Tujuh Dialog : Suatu Malam Sialan - Azi Satria | Cerpen
Beberapa dialog yang saya tujukan untuk langit malam yang kelam nan mencekam, berharap angin dapat membawanya ke setiap penjuru mata angin. Dialog ini terinspirasi dari surat kabar yang ditunggangi koboi-koboi berpengalaman, dari ceramah seorang budayawan, dan dari secangkir kopi yang dimasuki lalat bahkan sebelum sempat terjamah bibir ini. Disajikan dari sudut pandang saya: pemalas yang enggan menjadi normal.
Baca ini seperti menonton wayang kulit : Berawal dengan gambar kosong, lalu ada yang sok tahu dan sok menasehati, sok merangkum, kemudian ketika berakhir akan kosong lagi, jadi untuk latihan berpikir saja. –ini kata-kata budayawan Sujiwo Tejo untuk bukunya, namun berguna juga untuk kumpulan dialog ini.
Tujuh Dialog : Suatu Malam Sialan
Pengembara
“Inikah jalan yang benar?”
“Betul, tepat sekali, Tuan.”
“Tapi seorang pria dengan jubah putih dan janggut melambai-lambai tertiup angin di persimpangan tadi bilang kalau kesini adalah jalan yang salah.”
“Justru dia sebetulnya yang salah.”
“Bagaimana caranya saya bisa memandang yang mana yang benar yang mana yang salah?”
“Lihat saja, Tuan. Saya sudah terkenal dimana- mana, puluhan orang pernah menjadi murid saya, Tuan. Bahkan saya sudah pergi mengunjungi makam leluhur setiap hari, saya berdoa setiap hari, dari satu pulau ke pulau lain.”
“Jadi saya ikut dengan anda?”
“Pepatah bilang ikutilah yang sudah punya pengalaman, mari ikut.”
Pintu tertutup. Malam itu tak hanya hening yang menyelimuti kota.
**
Puasa
“Pak, puasa.”
“Puasa? Huahahaa.. Puasa? Hoek.. Uhuk..”
Anaknya membersihkan sisa raga yang tersisa, sedangkan sebiji telur yang membuatnya tersedak tetap bersemayam di tenggorokannya, membiarkannya berpuasa sampai ia tiba di akhirat.
**
Jalan Pulang
“Disini sepi.”
“Sudah kubilang, jangan lewat sini. Tadi kan ada yang nawarin angkot di sana.”
“Aku tadi tak yakin mau naik, pengeras suaranya terlalu besar, perjalanannya dibilang sangat cepat.”
“Kalau benar-benar cepat gimana?”
“Yang instan biasanya berbahaya.”
“Itu resiko.”
“Orang tuaku bilang jika jalan yang ramai itu biasanya nggak bener, karena lebih banyak yang bakalan tersesat.”
“Eh, itu di depan rumah kita.”
“Tuh kan kubilang..”
Mereka pulang dengan gembira. Walau perjalanannya sangat sepi, tapi mereka nyaman. Tapi aku takkan bercerita tentang angkot jurusan arah pulang itu.
**
Toko Iman
“Dimanakah, Tuan. Toko iman itu?”
“Lurus saja dari sini.”
“Banyak persimpangan, Tuan.”
“Tetap lurus saja.”
“Tapi setiap persimpangan itu masing-masing menghampiri saya, Tuan. Mereka bicara toko iman yang paling bagus ada di sebelah kiri atau kanan.”
“Lurus saja, lurus.”
“Tapi susah, Tuan. Kadang mereka menjadi berang, lantas mencaci maki saya sepanjang jalan karena tidak menghampiri toko iman mereka.”
“Lurus saja, tetap lurus.”
“Bagaimana jika saya dibenci orang sepanjang jalan, Tuan?”
“Kau hanya akan merasa resah dan risih saat pergi, nanti saat pulang ‘kan kau sudah membeli iman itu, lantas kau pakai, agar ketika pulang kau tidak merasa resah lagi.”
“Jika saya dibunuh sebelum sampai, Tuan?”
“Setidaknya kau dalam perjalanan menuju toko iman itu ‘kan? Orang dan polisi akan memakluminya, kau tak perlu risau.”
“Terima kasih! Terima kasih!”
Sepuluh tahun kemudian, dia mendirikan toko iman baru, letaknya ke arah kanan dari toko iman yang dulu dia beli.
**
Dialog Niaga Seorang Karyawan Toko Penghias dan Pembeli yang Merasa Kesepian dengan Kamar Tanpa Hiasan
“Lihatlah, Tuan! Set untuk kamar ini bisa membuat kamar anda nyaman—disamping indah tentunya!”
“Apa saja yang kau jual, bung?”
“Ada speaker, Tuan. Speaker ini suaranya bergemuruh, Tuan, bisa membuat tetangga anda iri. Kemudian ada lukisan dinding, Tuan, lukisan dinding ini warnanya putih bersih, Tuan, bisa membuat sejuk mata, dengan lukisan putih ini maka noda-noda dinding anda akan terhapus, Tuan. Cukup pakai lukisan dinding ini dan orang akan mengira tak ada noda dibaliknya.”
“Kalau itu aku sering lihat di surat kabar.”
“Oh, kalau begitu ada lagi, Tuan. Ada set senjata disini, Tuan. Revolver, semi-otomatis, clurit bahkan hingga Mandau dan rencong!”
“Nanti saya dikira penjahat lagi.”
“Ssstt.. begini, Tuan. Sekarang memajang senjata di ruangan anda sedang tren, jadi nggak ada yang akan protes, sekarang ini bahkan orang-orang membawa senjata ke mana-mana, Tuan.”
“Masak?”
“Iya, Tuan.”
“Harganya berapa?”
“Seperempat harga diri, Tuan.”
“Ah, mahal betul.”
“Di toko lain harganya setengah harga diri, Tuan.”
“Tapi kualitasnya bagus ‘kan?”
“Tentu saja! Ada garansinya.”
“Ini, tolong hitung lagi.”
“Em.. iya Tuan, pas ada seperempat harga diri.”
Malam tetap indah, tak usah hiraukan pria yang sedang mengasah clurit itu, tak usah.
**
Babi Taluha
“Saya mau jadi kepala dewan penerangan.”
“Lho? Nggak mau tetap jadi karyawan?”
“Nggak, udah capek.”
“Emang kamu kalau jadi kepala dewan penerangan mau bikin program apa?”
“Saya mau bikin program Babi Taluha.”
“Lho, apa itu?”
“Banyak Bicara Tak Perlu Usaha, jadi nantinya seluruh anggota dewannya saya suruh menggiatkan bicara. Ini sebuah program kreatif karena kita hanya perlu bicara, nggak perlu yang namanya usaha.”
“Apa nggak akan bikin resah?”
“Ya nggak dong, kan saya ketua dewan penerangannya. Nanti saya bikin kontes sebelum nyalon.”
“Kontes apa?”
“Memonyongkan bibir, nanti saya gelar acaranya di tengah-tengah kota, saya akan menyiapkan speaker. Harapan saya sih semuanya akan berjalan dengan lancar dan acaranya terus digelar setiap tahun.”
“Saya doakan kamu jadi ketua dewan penerangan deh.”
“Makasih, ya.”
Esok adalah hari yang indah. Setidaknya itu sebuah do’a. Setidaknya.
**
Penonton yang Kesepian dan Pengurus Stadion Sepakbola yang Terlalu Riang Pada Suatu Malam yang Lucu nan Menggemaskan
“Hei, bung, mau beli kaos?”
“Kaos apa?”
“Kesebelasan Karyawan Surga.”
“Berapa harganya?”
“Setengah harga diri.”
“Kenapa harus beli?”
“Lha kau kan sering nonton disini, setidaknya kau harus seperti supporter lain. Lagipula samakan saja dengan ‘umum’ dengan orang normal, disini cuma kamu yang harga dirinya nggak setengah.”
“Kenapa harus sama? Saya kan cuma nonton?”
“Ini stadionnya Kekas—Kesebelasan Karyawan Surga—jadi kau harusnya ikut lah mensejahterakan kekas.”
“Saya sudah bayar tiket. Tidak ada yang bilang harus beli kaosnya.”
“Setidaknya hormatilah kami bung.”
“Apakah harus dengan beli kaos Kekas itu?”
“Yah—Ini akan melindungimu, bung, jika kau sedang dalam kesulitan—misalnya menonton tandang Kekas ke ibukota, kau bisa memanggil supporter lain agar membantumu.”
“Saya belinya minggu depan deh.”
“Kalau begitu saya catet nih, awas ya bung kalau nggak beli.”
“Iya.. Iya..”
“Kekas ini akan mendunia tampaknya lho bung, sekarang Kekas lebih sering tampil di berbagai televisi dan liga-liga nasional bahkan internasional.”
“Bagus dong kalau begitu.”
“Iya, malah suporternya jadi membludak, saya nggak ngira tadinya.”
“Katanya saya baca di koran Kekas mau beli pemain asing ya buat lini depannya?”
“Kalau asing sih mungkin nggak juga, tapi pemain lokal Kekas kirim ke kota tambang minyak di tengah-tengah semesta ini, jadi nantinya pulangnya lebih mantap dan bisa dipandang sebagai pemain top oleh supporter.”
“Wah.. ngapain aja disana? Latihan berat ya?”
“Pelesir.”
Rembulan ngakak, terlihat wajah suram bintang-bintang.
1/6/17
Ciamis,
Kucampur susu dengan kopi, namun tak pernah putih sempurna. Walau tetanggaku bilang tampak seperti susu. Naïf sekali. Bahkan seperti susu perawan pun tak nampak.
“Tetap cabul, sayang. Perkosa kehidupan ini.” Kudengar bulan sabit berbisik mesra.
Komentar
Posting Komentar