diberi kesempatan untuk berpikir, namun karunia itu
banyak yag disia-siakan saja, pada akhirnya manusia akan sadar, betapa
pentingnya berpikir. Zaman serba kacau, disana-sini kerusuhan terjadi, serangan
Israel terhadap Palestine, percobaan serangan Korea Utara ke Amerika Serikat,
peledakan bom bunuh diri di malam Natal, hingga gangster yang menguasai
jalanan. Manusia harus bisa bersama-sama berteriak “Resistance!” tapi apa daya,
manusia tidak punya kuasa untuk berteriak, jangankan berteriak, berbisik saja
langsung diculik seperti masa Orde Baru.
Manusia punya nyali, saya yakin semua orang mempunyai nyali,
hanya saja beberapa hal mengekang manusia untuk berteriak sekeras yang mereka
bisa. Saya berharap suatu hari nanti manusia bisa berteriak bersama-sama dari
seluruh penjuru mata angin, manusia ingin kembali pada diri mereka sebagai
manusia. Well, – mungkin harapan saya membutuhkan waktu untuk menjadi realita,
entah harapan ini menguap bersama angin malam yang berhembus semakin kencang.
Ciamis, malam Minggu
14/5/17


Komentar
Posting Komentar