Kritik Main Aman : Sastra!

Kritik Main Aman : Sastra!

Oleh Azi Satria

Saya akhir-akhir ini lebih sering mendengar berita-berita tentang pertentangan paham yang berimbas pada pengeroyokan, tawuran dan berbagai aksi. Perbedaan pendapat itu menurut saya pribadi—yang masih awam—merupakan hal yang biasa ya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itulah ada sila ke-4, dan saya mendengar dari salah satu budayawan (entah Sujiwo Tejo atau Gus Mus) kalau Sila ke 1-3 itu diwujudkan dengan cara sila ke-4 agar bisa menghasilkan sila ke-5.

Sialnya, entah karena musyawarah yang dilakukan memang buntu atau karena musyawarahnya nggak bener, jadi konflik-konflik di kehidupan sosial ini terus menerus hadir bahkan memanas dengan bantuan sosial media dan web berita abal-abal. Kalau urusannya cuma para petinggi ya boleh-boleh saja, toh mereka sudah pada dewasa dan bisa menyikapinya dengan dewasa pula, yang jadi masalah, dengan adanya sosial media ini maka seluruh lapisan masyarakat bisa ikut-ikutan terbawa.

Tadi pagi saya membaca ada seorang anak berusia 15 tahun yang menghina ulama sehingga memancing kemarahan warga yang tak terima. Tebak, apa yang dia lakukan? Sosial Media!

Salah satu alasan saya berhenti dari sosial media juga karena takut jika suatu saat saya tak bisa mengontrol emosi karena berita abal-abal, kemudian terhasut dan akhirnya ngoceh sana-sini. Akhirnya saya kembali mengagumi sastra yang hampir setahun terabaikan dalam hidup saya.

Sastra adalah media untuk melepaskan beban pikiran, melatih pikiran, sekaligus menikmati berbagai pikiran!

Saya melihat sastra di Indonesia kurang diperhatikan oleh generasi muda, karena mereka lebih suka membaca berita. Jika dulu membaca berita adalah pekerjaan yang bisa menenangkan pikiran sekaligus menambah wawasan, maka sekarang membaca berita adalah sesuatu yang ‘rawan’ dan bisa membuat pikiran sakit dan membuat emosi tak terkontrol. Susah sekali menemukan web berita yang tidak memihak ke atas-bawah atau kanan-kiri.

Jadi, sekarang adalah waktu yang tepat untuk kehadiran sastra!

Sastra, menurut saya pribadi adalah sebuah bidang yang cukup menarik dan perlu dipelajari. Sastra merupakan sebuah dunia yang menawarkan kebebasan berimajinasi, kebebasan menelurkan kata-kata, dan kebebasan untuk berpikir. Saya cukup antusias ketika menyadari jika sastra Indonesia masih hidup dan tetap ‘mengganyang’ keadaan sosial Indonesia yang penuh perdebatan, bisa dilihat dari cerpen-cerpen yang terbit setiap minggunya selalu ‘menelanjangi’ kericuhan di Indonesia.

Beberapa cerpen yang mengambil tema keadaan saat ini yang begitu ‘ruwet’nya : Gugatan – I Putu Supartika, Ziarah Para Pembunuh – Triyanto Triwikromo, Tentang Wanita yang Menanti Kebangkitan Luiz Ezpinosa – Tommy Duang, dan masih banyak cerpen yang ditujukan untuk memberikan sudut pandang berbeda tentang realita sosial yang terjadi saat ini.

Kalau status di sosial media dan berita bisa diboikot, kalau sastra tidak!

Dengan sastra, saya bisa mereka-reka waktu, tempat, tokoh, alur dan berbagai hal lainnya. Sebuah karya sastra hanya bisa diketahu makna sebenarnya oleh sang penulis, jadi tidak sembarangan orang bisa menghakimi sebuah karya, kalaupun ada seperti analisis itu kan hanya berdasarkan pemikiran si pembaca, dan antara pikiran pembaca dan pengarang tentunya berbeda.

Anda mungkin bisa memprotes pemilihan kata yang kurang tepat atau plot yang janggal, namun anda tak bisa memprotes imajinasi sang penulis. Kurang lebih begitu yang bisa saya pelajari, karena sekian lama banyak karya yang ‘menyentil’ entah itu sosial, agama maupun politik tidak ada yang mau memboikotnya. Beda dengan bidang yang lain.
Sastrawan juga tidak ada yang saling hina dan menganggap dirinya paling produktif atau paling bagus, tidak ada!

Kalaupun ada itu hanyalah sebatas kritik, dan kritik itu tidak memakai kata-kata kebun binatang, ditulisnya di kolom opini, dan biasanya menyertakan sumber yang valid. Jadi ‘perdebatan’ antar sastrawan itu hal yang agaknya kurang memancing kemarahan seperti debat politik di televisi. Kritik sastra biasanyaa ditulis di kolom opini, artinya yang dikritisi itu hanyalah sebatas opini belaka, opini namanya karena toh dia masih menerka-nerka soal karya sastra itu. Kritik sastra juga sering menyertakan sumber yang valid, tidak sembarang menyertakan sumber dari web hasutan atau hoax.

Sastrawan itu biasanya lebih suka berpikir, banyak yang gondrong seperti Seno Gumira, Godi Suwarna, W.S Rendra. Banyak juga yang ‘lucu’ namun mematikan seperti Yusi Avianto, Djenar Maesa Ayu atau Joko Pinurbo.

Saya lebih suka sastra karena dengan kata, kita bisa mengkritik, menangis, atau memuji. Karya sastra adalah area multitafsir, kalau diibaratkan dengan film mungkin seperti film Inception atau The Holy Mountain. Sebuah puisi yang dibaca oleh lima orang bisa menghasilkan lima tafsir yang berbeda, dan itu biasa! Jadi tak ada yang memperdebatkannya sampai harus rusuh dan tawuran.

 Sebuah karya sastra yang multitafsir merupakan karya yang menurut saya bagus, karena dengan nakalnya mengajak imajinasi pembaca terbawa dan harus mengatakan ‘Ini puisi/cerpen maunya apa sih?!’. Perbedaan pendapat dalam sebuah apresiasi sastra memang sesuatu yang biasa, dan bisa dimaklumi. Jadi sastra adalah arena bertarung yang paling aman. Masalahnya, orang lebih suka mengambil resiko, pergi ke arena berbahaya, memposting sesuatu di sosial media, dan itu lebih bahaya.

Bahayanya, orang yang nggak tahu duduk permasalahannya bisa terbawa-bawa, apalagi kalau sifatnya menghasut. Jadi kalau mau kritik tanpa takut terkena boikot, mari sama-sama menulis. Menulis untuk keabadian. Ranah sastra adalah sebuah tempat yang bebas dari orang ‘sok tahu’ yang bisa menghakimi sebuah karya sastra dengan seenak jidat. Sastra adalah dunia dimana kita bisa melihat pertumpahan darah tanpa harus melihat warna merah, dimana kita bisa merasakan guyuran hujan bulan Juni tanpa harus berdiri dibawah derasnya hujan, dan tempat dimana imajinasi bisa menjadi sesuatu yang lembut sekaligus tajam.


#SastraMasihHidup

Komentar

Postingan Populer