Membebaskan Diri dari Belenggu Provokasi

Hari ini saya begitu berbahagia, dan kebahagiaan ini akan terus meningkat. Sudah hampir satu bulan saya menonaktifkan akun facebook saya, dan setelah satu bulan berlalu, saya menjadi agak tenang, kemudian merasa kebebasan yang sesungguhnya bukanlah bisa berdebat di media sosial, tetapi kebebasan yang sesungguhnya adalah menikmati segelas kopi panas sambil menuangkan pikiran ke dalam tulisan.

Di hari-hari awal saya lepas dari media sosial, saya merasakan ada sebuah ganjalan, sebuah beban tatkala saya tidak melihat timeline saya, saya bisa ketinggalan berita ini-itu atau sekedar untuk membully beberapa orang yang berbeda paham. Hari-hari awal saya lepas dari facebook ini sungguh sangat menyiksa, karena bagaimanapun setiap hari saya ingin membuka kembali facebook saya.

Setelah lewat seminggu, saya merasakan sesuatu yang luar biasa : freedom! Saya bisa memerdekakan diri saya sendiri yang juga terbelenggu oleh diri sendiri. Jika sebelumnya saya gemar sekali berdebat di facebook dan terlalu over , atau saya bisa menyebut saya sebagai keyboard warrior, maka kali ini saya tidak terlalu ingin berdebat lagi. Debat seperti itu hanyalah memamerkan kebodohan, ya, hari ini saya melihat semua masa lalu saya dan menyimpulkan sebuah hal : debat yang dilakukan di atas egoisme adalah kebodohan.

Saya tetap diri saya, masih seorang yang mempertahankan pendirian dan tak ingin disetir oleh siapapun. Namun, kini saya bisa lebih bebas berkarya dan berekspresi, kini saya bisa melihat batasan-batasannya, saya bisa melihat yang mana berita yang hanya berisi provokasi atau berita yang dibuat atas kesungguhan atas peristiwa yang terjadi. Terbukti, selama sebulan ini saya berhasil membuat 14 cerpen yang memuat opini saya di dalamnya, dan saya hanya membagikannya kepada orang-orang tertentu, terlalu berbahaya untuk dishare ke publik.

Facebook bukanlah penyebab utama, tapi orang-orang di dalamnya yang memprovokasi para netizen (atau warganet) untuk berdebat di atas kegilaan. Saya muak terhada orang-orang seperti itu, manusia yang membagikan hal-hal yang bersikap provokasi, dan termasuk saya sendiri waktu itu menjadi seorang provokator. Kini, saya berharap saya akan lurus selurus-lurusnya dan berhenti menjadi provokator.

Ketika masih memakai facebook, setiap hari saya harus selalu melihat notifikasi, dan setiap hari pula saya harus melihat berita-berita sampah berisi hoax murahan. Ketika terjadi perang besar-besaran antara pro-ahok dan kontra-ahok pada kasus penistaan agama tahun lalu, saya terjebak menjadi seorang yang pro-ahok, namun kini saya sadar saya bukan pro ahok, saya netral –atau mungkin saya bajingan—karena saya membenci keduanya. Jangan bertanya kenapa, karena dari kedua kubu itu mulutnya sama-sama tak bisa dijaga, dari kedua kubu itu masih banyak oknum yang berkicau menyebarkan pesan-pesan sampah.

Saya telah disetir oleh media, oleh karena itu saya memutuskan untuk berdiam diri di kamar, minum segelas besar kopi sambil bermain game dan mendengarkan musik. Ketika saya berhenti dari facebook, saya juga memutuskan untuk menghirup udara segar, menikmati alam yang bisu terbungkam kebisingan, pergi bersama kawan untuk melakukan hal-hal gila atau sekedar menikmati kenakalan bersama kawan sekelas.

Sebuah kutipan telah membuat saya berubah “Aku hadir bukan untuk mengikuti standar, aku hadir untuk menciptakan standar.” Kira-kira begitu translate-an dari bahasa Inggris yang agak kacau dari seorang kawan dari Kerala bernama Shiva. Walau beberapa orang mengartikannya sebagai hal lain, namun saya mengartikan hal ini sebagai sebuah resistance, pemberontakan, saya tidak ingin diatur! Saya tidak ingin disetir oleh pihak mana pun, sebaliknya, saya akan menciptakannya, saya tak mau terlibat dalam sebuah konflik, saya akan menciptakan konflik! Nah Loh!

Sebulan tanpa facebook bagaikan seorang gamer harus menanggalkan rig pc mereka, kemudian beralih menjadi Pentium kembali. Akhirnya, karena saya agak ketinggalan dengan berita-berita terbaru, saya memilih untuk membuka beberapa website informasi seperti Kaskus. Walaupun di Kaskus sama seperti di facebook yakni memiliki banyak oknum yang sama-sama bermulut busuk, namun setidaknya saya memiliki moderator yang bertugas untuk membanned mahluk-mahluk tolol penyebar hoax.

Beberapa karya yang bisa saya anggap merupakan hasil pemikiran mendalam saya bersama dengan secangkir kopi dan malam yang dingin adalah Tuak, Overpopulation, dan Balada Orang Gila, yang mana semua karya saya itu mengambil tema sosial. Tuak, cerpen ini saya ambil berdasarkan cerita-cerita orang Timur Indonesia yang merasa takut saat minuman untuk upacara kebudayaan mereka seperti tuak atau arak disita polisi dan dimusnahkan, cerpen ini mengambil tema kebudayaan dan tradisi, jadi akan sangat bertolak belakang dengan beberapa kepercayaan. Overpopulation, cerpen ini saya buat remake dari cerpen saya dahulu saya persembahkan untuk komunitas childfree, kali ini temanya saya buat ringan agar tidak banyak orang yang tersinggung. Balada Orang Gila, cerpen yang satu ini saya buat atas nama kekhawatiran, karena pandangan-pandangan tertentu yang berbeda dengan pandangan umum disebut aneh dan cenderung harus dimusnahkan, maka saya gambarkan sebagai orang gila di lautan orang waras.

Cuplikan paragraph terakhir Tuak : Cahaya terang menyinari tempat mereka berdua duduk. Letusan senjata api terdengar sebelum ambruknya tubuh Mat Wari. Tuak dalam batok kelapa tumpah ke tanah. Sedangkan terdengar dua orang berbicara di belakang mereka “Vodka ini enak sekali.”

Ketika saya melihat arsip-arsip puisi lama saya di tahun 2015, sekitar April-Agustus 2015 saya produktif dengan puisi, bahkan saya menyebarkannya di berbagai media seperti RiauJos atau Kaskus. Saat saya melihat-lihat kembali itulah saya memperhatikan selalu ada kesamaan dalam setiap karya saya : Pemberontakan.

Entah karena saya masih muda atau karena saya memang ingin memberontak, tapi karya saya selalu serupa temanya. Bahkan beberapa lagu yang saya sukai bertemakan pemberontakan, minoritas, dan kritik sosial seperti Minority – Greenday, Citra OD – Superman Is Dead, Manusia Setengah Dewa – Iwan Fals, Mafia Hukum – Navicula.
Bulan ini pun saya melakukan pemberontakan. Saya berontak terhadap nafsu, saya memberontak pada diri saya sendiri. Berada bersama mayoritas memang membuat diri kita aman, tapi buat apa kita hidup jika pikiran pun sampai harus digadaikan demi hal sialan yang disebut ‘umum’? Buat apa saya sekolah sampai setinggi langit jika masih tak bisa menciptakan pemikiran sendiri, kita dituntut untuk kritis, kita dituntut untuk memberikan opini. Bahkan jika sebuah hal pun mengekang kebebasan berpikir, Resistance! Saya tak siap dengan perubahan, saya memilih untuk menjadi diri saya sendiri.

Saya memiliki cita-cita menjadi orang besar, seperti Soekarno, Adolf Hitler, Stephen Hawking, Ibnu Rusyd, Mahatma Gandhi, Virginia Woolf, Adolf Hitler, Aristoteles, Plato, atau Napoleon Bonaparte. Sebuah hal yang sama ada pada diri mereka : mereka berusaha untuk mencoba menjadi diri mereka sendiri, tak ikut-ikutan dengan kehendak umum yang bahkan mereka nggak ngerti sama sekali. Ibnu Rusyd, seorang filsuf Islam terbukti bisa menjadi orang besar karena berani berpikir, Soekarno, beliau berani memberontak terhadap kekuasaan penjajah, Adolf Hitler, dia hanyalah rakyat kecil yang tak tahu apa-apa namun memiliki semangat yang keras hingga akhirnya bisa menduduki Jerman dan menjadikannya dictator paling dikenal sepanjang masa.

“Lock Up your libraries if you like; but there is no gate, no lock, no bolt that you can set upon the freedom of my mind” – Virginia Woolf.


Komentar

Postingan Populer