Basa Basi #3 : Internet dan Pemabuk
Siapa yang berani bernyanyi
Nanti akan dikebiri
Siapa yang berani menari
Nanti kan di eksekusi
Siapa yang berani bernyanyi
Nanti akan dikebiri
Siapa yang berani menari
Nanti kan di eksekusi
Karena mereka, paling suci
Lalu mereka bilang kami jalang
Karena kami, beda misi
Lalu mereka bilang kami jalang
Lalu mereka bilang kami jalang
Akhir-akhir ini semakin banyak peristiwa yang semuanya
berawal dari sosial media—kemudian menjadi sesuatu yang besar, dan akhirnya
melibatkan banyak orang untuk ikut terjun menjadi sekutu ke padang kurukshetra.
Kita ambil contoh beberapa kasus yang berawal dari sosial
media seperti chat pornografi Habib Rizieq, penghinaan ulama oleh seorang bocah
yang berujung pada persekusi, penghinaan pada presiden, kemudian kalau tak
salah sempat ada yang menantang TNI—kalau nggak salah timsesnya Ahok di pilgub
kemarin.
Pada hari-hari awal saya di sosial media semuanya baik-baik
saja. Waktu itu internet bagaikan kebun bunga yang menebarkan wewangian dari
setiap sudutnya, warna-warni keindahan terlihat setiap kali saya membuka
internet—walau koneksi masih Edge kala itu.
Sekarang, kalau bukan kita—sebagai pengguna—pintar pintar
memilih grup dan kawan di sosial media maka kita akan menyaksikan rumah bordir
berisi jalang-jalang sialan yang merayu “Jangan di kamar sana, ke kamar sini
aja..”
Ada yang lebih sialan lagi.
Media!
Semua orang memiliki kesempatan untuk menjadi apa pun yang
ia mau, entah itu menjadi jurnalis dadakan, menjadi penulis cerita, menjadi
seleb sosial media, atau bahkan menjadi perampok—menyandera data korban. Kemudahan-kemudahan
ini saya lihat digunakan untuk hal-hal yang yah—mungkin bisa dibilang murahan.
Dalam 5 menit, anda bisa memiliki sebuah media portal berita
lengkap dengan tulisan berisi hasutan dan menjelek-jelekan suatu pihak. Tentunya,
anda pun langsung bisa mendapatkan uang dari sana, berhubung masyarakat
Indonesia masih banyak yang dapat dibodohi dengan berita-berita murahan itu.
Kenapa Orang Indonesia Mudah Percaya dengan Berita Hoax?
Menurut penglihatan saya—dari mata seorang blogger—jadi sekarang
ini banyak pengguna internet atau warganet yang berusia dewasa. Berbeda dengan
dulu, jika dulu facebook diisi oleh status alay anak-anak muda, maka sekarang
penuh oleh status alay dari ibu-ibu atau bapak-bapak yang narsis—dengan foto
profil selfie pakai kacamata ditambah efek b612.
Jadi, banyak sekali warganet yang masih baru di sosial media
dan mereka adalah kalangan lanjut usia. Hal ini tentunya merupakan sebuah celah
yang bisa dimanfaatkan oleh—maaf—orang orang sialan yang bermimpi jadi
jurnalis. Orang dewasa suka berita, betul? Dan orang dewasa yang baru kenal
internet tentunya belum tahu yang mana web abal-abal dan mana web yang ‘lurus’,
benar?
This is a great chance
Jika mau mencari dalang dibalik semua kerusuhan yang
terjadi, maka silahkan ciduk jurnalis-jurnalis mata duitan itu. Tapi masalahnya
yang menjadi kambing hitam selalu kelompok kiri-kelompok kanan atau kelompok
hitam-kelompok putih. Walau memang ada beberapa oknum kelompok kiri-kanan
hitam-putih ini yang sengaja memancing keributan.
Lantas, apakah pemerintah sudah menyadari ini?
Kemarin saya membuka kembali facebook saya yang sudah
dinon-aktifkan selama dua atau tiga bulan ini, isinya betul-betul sialan. Lebih
sialan dari tiga bulan sebelumnya. Di grup-grup bertebaran link dengan
judul-judul provokatif
“Lihat! Ternyata orang
ini ada di pihak anu selama ini!”
“Geger! Polisi tangkap
anggota anu di anu.”
“Ternyata pejabat dari
pihak anu selama ini gemar nyimeng!”
Well—ini merupakan
kemunduran yang begitu besar. Divisi cyber yang sudah dibuat oleh pemerintah
beberapa waktu lalu nyatanya masih keteteran karena kloningan akun-akun sampah itu
terus bertambah, seperti ajian Candrabirawa milik Prabu Salyapati. Konon, ketika
Prabu Salya menggantikan posisi Mahaguru Dorna sebagai jendral, dia menggunakan
ajian Candrabirawa, ketika diserang dia berubah seperti amoeba, pecah menjadi
dua, jadi empat, delapan, dan terus hingga akhirnya raksasa itu takluk ke
tangan Yudhistira.
Dalam kisah pewayangan, ajian Candrabirawa ini hanya mampu ditaklukan
oleh orang yang berhati bersih dan tak pernah membunuh, berbohong atau
menyakiti hati orang lain. Maka ditunjuklah oleh lima pandawa sang kakak tertua
mereka yakni Yudhistira untuk membereskan Candrabirawa. Tanpa kekerasan,
raksasa Candrabirawa itu lenyap dan masuk ke tubuh Yudhistira. Lantas, apakah
akan ada Yudhistira yang bakal menaklukan akun-akun kloningan yang menyebarkan
hoax?
Akhirnya saya hanya kuat lima menit membuka facebook,
setelah itu akun dinonaktifkan kembali dan saya berharap akan menjalani hidup
sebagaimana orang normal.
Website porno, judi, dan proxy sudah diblokir oleh beberapa
provider internet, web hoax kapan?
Anehnya, saya merasa jadi orang tolol di arena pertarungan
orang-orang buta yang bertarung di malam hari. Saya punya salah satu browser ponsel—si oranye itu loh—dan ternyata banyak sekali
konten-konten hoax yang tampil dan ditaruh di homepage, maksudnya apa? Kenapa browser—yang
harusnya memfilter berita-berita hoax
malah jadi seakan mendukung berita hoax dengan menampilkannya sebagai trending topic.
“Organisasi ini
ternyata pro anu”
“Orang ini ternyata
enak-enakan di penjara”
“Si anu pengecut! Dia nggak
anu saat di anu”
Akhirnya saya nggak bisa membedakan, mana media yang di
tangan orang normal dan mana media yang dipegang oleh orang yang lagi giting ditambah dengan selinting ganja
di tangan dan LSD menempel di lidah.
Bicara soal ganja dan LSD, saya jadi ingat kegiatan saya di
akhir kelas 6—mungkin waktu itu di waktu-waktu bebas sebebas bebasnya. Kala itu
saya meminjam lima entah enam buku yang berkaitan dengan narkoba—dan tentunya
membuat orang tua saya khawatir.
Buku-buku itu kalau nggak salah berisi gejala
dan efek samping dari berbagai obat terlarang. Bukan maksud lain, tapi saya
ingin menuliskan semuanya ke dalam buku catatan.
Gila?
Mungkin lebih gila saat saya bertanya pada bapak
“Pak, minum-minuman yang bikin mabok itu rasanya kek mana?”
“Bapak kalau minum sebatas anggur ya bisa, tapi yang penting
jangan minum yang oplosan. Pokoknya kau mau minum minuman apa pun bebas. Asal jangan
oplosan.”
Waktu itu nadanya agak aneh, mungkin karena bicara soal
miras dengan anak sendiri yang masih SD.
“Si anu katanya suka minum anu.”
Saya berkata, waktu itu ingat dengan seorang pemuda di
kampung yang suka beli miras literan yang dijual dalam plastik.
“Nah, kau kalau udah gede jangan kek gitu. Lihat contohnya
si anu dulu waktu muda hobinya minum oplosan, udah tua mukanya tadinya ganteng
sekarang ancur.”
“Lho, emang iya?”
Saya kurang percaya.
“Dulu dia paling ganteng disini, tapi gara-gara suka minum
jadi begitu.” Ibu saya menambahi.
“Inget, suatu hari nanti kau jangan minum minuman keras yang
nggak jelas, masih untung kalau cuma rusak wajah atau rusak tubuh, nah kalau
sampai mati overdosis gimana?”
Saya manggut-manggut.
Akhirnya saya menyadari, yang dilarang itu penyalahgunaan. Jika
dulu saya pikir kafein atau nikotin itu dilarang, saya salah ternyata. Karena toh
sekarang saya hobi minum kafein—yang terkandung dalam kopi—dan saya masih bisa
hidup normal-normal saja, walau saya sadar suatu saat nanti bisa saja ada
gejala tertentu menyerang tubuh.
Saya pernah membaca di salah satu daerah di Indonesia ada
yang menjadikan ganja a.k.a marijuana sebagai lalap. Gila! Dan ternyata mereka
baik-baik saja, karena toh dipakai
untuk hal yang memang berguna alias nggak
disalahgunakan. Beda cerita jika dipakai nyimeng di tempat umum.
Setidaknya, kita terus berusaha menjadi manusia yang normal,
walau kita tahu cap normal iitu milik mereka yang paling berpengaruh. Hampir tak
ada klaim normal yang diciptakan oleh mereka yang tak punya pengaruh. Menyesuaikan
diri itu menyakitkan, tapi suatu saat nanti mari buktikan sama-sama jika semua
orang punya potensi untuk berpengaruh. Semua orang bisa menjadi manusia yang
berpengaruh. Kita akan membuat klaim normal.
Monggo yang mau ndengerin playlist saya kali ini :
Monggo yang mau ndengerin playlist saya kali ini :


Komentar
Posting Komentar