Sangkuni, Dorna dan Kresna | Opini

Sangkuni, Dorna dan Kresna

Patih Sangkuni dalam bentuk Wayang Kulit

oleh : Azi Satria


Dunia pewayangan, sebuah dunia yang saya sukai karena merupakan simbol-simbol kehidupan manusia. Saya kurang tertarik dengan cerita pewayangan yang asli—yang dari India—namun lebih suka dengan cerita yang telah ‘dimodifikasi’ oleh orang-orang di Tanah Jawa. Bisa saja saya disebut ‘udah tua’, udik, kampungan, atau gimana-gimana semacamnya.

Namun dunia pewayangan merupakan sebuah dunia yang membuat saya manggut-manggut dan paham mengapa para wali menggunakan wayang sebagai media dakwah. Karena alur cerita dalam dunia pewayangan seperti kisah Ramayana, perang Bharatayudha atau kisah-kisah sampingannya itu merupakan sebuah gambaran dari kehidupan manusia. Begitu pula dengan tokoh-tokohnya, Prabu Sangkuni, Batara Kresna, Pandawa Lima, Seratus Kurawa—semuanya dengan simbolis menggambarkan kehidupan manusia.

Misalnya Prabu Sangkuni, patih licik ini merupakan simbol dari sifat-sifat manusia yang selalu mengedepankan ego, memaksakan kehendak sendiri—sing penting bahagia, orang mau susah terserah. Prabu Sangkuni, tokoh yang ahli dalam hal tipu muslihat dan hasut-menghasut itu konon punya ilmu Pancasona—dimana dia tak bisa mati walau tubuhnya terpotong-potong –walau pada akhirnya harus mati di tangan Bima. Prabu Sangkuni dengan pancasonanya saya kira merupakan gambaran jika manusia yang licik dan mengedepankan ego itu biasanya kebal, duduk dalam panggung politik, kemudian dia tak bisa dikalahkan.

Masih seputar yang licik-licik, saya mengenal Resi Durna, ayah dari Aswatama. Resi yang satu ini digambarkan sebagai seorang yang licik, penuh tipu muslihat dan selalu curang. Walau begitu, masa lalu Resi Dorna merupakan seorang yang bijaksana, hal ini pula yang mengantarkan ia menjadi guru bagi Pandawa dan Kurawa. Dalam kisah yang saya ikuti dalam wayang golek—saya suka terutama waktu Alm. Asep Sunandar masih jadi dalang—Resi Dorna ini mampu memecah belah kedua saudara karena dia dianggap sebagai orang suci dan bijaksana.

Dalam kehidupan, saya kira bermacam tokoh wayang hadir, terkadang tanpa kita sadari. Masih ada Bima, seorang yang mudah marah dan kasar namun di pihak yang benar—setidaknya, babad Mahabrata bilang begitu—dan masih banyak para jendral dari Kurawa yang saya favoritkan dulu, seperti Duryudana, Suyudana.

Dibandingkan alur kisah yang lain, saya paling suka dengan Perang Bharatayudha. Sebuah perang yang konon melibatkan berbagai perwira, senopati, jendral dan bahkan membuat sang resi Dorna terbunuh. Ketika saya melihat pagelaran wayang—entah itu di TVRI atau di youtube—saya sering terkagum-kagum dengan sang dalang maupun sinden.

“Kabarkan kalau Aswatama sudah mati, karena jika Resi Dorna terus di pihak lawan, maka kita akan kalah.” Kata Batara Kresna, tokoh bijak yang konon titisan dewa yang mengejawantah ke bumi.

Cuplikan itu saya dapatkan kira-kira waktu masih kelas 6 SD, saya menonton pagelaran wayang—namun lupa siapa dalangnya. Dari cuplikan perkataan Batara Kresna itu, saya jadi bingung sendiri. Lha, kok katanya titisan dewa, tapi malah mau menghasut demi mengedepankan egonya—malah jadi seperti Sangkuni gitu.

Lantas, dalam kisah itu Yudhistira menyarankan agar para pandawa mencari gajah yang bernama ‘Aswatama’ juga, karena Yudhistira yang dikenal karena kejujurannya tak mau membohongi gurunya sendiri. Akhirnya Bima (Werkudara) menghantamkan gada rujakpolo ke kepala gajah bernama ‘aswatama’ itu, kemudian dengan berat hati Yudhistira berteriak “Aswatama telah mati!”

Betapa hancur hati Resi Dorna mendengar kabar Bambang Aswatama, anaknya telah mati. Kemudian dikisahkan Resi Dorna itu bunuh diri di medan kurusetra. Kurawa melotot melihat Resi Dorna, sang Jendral perang—yang mungkin setara dengan Zhu Ge Liang dalam kisah Sam Kok—mati, padahal dialah pengatur taktik untuk melumpuhkan pihak pandawa. Di kejauhan, Aswatama yang masih hidup mendengar kabar jika ayahnya telah mati sangat kecewa dan berniat membalas dendam.

*

Ada beberapa versi tentang kematian Resi Dorna. Ada yang bilang dia dibunuh oleh Drestadyumna, kakak dari Srikandi dan Drupadi, ada pula yang bilang jika Dorna mati melepas ruhnya sendiri. Namun dalam cuplikan kisah ini saya tertarik dengan hasutan sang Batara Kresna.

Di luar sana ada yang menganggap jika perkataan Kresna itu merupakan suatu hal yang bijak juga—namun ada yang bilang kalau Kresna sama pengecutnya dengan Sangkuni karena dia memakai siasat licik. Nah, dalam kehidupan sehari-hari, kita nampaknya perlu juga untuk berhati-hati terhadap segala kelicikan.

Dalam politik misalnya, seperti Sangkuni yang menempati jabatan penting di tubuh Hastinapura. Kita harus berhati-hati dan waspada terhadap segala bentuk kelicikan yang ada dalam tubuh pemerintahan. Sudah berapa ratus kali kita mendengar berita korupsi di televisi—untuk kemudian hilang berita itu bersamaan dengan tersangkanya ke luar negeri.
Resi Dorna, seorang yang tampaknya sudah berpengalaman dan tua pun masih bisa menghasut dan mengadakan kekacauan di muka bumi. Untuk itu, kita pun harus waspada, siapa yang tahu jika ternyata seorang resi yang juga menjadi tokoh penting yang bijak itu pandai dalam hasut-menghasut.

Kemudian ada Batara Kresna. Walau Batara Kresna digambarkan memakai pakaian yang serba menunjukan kalau dia adalah titisan dewa, dan dia juga sangat dipercaya oleh Pandawa, namun secara tidak sadar dalam perang Bharatayudha, dia telah melakukan sesuatu yang ‘pengecut’ untuk ukuran seorang yang suci. Hal ini sama dengan keadaan sosial dimana banyak yang mengaku sebagai nabi terakhir, ada yang bilang merupakan Tuhan (ajaran Lia Eden, Dimas Kanjeng dsb) tapi dibalik semuanya satu sungging senyuman licik terpancar.

Secara ringkasnya, budaya wayang di Indonesia telah mengajari manusia untuk berfilsafat tanpa harus merasa digurui. Anda hanya perlu datang, duduk manis, kemudian menyaksikan sebuah ‘pelajaran filsafat’ bahkan ilmu agama—dan anda akan merasa puas dan terhibur, beda jika anda mendengarkan ceramah. Filosofi yang terkandung dalam cerita pewayangan begitu dalam, itulah kenapa orang-orang zaman dahulu bisa bijaksana tanpa harus melalui pendidikan formal.


Maju terus dunia pewayangan Indonesia!

Komentar

Postingan Populer