Basa Basi #2 : Merantai Musik ?

Epica : Live 2012
Basa-basi kali bakalan agak 'sensitif' tapi agak mencerahkan *kalau nggak yaa mungkin menggelapkan*

Perbedaan cara pandang—yang seharusnya bisa menjadikan orang lebih tahu tentang indahnya perbedaan seringkali menjadi pemicu kekacauan. Baik itu di dalam seni, politik, atau hal lain yang ada dalam kehidupan sosial. Sebenarnya saya menjadi tergerak untuk menulis ini karena akhir-akhir ini banyak sekali hal yang cukup ‘mengganggu’ dan seakan berdengung di telinga soal perbedaan cara pandang.

Misalnya, beberapa tahun lalu grup salah satu grup band favorit saya—Epica dituduh telah menistakan agama Islam dengan beberapa lagunya, dan juga dituduh menistakan agama Kristen dan Hindu juga. Kalau nggak salah waktu itu sempat ada yang menghujat Cry For The Moon yang dituduh ‘menyerang’ pendeta dan lagu Seif Al Din (Pedang Agama) juga dituduh menyerang agama Islam.

Sebenarnya topik yang dibahas kali ini agak sensitif, so nggak usah diteruskan membaca jika anda pikir saya ini terlalu ‘maniak’ dan melenceng.

Sebenarnya, lagu-lagu Epica diatas ditujukan sebagai sindiran bagi orang-orang yang memakai kedok agama untuk berbagai macam kejahatan. Misalnya dalam lirik Seif Al Din—dalam videonya saya dengar vokalis berkata :

This misuse of trust will forever stain the pages of history
echoing the exploitation and the frailty of decent men carried away by nurtured rancour
 Perpetual distrust fed by a belief In the malevolence of the others

Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih adalah :

Penyalahgunaan keyakinan ini akan selamanya menodai halaman sejarah,
 menggemakan eksploitasi dan kelemahan moral orang-orang yang terbawa oleh dendam yang mereka pelihara ...
 Ketidakpercayaan abadi yang disuapi oleh keyakinan akan rasa dengki pada yang lain 

Dan dalam lirik sebelumnya

Most leaders interpret the old words to their advantage
 in the attempt of gaining leadership and power
over those unfortunate enough to fall under their maliciousness and manipulative ways.

Dalam bahasa Indonesia

Kebanyakan pemimpin menafsirkan kata-kata lama demi keuntungan mereka
untuk meraih kepemimpinan dan kekuasaan
untuk menjatuhkan orang-orang yang malang karena kedengkian dan dengan cara manipulatif.

Masalahnya, di luar sana terdapat orang-orang yang marah-marah dan langsung memaki kawan mereka karena perbedaan tafsir. Ada yang menafsirkan lirik Epica ini sebagai penodaan agama, ada juga yang menafsirkannya sebagai sindiran-sindiran untuk berbagai Agama yang punya oknum ‘melenceng’. Sebenarnya menafsirkan apa saja bebas, toh ini bukan kitab suci yang tak bisa ditafsirkan oleh sembarangan orang.

Musik sama halnya dengan seni-seni lain, multitafsir dalam seni yang ‘njelimet’ memang sudah biasa dan hal yang umum, yang nggak umum yah—yang flaming dan langsung ngajak debat kusir terhadap orang yang nggak sepaham.

Sedikit intermezzo, genre gothic-symphonic-metal ini memang awalnya dari Eropa, pada masa itu lagu-lagu seperti ini mengambil tema-tema religius yang cenderung lebih gelap, nah kemudian pada masa-masa selanjutnya genre ini sering dikaitkan dengan paganism, occultisme, dan satanic. Walau sekarang banyak band yang membawakan lirik religi seperti lagu Penyesalan Dosa atau Hari Pembalasan dari band Gelumayit –saya kurang tahu genre yang spesifik apakah gothic-metal atau bukan—tapi masih genre lagu ini dikaitkan dengan hal-hal berbau paganism.

Biasanya pula, band-band metal sering menggunakan kalimat-kalimat metafora dalam liriknya sehingga menurut saya musik metal adalah musik yang cocok untuk orang yang beranjak dari folk tapi masih ingin mendengarkan lirik—lirik yang berisi. Band underground seperti ini biasanya membawakan tema kritik sosial—seperti band Marjinal dalam lagu Negri Ngeri atau Hukum Rimba.

Sebenarnya, alasan kenapa lagu-lagu seperti metal, hardcore, atau taruhlah lagu folk yang lembut mendayu-dayu kurang disukai oleh orang Indonesia yakni karena orang Indonesia nggak suka memikirkan arti lagunya secara mendalam, jadi orang Indonesia lebih cocok dengan lagu pop karena liriknya yang mudah dimengerti dan nggak njelimet.
Oke, mungkin kalau bicara soal musik metal terlalu ‘nyeremin’ atau terlalu ‘kampungan’ bagi orang Indonesia, maka beralih soal musik folk.

Kenapa musik folk—dengan segala sub-genrenya kurang disukai di Indonesia?
Saat saya bicara tentang beberapa band folk seperti Banda Neira, Payung Teduh, Dialog Dini Hari, atau Float pada teman saya yang pencinta musik, mereka mengerutkan dahi.
Dalam beberapa lagu folk lokal yang saya temui, banyak lirik-lirik yang cukup puitis namun sederhana, dan tampaknya orang Indonesia kurang suka dengan puisi. Atau mungkin karena musik folk bikin ngantuk?

Well—dari yang bisa saya lihat, orang lebih suka mendengarkan genre Reggae, Pop atau Rock. Mungkin karena liriknya sederhana, santai dan mengasyikan—dan orang Indonesia memang mengasyikan! Yippie!

Mungkin lagu folk liriknya terlalu ‘aneh’ untuk orang Indonesia

Mata memandang, aral gelap melintang
Meski pikiran, berkhayal binar terang
Telingapun mendengar, namun rasa kadang meronta
 Putar dunia, mustahil dihentikan
Tangis dan tawa, tak mungkin dipisahkan
Matahari dan bulan, berperan bergantian
Karna kita manusia, kan hidup di kedua sisinya” – Tenang dari band Empat Detik Sebelum Tidur

Aku ingin berjalan bersamamu 
Dalam hujan dan malam gelap
 Tapi aku tak bisa melihat matamu 
Aku ingin berdua denganmu
Di antara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku hanya melihat keresahanmu” – Resah dari band Payung Teduh

Jatuh dan tersungkur di tanah aku
 Berselimut debu sekujur tubuhku
 Panas dan menyengat
Rebah dan berkarat
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Yang hancur lebur akan terobati
Yang sia-sia akan jadi makna
Yang terus berulang suatu saat henti
Yang pernah jatuh ‘kan berdiri lagi
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
 Di mana ada musim yang menunggu? “ – Yang Patah Tumbuh yang Hilang Berganti oleh band Banda Neira


Sebenarnya liriknya sama-sama sederhana namun lebih ke ‘puitis’ –dan nggak sepuitis lagu-lagunya Frau tentunya. Hanya saja sama seperti band-band Metal, folk juga banyak yang liriknya membuat ‘multitafsir’ seperti lagu Resah-nya Payung Teduh, ada yang bilang itu lagu tentang kematian, dan ada yang bilang itu soal romantisme yang agak gelap saja.

Well—jika kembali pada Metal, saya yakin suatu hari nanti musik Metal dan antek-anteknya juga akan lepas dari cap negatif yang melekat selama ini—seperti genre-genre lain. Lagu Ska yang tadinya hanya untuk kelas buruh kapal (cmiiw) skinhead sekarang sudah menjadi genre yang umum dan cenderung ‘mewah’.

Musik banyak bertranformasi, meski awalnya banyak penolakan terhadap musik. Seperti misalnya penolakan genre tertentu dalam agama suatu saat nanti akan diterima seiring berjalannya waktu—toh genre tidak berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya sensitif. Misalnya saja rock—sekarang musik rock sudah diterima di masyarakat, beda dengan dulu yang cenderung dianggap sebagai musik yang menjadi biang kerok kerusuhan.

Perlahan namun pasti, waktu berjalan, manusia akan beradaptasi dengan perkembangan. Musik adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia, itulah kenapa industri musik semakin laris belakangan ini. Banyak genre yang sebelumnya ‘aneh’ seperti EDM yang kini diterima—bahkan menjadi favorit masyarakat.

Electro Dance Musik // EDM

Jika dulu EDM dicap sebagai musik diskotik, musik pelacuran, musik mabuk-mabukan, maka sekarang beda lagi, cap itu sudah nggak berlaku. Sudah pudar seiring berjalannya waktu. Dulu ada yang mendengarkan lagu EDM dianggap sebagai tukang mabuk atau pecandu narkoba, maka sekarang semuanya sudah terbalik. Justru yang nggak mendengarkan tren lagu EDM dianggap mabuk.

Banyak genre musik yang sebelumnya dicap negatif dan disebut-sebut tidak sesuai dengan budaya bangsa yang akhirnya digemari hingga kata-kata itu tak lagi merantai genre-genre musik. Ucapan tinggalah ucapan, toh jika nantinya menjamur yang mengucap itu bakalan suka juga. Jadi, saya pribadi tidak merasa ada genre musik yang melenceng, yang negatif atau genre musik yang lain sebagainya. Kuping saya menerima segala jenis genre musik—kalau ada yang bermasalah dalam lirik atau bandnya maka nggak bisa genrenya dikambing-hitamkan. 

Ibaratkan saja karya sastra, jika ada cerpen yang memuat unsur pornografi, apakah lantas orang harus menilai jika cerpen itu sama dengan pornografi?

Karena kertas itu konon berasal dari China, apakah lantas orang yang hobinya bersama kertas-kertas harus disebut tidak sesuai dengan budaya bangsa?

So, musik ya musik, kepercayaan ya kepercayaan, jika ada yang bermasalah dengan lirik lagu, nggak usah menghakimi genrenya, cukup benci saja dengan bandnya. Bukannya orang-orang Indonesia juga sering begitu “Itu cuma oknum, sebenarnya supporter tim sepakbola kami ini cinta damai kok! Nggak ada yang ngerusak-rusak pagar stadion. Oknum itu, jelas bukan bagian dari kami” ~biasanya menyanggah begitu, padahal jelas si perusak stadion itu pakai kaos supporter dan kartu anggota ke-supporterannya terselip di dompetnya—tipikal orang Indonesia.


Well—beragam genre musik diciptakan untuk dicintai, didengarkan. Bukan untuk dijadikan kambing hitam atas segala kekhilafan manusia.

Komentar

Postingan Populer