Basa Basi #6
Nafsu manusia bagaikan kuda. Kalau dilatih, patuhlah ia, kalau dibiarkan berkeliaran bebas, maka akan liar nafsu itu.
Sebuah ‘wejangan’ yang saya dapatkan dari Yanusa Nugroho dalam cerpen Randu (cerpen tahun 97/2000an). Kalimat itu tanpa sengaja hadir kembali bersamaan dengan mengalirnya puluhan berita dan beberapa peristiwa yang saya lihat sendiri yang menjadikan nafsu sebagai tuan mereka.
Mengikuti nafsu bukanlah kesalahan, namun yang wajar-wajar saja sesuai dengan keadaan diri sendiri. Mencoba sesuatu yang baru merupakan kebutuhan kita, dan ingin merasakan ngefly juga salah satu nafsu yang beres nggak beres tergantung dimana kita menerapkannya.
Masalahnya, banyak jalan pintas yang justru membahayakan diri sendiri untuk mencapai nafsu itu. Misalnya saja, lebih dianjurkan minum-minuman beralkohol dengan brand yang sudah terdaftar resmi dan minum dengan standar manusia saja, tapi kenyataannya diluar sana banyak yang merusak diri mereka sendiri dengan melanggar batasan-batasan itu.
Minum tuak mungkin nggak masalah, karena dulu nenek moyang kita banyak yang mabuk-mabukan atau sekedar menuntaskan tradisi dengan minum tuak. Masalahnya dikarenakan harga tuak yang lumayan murah ditambah dengan harga lem yang tentunya juga lebih murah dibandingkan tequila atau bir, akhirnya banyak pemuda-pemudi yang ingin ngefly gaya instan nan menyedihkan.
Ngefly nggak perlu pakai narkoba atau alkohol. Semua hal bisa membuat manusia ngefly sesuai dengan apa yang ia sukai. Mungkin cowboy-cowboy dengan sepatu boots tinggi dan pistol di pinggang perlu tequila untuk ngefly, mungkin juga seorang tukang pukul dengan tattoo memenuhi tubuh perlu inex1 untuk ngefly. Tapi ada yang tak disebutkan.
Seorang tukang mancing tentunya bakal ngefly ketika mendapatkan ikan yang luar biasa tersangkut di kailnya, menimbulkan euphoria2. Seorang pecinta kopi tentunya juga akan ngefly saat mencoba kopi yang benar-benar pas di hati dan lidahnya sendiri.
Di dunia ini banyak standar-standar yang seharusnya tak perlu dijadikan standar. Atau mungkin nggak usah ada standar sama sekali kalau itu justru merugikan orang lain. Misalnya orang alim adalah mereka yang memakai sorban kemanapun ia pergi, atau seorang berandalan haruslah mereka yang bertato.
Mengkotak-kotakkan sebuah standar seperti itu justru menimbulkan sesuatu yang merugikan bagi orang lain. Ini bukan bicara teori karena saya sendiri sering dicap seperti itu. Misalnya dalam pengalaman saya menyukai genre musik symphonic metal dianggap sebagai orang sesat, pemuja setan, atau bahkan berandalan. Padahal genre musik tak bersalah, individu-individu itu sendiri yang menciptakan sesuatu yang mengkambinghitamkan genre.
Mahasiswa filsafat sering dianggap sebagai atheist atau komunis, dan yang mengatakan demikian pada mereka itu tak paham betul apa yang sedang mereka judge. Menghakimi orang lain hanya dengan penampilan luar adalah hal bodoh yang biasa dilakukan dan tentunya sering saya lakukan baik itu secara sadar maupun tak sadar—semua orang harusnya sih pernah seperti ini.
*
Jika bicara soal nafsu, mungkin kita akan berpikir kepada syahwat. Masalahnya selama seminggu terakhir justru saya lebih berhubungan dengan dunia dimana batas-batas telah dilanggar dan peraturan dicampakkan ke tempat sampah. Tuhan dianggap sebagai kartu remi yang dibanting dan diputar hanya untuk mendapatkan keuntungan.
Diantara sepuluh wanita berjilbab yang saya temui di tempat umum, saya melihat enam dari mereka tentunya tak memenuhi syarat pantas untuk mengenakan jilbab. Semuanya berjilbab, tapi dada dan paha bagaikan sedang mengiklankan dada dan paha ayam.
Dan ini yang saya dapatkan ketika bertanya tentang pakaian mereka yang cukup kampungan,
“Kan saya masih hijrah, A. Wajar lah kalau belum sempurna.”
Bullshit.
Jujur, tanpa mencampur adukkan aturan agama dengan omongan bajingan, saya lebih suka menonton pertunjukkan striptease oleh pelacur jalanan dibandingkan harus melihhat mereka yang memakai jilbab namun dada dan paha diumbar kesana-sini. Percuma, hal itu hanya akan membunuh citra agama. Penistaan agama yang sudah lama dibiarkan—entah karena semua orang menikmatinya atau karena belum datangnya hidayah—dan menjamur, seolah menjadi tradisi jika memakai jilbab maka tali BH dan CD harus terlihat.
“Ini gaya modern, berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan fashion.”
Mungkin iya, zaman berkembang menyeret aturan-aturan yang melekat hingga kendor atau bahkan lepas sama sekali. Sama seperti batik, tadinya hanya untuk kalangan bangsawan, namun seiring berkembangnya zaman dijadikan kaos, kemeja, tas, atau bahkan sepatu sneaker. Tapi jilbab, menurut saya akan menurunkan citra agama saja, karena pada dasarnya itu perintah agama, maka akan ada orang yang beranggapan jika agama menyuruh gadis-gadis ABG memakai JilBoobs.
Mending tak usah pakai jilbab, pergi saja ke gang-gang gelap sana. Duduk melingkar bersama para berandalan, bagikan 52 kartu remi, minum sekaleng bir, kemudian menjadi penari strip. Karena guru saya pernah bilang
“Mau jadi orang bener ya harus utuh jadi orang yang lurus, kalau mau berandalan juga silahkan, tapi jangan setengah-setengah, jadi berandalan aja yang utuh.”
*
“Sebenarnya reggae itu tak salah, gak ada genre musik yang membawa pada kesesatan atau kerusuhan, yang salah individu-individu itu sendiri,”
Satu kalimat yang saya dengar kemarin dalam acara pentas band Reggae dan SKA yang dikatakan oleh MC, sebuah kalimat yang ingin sekali saya teriakkan pada telinga-telinga yang tersumbat oleh hal yang tak mereka ketahui.
Sebenarnya saya juga kurang suka reggae—kuping saya kurang pas, cenderung lebih suka klasik, kalau ska yang lebih condong ke musik ethnic boleh juga—tapi karena saya tahu reggae, ska, rocksteady, symphonic metal, death metal atau progressive rock itu adalah sebuah genre, saya tak langsung datang pada kerumunan pecinta musik punk, kemudian berteriak “Bubar! Sesat!”
Dangdut tak usah dikaitkan dengan minum-minum tuak, metal tak usah dikaitkan dengan kerusuhan, musik orchestra dan jazz tak perlu dikaitkan dengan kaum bangsawan dan sebotol brendy, rock tak bisa dikaitkan dengan vodka begitu saja.
Saya pernah mendengarkan lagu Epica dan Xandria pada suatu malam, kemudian ada yang datang dan bilang jika saya seperti penyembah setan. Well—wajar saja sih karena saya memutar Feint, Cry For The Moon dan Phantom Agony. Sama ketika saya memutar Bohemian Rhapsody dari Queen, sama-sama dituduh penyembah setan.
*
Semua orang punya keinginan untuk mendobrak aturan, menjadi anti-mainstream, melakukan sesuatu yang melanggar menurut norma yang ada. Tapi semua itu tentunya tak perlu diumbar di tempat umum, tak perlu koar-koar kesana kemari. Tak perlu membuat status di facebook setelah minum satu botol penuh Cap Tikus dicampur dengan tuak, tak perlu ngetweet saat tripping LSD.
Keburukan dan kebaikan tak perlu diumbar. Tak perlu koar-koar “Cape malem abis giting”, jujur itu norak dan kampungan. Begitu pula kebaikan, tak usah pamer di medsos “Sedekah sepuluh juta, Alhamdulillah semoga bermanfaat.” Norak.
Tapi itu sifat manusia, ingin diakui dan ingin dilirik orang. Tapi manusia hidup bukan untuk menyenangkan orang lain, atau untuk memenuhi standar yang diciptakan orang lain. Jadi diri sendiri itu penting, karena tak semua orang bisa mewujudkannya.
Jika manusia tak bisa menjadi diri sendiri, berpikir dengan pikirannya sendiri, atau punya pendirian sendiri—tentunya—jelas-jelas belum memenuhi standar kalau manusia itu adalah ‘manusia’ yang utuh. Sebut saja dia robot, yang hidup untuk membuat orang lain senang dan diatur orang lain, pikirannya juga diprogram.
Hai robot! Apa kabar?
*
Ciamis
2/7/17
Ket :
1/ Inex - nama lain untuk pil ekstasi atau MDMA
2/ Euphoria - rasa senang berlebihan


Komentar
Posting Komentar