Negeri Tanpa Suara - Azi Satria

 Negeri Tanpa Suara

karya

Azi Satria






Negeri ini dulunya subur..” kata Sinta padaku.

Aku memandang sisa-sisa peradaban di Negeri Tanpa Suara. Terlihat puing-puing bangunan yang dipenuhi lumut, tiang listrik roboh ke tanah dan menjadi sarang kucing liar. Jalanan terasa sepi walau tampak bekas lampu merah di setiap sudut jalanan.

Mosok?”

“Iya. Hanya saja setelah sebuah kericuhan besar, negeri ini menjadi hancur.”

“Kericuhan?”

“Begini..”


*

Negeri Ragam namanya. Disebut Negeri Ragam katanya karena terdiri dari beragam jenis mahluk hidup dan beragam jenis manusia. Ada manusia yang bertubuh kurus, gendut, ada yang berkumis, bercambang, hingga manusia yang berkulit biru dan merah muda. Berbagai tumbuhan dan hewan pun hidup di Negeri Ragam, tak terhitung jumlahnya. Mulai dari bambu belang hingga unta albino.

Negeri Ragam merupakan negeri yang subur, hingga beberapa kali diserang oleh negeri lain. Begitu pula dengan moral manusia-manusia di Negeri Ragam yang sama-sama subur dan berbudi tinggi. Tak ada yang namanya pencuri atau begal seperti di negeri lain, semuanya hidup berdampingan dengan rasa kasih sayang tinggi.

Pada suatu ketika, Negeri Ragam mempunyai satu masalah. Beragam suara dari para penghuninya memenuhi udara, menguap dan terbawa angin. Biasanya suara hanya terdengar dalam jara sepuluh atau dua belas meter saja, namun angin berhembus begitu kencang sehingga suara-suara itu berbaur dan berpencar tak tentu arah.

Satu suara pun terbawa dari timur ke barat “Akulah Si Gendut, hanya orang gendut yang bisa dipercaya di Negeri Ragam, yang kurus adalah sampah.”

Sebenarnya perkataan seperti itu lazim dikatakan, namun karena angin yang berhembus membawa perkataan itu ke geng orang kurus, maka Si Kurus seketika menjadi berang. Si kurus balas berteriak pada angin “Orang kurus adalah satu-satunya tipe manusia yang bisa dipercaya, orang gendut perutnya hanya berisi omong kosong.”

Awalnya hanya lewat angin, namun lama kelamaan semuanya menjadi kacau. Karena kelompok Si Gendut kekurangan kawan, maka Si Gendut berkata pada manusia botak “He, tadi angin bicara padaku jika orang gondrong menghina kau. Si Gondrong bilang orang gundul kepalanya mirip bola dan pantas ditendang!” seketika si botak marah dan mengangkat pedang bersama Si Gendut.

Melihat si botak datang dan marah-marah pada si gondrong, Si gondrong tak terima, dia balas mencaci maki si botak. Karena si botak punya kawan yakni si gendut, maka si Gondrong merasa perlu punya kawan juga, lantas dia bergabung dan bersama mengangkat clurit bersama si kurus.

Dari situlah terjadi sebuah perang maha dahsyat. Awalnya hanya botol plastik yang dilempar tetangga apartemen, namun lama-kelamaan sebuah granat dilemparkan ke kamar. Awalnya hanya mengangkat pisau dapur saja, namun lama-kelamaan mereka mengangkat senapan dan langsung menembak.

Sang Raja tidak bisa mendamaikan perang itu karena dia sendiri bingung, bagaimana menyatukan manusia yang jumlahnya ribuan itu. Bagaimana pula dia harus berkata pada Si Pirang, Si Mancung, Si Pesek, Dan Si Bohay agar menghentikan perang?

Akhirnya Negeri Ragam itu menjadi sebuah arena perang. Terdengar letusan bom setiap kali manusia pergi ke WC untuk buang hajat. Terdengar kabar kalau kerupuk buatan Si Tinggi dilarang beredar oleh Si Pendek. Kemudian setiap hari manusia bergerak, memenuhi gang-gang dengan tangan membawa senjata. Kematian pun semakin sering terdengar, surat kabar mulai bosan dengan berita kematian, sehingga berita kelahiran menjadi trending topic di headline surat kabar.

Sebulan, dua bulan, setengah tahun, setahun, satu dasawarsa telah berlalu.

Selama itu pula manusia-manusia Negeri Ragam sibuk berteriak dari atas apartemen mereka, yang punya pohon kelapa langsung naik ke atas pohon dan berteriak dari pagi hingga malam tiba. Walaupun Si Gendut Dan Si Kurus berada di bawah matahari yang sama, namun mereka masih saling lempar sandal jepit dan panci.

Selama bertahun-tahun mereka berteriak tiada habisnya. Saat mandi, saat buang hajat, bahkan saat tidur mereka berteriak-teriak kepada tetangga mereka. Masalah kembali timbul tatkala si suara merdu mendengar Si Suara Cempreng berteriak-teriak dari balkon, dia lantas mengejek Si Cempreng dan menimbulkan perang baru.

“Sudahlah, kalian sama-sama minum kopi disini, jangan bertengkar.” Ujar Mbok Tembem.

“Ini masalahnya lain, mbok. Masak pagi-pagi sekali bahkan sebelum alarmku berbunyi Si Cempreng ini mengagetkanku!” kata Si Suara Merdu sambil tangannya menunjuk Si Cempreng.

“Nah, dia malah menghina suaraku dan membuatku tak lagi percaya diri, mbok.” Si Cempreng berkata sambil siap melemparkan pisang goreng ke muka Si Suara Merdu.

“Sudahlah, aku sudah hidup selama lebih dari tujuh ratus tahun, kalian nggak perlu bertengkar seperti anak kecil lagi.” Kata Mbok Tembem menengahi.

Tiba-tiba si cempreng berdiri, kaki kanannya menginjak piring pisang goreng, kemudian dengan perasaan membara dia menunjuk muka Mbok Tembem “Beraninya kau Mbok bilang kami seperti anak kecil! Kau mungkin sudah hidup berabad lamanya, namun kau tak pernah mengalami perasaan seperti ini, mbok!”

“Betul!” Si Suara Merdu mengangkat piring mi goreng.

Kemudian Mbok Tembem, satu-satunya orang tua bijak yang tersisa harus mati terbunuh oleh Si Cempreng dan Si Suara Merdu.

Di atas dahan randu seekor bunglon berkata pada gagak “Bagaimana perasaanmu?”

Gagak tertawa, kemudian dengan suara keras dia berkicau “Biarkan saja, aku malah senang kalau manusia-manusia itu punah, kita bisa lebih bebas dan tidak lagi diburu.”

“Betul juga. Kau tak ada rencana mau menyerangku seperti manusia-manusia itu?” Tanya bunglon.

“Buat apa? Toh kita sama-sama diam di atas pohon yang sama, menghirup udara yang sama-sama segar, berteduh dibawah awan yang sama, kemudian harus panas-panasan kembali dengan matahari yang sama-sama terang.” Gagak berkicau merdu.

Bunglon merasa lega.

Manusia mulai terkikis habis. Di akhir-akhir perang yang teramat melelahkan nan panjang itulah Si Gendut menang dan merasa bangga “Sudah kubilang, si kurus dan antek-anteknya hanyalah sampah yang mengotori rumah kita.”

Tetapi gerombolan Si Gendut merasa ada yang janggal. Sehari berlalu semuanya seperti biasa, Si Gendut pergi ke sawah dan berladang, kemudian pulang, memancing, kemudian tidur. Seminggu berlalu, Si Gendut merasakan kejanggalan itu semakin nyata adanya.
“Ini bukan Negeri Ragam.” Kata Si Gendut.

Si Gendut kali ini merasa bersalah, dia ingat betapa si kuruslah yang membantunya keluar dari lubang ular waktu kecil dahulu. Si Gendut merasa kehidupannya hancur. Dia menjadi stress, teriakan-teriakan Si Gendut dan gerombolannya terngiang dan berdengung dengan keras saat Si Gendut bernapas. Untuk itu, Si Gendut memilih untuk tidak bernapas, dia mengambil seutas tali, kemudian menggantung dirinya di bawah pohon randu.

Konon teriakan-teriakan tersebut masih terdengar untuk waktu lima tahun kedepan. Namun lama kelamaan teriakan-teriakan yang sempat menjadi keangkeran Negeri Ragam itu sirna. Walau begitu, penduduk dunia tak ada yang berani lagi pergi ke Negeri Ragam, mereka memilih menjadikan Negeri Ragam sebagai cagar alam. Kemudian negeri itu disebut sebagai Negeri Tanpa Suara, walau sebagian orang pernah mendengar jeritan-jeritan aneh pada malam harinya.

**

“Kalau begitu tidak usah bersuara..” Kataku sambil menghabiskan sisa bir kalengan.

“Kau mau berdebat denganku, kemudian kubunuh kau dan kusimpan kepalamu dibawah bongkahan batu Negeri Tanpa Suara?” Tanya Sinta dengan sinis.

“Well, dongeng itu nggak beneran terjadi kan?” tanyaku sambil berjalan pulang.

“Kuharap nggak terjadi betulan..” jawab Sinta sambil menggandeng tanganku dan lekas pergi meninggalkan reruntuhan Negeri Ragam.

Senja mengantarkan kami pulang menuju metropolitan, bersamaan dengan itu aku mendengar suara-suara dari berbagai arah. Suara yang beragam.

Yang.. yang patah tumbuh.. yang hilang berganti.. yang sia-sia akan jadi makna..” mengalun musik Banda Neira di apartemen sebelah.


Ciamis,

Setengah jam sebelum tengah malam tiba.

Hening. Tanpa suara apa-apa, seolah di Negeri Tanpa Suara.


25/5/17

Komentar

Postingan Populer