Tuak - Azi Satria

Tuak






Azi Satria

M
at Wari meneguk tuak dari batok kelapa. Terdengar desahan nikmat dari mulutnya tatkala air fermentasi nira itu membasahi tenggorokannya. Mat Wari merasakan betapa kuatnya tuak yang ia simpan selama 2 tahun, rasanya menjadi terasa segar ditambah dengan udara malam yang dingin.

“Pak, ada yang bilang kalau bapak harus pergi ke kantor kepala desa.” Kata anaknya yang baru datang, entah dari mana.

“Apa pula kau, datang-datang langsung bilang aku harus pergi ke kantor kepala desa.” Mat Wari menunjuk muka anaknya, kemudian menyuruhnya duduk.

“Mbok Inem titip salam.” Kata sang anak, Riko yang baru berumur 16 tahun.

“Dimana kau ketemu Mbok Inem?” Tanya Mat Wari.

“Di rumah Santi.”

“Santi? Jadi kau habis dari rumah Santi?”

“Iya, Pak.” Riko menunduk, ia sangka ayahnya hendak marah.

“Mau cepat kawin atau gimana kau?”

Nggak, Pak. Cuma main-main saja.”

“Kalau belum mau kawin, lebih baik kau pergi merantau yang jauh, dapat kerjaan, pulang nanti langsung kawin. Nah coba daripada si Darta itu, lulus SMP langsung kawin, kerja tak mau, yang ada langsung cerai baru seminggu. Lebih baik kau cari pelacur saja daripada kawin seperti itu.”

Riko mengangguk. Malam terasa hangat tatkala Riko meneguk tuak dari batok kelapa. Betapa nikmat alam semesta.

*

Pagi-pagi sekali, Mat Wari sudah datang ke kantor kepala desa. Mat Wari yang sehari-hari tinggal di gubuk reyot yang lantainya dari tanah dan hanya menggunakan bilik bambu sebagai dindingnya merasa  berada di istana. Kantor Kepala Desa begitu megahnya, ada foto garuda, merah putih, kemudian ada foto dua orang lelaki yang ia kira sebagai pemimpin negara.

Pak Kades duduk di atas kursi yang empuk, mempersilahkan Mat Wari untuk duduk pula.

“Jadi, ada apa pak?” Tanya Mat Wari.

“Begini.” Pak Kades mengeluarkan secarik kertas dari bajunya, dan dengan sengaja ia miringkan tangannya agar jam tangan mewah puluhan juta itu bisa terlihat.

“Ada laporan kalau Anda memproduksi barang illegal.” Kata Pak Kades.

“Barang illegal?”

“Lebih tepatnya.. Minuman beralkohol.”

“Tuak pak?”

“Hem.. Iya.”

“Lantas?”

“Itu dilarang oleh negara, Pak. Selain merusak tubuh, juga bisa merugikan orang lain, toh kalau anda mabuk di tempat umum nantinya tubuh anda bisa nggak terkendali.”

“Tapi saya minum di rumah, Pak. Itu pun karena tradisi keluarga saya, saya cuma minum tiap pergantian bulan.”

“Tapi tetap dilarang pak.”

Mat Wari menatap Pak Kades, pria berpakaian rapi dengan aksesoris mewah menghiasi sekujur tubuhnya. Tiba-tiba Mat Wari teringat dengan sosok Pak Kades ini, dia melihat atribut nama di baju Pak Kades. Ari Purnama.

*

Dulu, dulu sekali.

Sanwari dan Turyono berlarian di pematang sawah dengan tubuh penuh lumpur. Tampak keceriaan tercipta dari wajah mereka, saling melempar lumpur dan saling kejar dari sore hingga malam tiba. Mereka berdua adalah sahabat karib, sama-sama anak dari tukang sadap. Tentunya bukan ahli sadap informasi dari jagat maya, namun dari pohon aren.

Sanwari hobinya naik ke pohon kelapa, kemudian di atas pohon dia mengejek Turyono hingga menangis. Turyono tak bisa naik pohon seperti Sanwari, hingga ia mau tak mau menjadi anak buah Sanwari. Mereka berdua hanya tamat SD, itu pun tidak dapat rangking karena Sanwari dan Turyono harus membantu keluarganya. Mencari rumput untuk makan ternak, membereskan tanah untuk menanam umbi-umbian, atau mengurus sawah.

Tapi Turyono beruntung, tatkala ia menginjak umur ke 15, dia dibawa oleh pamannya ke kota. Sedangkan Sanwari harus tetap tinggal di desa, bertani layaknya leluhur-leluhurnya. Malam itu, sebelum melepas kepergian Turyono ke kota, mereka mengadakan pesta, minum tuak bersama dan membakar kambing.

“Agar selamat dan bisa kembali ke desa.” Begitu kata Pak Dukun, lelaki tua dengan jenggot kelabu yang panjangnya sampai ke selangkangan.

Turyono mengembara ke kota, dan setelah lebih dari lima belas tahun dia kembali ke desa dengan nama baru, Ari Purnama.

**

Mat Wari masih bisa merasakan bagaimana dia dan Turyono meneguk bersama tuak dari bumbung bambu, kemudian bernyanyi riang sampai larut malam. Tapi kini Mat Wari tidak bisa merasakan keceriaan itu kembali. Ia merasakan sesuatu yang lain.

“Ayah..” teriak anak Pak Kades.

“Apa?” Tanya Pak Kades.

“Tequila*nya taruh dimana?”


Ciamis, 24/5/17

Sore hari dimana kemunafikan hampir terbenam. Hampir.


*Tequila : minuman keras khas Meksiko, selengkapnya bisa baca di Wikipedia






Well, silakan dinikmati, mungkin cerpen ini tidak terlalu menarik karena kurang menguras pikiran, namun saya hanya berharap semoga pembaca sekalian bisa menemukan makna yang saya maksud. Buang buruknya, simpan bagusnya. 

Komentar

Postingan Populer