Basa Basi #5 : Perang, Perlukah?



Pengecut bukanlah mereka yang tak ingin ikut serta dalam peperangan, pengecut adalah orang yang memicu peperangan itu sendiri.

Seperti yang kita tahu, dalam dunia pewayangan Sangkuni adalah orang dalam Hastinapura yang menjadi salah satu pencetus perang besar-besaran antara dua saudara. Ki Dalang memang tak pernah bilang secara gamblang kalau Prabu Sangkuni adalah pengecut, namun saat menyaksikan, tentunya kita bisa membedakan mana yang pengecut mana yang pemberani.

Peperangan bagi Panca Pandawa dan Korawa sendiri merupakan sebuah kenangan yang takkan bisa terlupakan. Bharatayudha yang digelar di Kurusetra itu tidak menghasilkan kedamaian! Perang mana di dunia ini yang bisa menghasilkan perdamaian? Justru luka dan luka yang semakin dalam dan menganga yang terjadi akibat perang yang mereka deklarasikan.

Ingat bagaimana Resi Dorna, orang suci berhati culas, yang jiwa pengecutnya begitu besar masih dihormati sampai ia mati? Resi Dorna nyatanya seorang yang licik, walau dia menyandang gelar Resi dan Mahaguru, tetap saja, gelar suci itu tak menjamin dia akan berkelakuan bak manusia.

Minoritas menang dalam Bharatayudha, jika kita mau bicara soal jendral-jendralnya.
Lihat saja seratus raksasa gagah berani harus melawan lima orang turunan Pandu, jelas merupakan sesuatu yang tak sesuai. Nyatanya, minoritas itu menang—walau dalam hal ini mereka mempunyai banyak sekutu dan saudara, seperti Drestadyumna, Srikandi, atau Utara dan Wratsangka.

Saya pernah membaca cerita wayang dalam majalah Mangle tahun 90an, berkisah tentang gugurnya Dursasana yang dihajar Rujakpolo-nya Bima. Bagaimana kematian Korawa tidak mereka rayakan, kematian saudara sendiri, dan tentunya bukan sesuatu yang patut dirayakan.

Manusia punya budi, berbeda dengan binatang, manusia bisa memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Membantai saudara sendiri, kemudian mengejeknya dengan mulut yang bahkan bukan milik manusia itu sendiri, kemudian menari di atas bangkai dan penderitaan saudara sendiri, situ waras?

*

Menonton pagelaran wayang, entah itu wayang golek atau wayang kulit tentunya sangat mengasyikan. Tapi, kita tak bisa melihat sang dalang, hanya kepalanya saja yang bisa terlihat. Dalang memang sulit untuk dilihat, apalagi saat pagelaran berlangsung.
Kadang kita tak peduli siapa dalang yang memainkan wayangnya, kita hanya perlu menonton lakon yang ia mainkan. Kita seakan masuk ke dalam dunia yang ia ciptakan.

*

Apa yang bisa dibanggakan dari peperangan?

Merasa berjasa bisa membantai orang?

Saya tidak paham terlalu dalam soal agama, namun dengan sedikit logika yang saya miliki, apakah Tuhan senang saat Dia Yang Maha Agung diteriakkan di atas padang gersang yang penuh oleh selongsong peluru?

Bagaimana bisa, ada manusia yang merasa begitu dekat dengan Tuhan dan merasa beribadah atas setiap jerit pekik terakhir saudaranya sendiri?

Bagaimana bisa seorang manusia meledakkan bom, kemudian berteriak atas nama Dia Yang Maha Besar. Hal itu hanya akan membuat orang merasa jijik, hal itu hanya akan membuat dirinya terlihat seperti mayat hidup yang berlaga di medan perang dengan tengkorak tanpa isi kepala.

Saya rasa, kedamaian tidak bisa diciptakan dari sebuah perang. Kecuali apa yang kau sebut kedamaian itu merupakan suatu luka yang mendalam bagi saya. Tapi mungkin saja jeritan kematian itu merupakan harmoni indah pengantar puji-pujian untuk Tuhan, atau mungkin juga suara ledakan granat itu terdengar seperti tabuhan drum.

*

Di sebuah hutan yang indah nan subur, terlihat beberapa orang yang membawa gergaji mesin, kemudian mereka berseru dan berteriak-teriak “Kami akan membuat hutan ini asri! Ayo kita melestarikan hutan!” mereka teriak sambil menebang pohon-pohon dan membakar rumput hutan.

*

Hal itu lebih mirip seperti gangguan jiwa, sebuah gangguan jiwa yang amat mendalam dan tak bisa disembuhkan. Membantai manusia kemudian menyerukan kemanusiaan, akal sehatnya mau ditaruh dimana?

Sudah cukup buku sejarah diisi oleh perang, oleh kudeta.

*

Propaganda yang dilakukan oleh Mahaguru Dorna cukup berhasil karena dia adalah seorang yang dianggap suci.

Dorna dengan santainya menyetir banyak orang agar bisa ikut dengannya. Orang awam yang tak tahu apa-apa pun bahkan ia gunakan sebagai tumbal untuk memenuhi formasinya, dan itu cukup berhasil, walau pada akhirnya orang-orang yang ia setir itu harus gugur perlahan di medan perang.

Sampai akhir hayatnya, prajurit yang mati dengan junjungan Mahaguru Dorna itu tetap menganggap mereka adalah prajurit suci yang gugur untuk memenuhi panggilan Dewata, dan mereka berharap masuk Swargatriloka untuk itu.

*

Perang hanya menghadirkan luka, Panca Pandawa bersedih melihat saudara-saudara mereka harus gugur dalam kesia-siaan. Tidak ada yang bersorak gembira saat melihat jutaan bangkai manusia menghampar di Kurusetra.

Mungkin ada yang gembira,

Seorang dalang di balik panggung, menenggak sedikit tuak dan menghisap rokok klobot. Wajahnya berseri-seri, penonton puas. Wayang kembali disimpan dalam peti. Malam semakin larut.

Seorang pemabuk menghabiskan sisa tequila, seorang penyair duduk dengan mata terpejam.

Malam tak sepanjang itu.
Ciamis

20/6/17

Komentar

Postingan Populer