Basa Basi #7 : Perang, Media Sosial dan Kebijaksanaan
![]() |
Novel Perang oleh Putu Wijaya |
Minggu ini mungkin menjadi minggu yang paling melelahkan
karena saya harus berurusan dengan sekolah dari pagi hingga sore sehingga saya
tak punya waktu untuk berurusan dengan ini-itu selain malam hari atau hari
libur. Untungnya, perpustakaan menyediakan buku-buku yang menarik—tapi sayangnya
acak-acakan dan pengurus perpustakaan tampaknya masih terlalu lelah untuk
membereskannya.
Beberapa waktu lalu saya meminjam sebuah buku dengan isi
paling fenomenal—atau bahkan buku yang paling menyindir keadaan sosial
Indonesia di masa ini. Novel Perang karya Putu Wijaya memberikan
goresan-goresan maut untuk mengkritisi manusia-manusia modern. Novel ini
mengisahkan dunia pewayangan—kisah perang Bharatayudha yakni perang besar
antara kubu Pandawa dan Kurawa.
“Perdamaian yang bohong adalah peperangan yang paling kejam”
sebuah kutipan dalam buku itu.
Kisah dua saudara yang berseteru, kemudian diracik dengan permainan
kata oleh Putu Wijaya membuat orang bertanya-tanya—termasuk saya sendiri—bagaimana
sebenarnya isi kepala dari Putu Wijaya sehingga bisa menghadirkan sebuah novel
dengan plot rumit nan menggigit ini?
Walau pembukaan novel ini bisa dirasa membosankan, tapi
pembaca takkan terlalu kesulitan—apalagi yang mengikuti alur wayang versi Jawa—karena
tokoh yang dihadirkan adalah para punakawan, Semar dan anak-anaknya yang
bertanya-tanya “Benarkah Korawa adalah musuh?”
Putu Wijaya dengan novel ini memberikan sebuah gambaran
tentang perang saudara, tentang duka yang akan ditanggunng jika sebuah perang
dideklarasikan. Putu Wijaya dengan novel Perang-nya mampu bicara “Tak perlu ada
perang sesama bangsa, kita satu saudara.”
“Musuh kita bukan Korawa, tapi diri kita sendiri. Musuh kita
tidak datang dari Korawa, tapi datang dari dalam diri kita, dari dalam hati.” Kata
Semar.
*
Lirik Bahas Bahasa dari Barasuara
O! Itu tak kau lihat tak kau ragu
Peluh dan peluru hujam memburu
Bahasamu bahas bahasanya
Lihat kau bicara dengan siapa
Peluh dan peluru hujam memburu
Bahasamu bahas bahasanya
Lihat kau bicara dengan siapa
Lidah kian berlari tanpa henti
Tanpa disadari tak ada arti
Bahasamu bahas bahasanya
Lihat kau bicara dengan siapa
Tanpa disadari tak ada arti
Bahasamu bahas bahasanya
Lihat kau bicara dengan siapa
Makna – makna dalam aksara
Makna mana yang kita bela
Berlabuh lelahku
Di kelambu jiwamu
Makna mana yang kita bela
Berlabuh lelahku
Di kelambu jiwamu
Iga pandai memilih judul “Bahas Bahasa” yang terbilang unik dan mudah diingat. Setelah membaca judul lagu tersebut muncul pertanyaan, apakah Iga akan membahas mengenai bahasa Indonesia? Pada dua baris pertama lirik lagu tersebut menggambarkan realitas saat ini yakni kemudahan memperoleh informasi membuat kita dengan mudah terperangkap dengan hal-hal yang tabu dan belum tentu benar (kabar burung). Parahnya, kita tidak kritis terhadap informasi tersebut dan mempercayai informasi tersebut tanpa menelaah dengan cermat lebih lanjut.
Kata “peluru” bersifat konotatif. Peluru melambangkan bahaya dan cepatnya informasi yang mampu membunuh intelektual seseorang karena memperoleh informasi yang salah. Lirik lagu ini secara keseluruhan menggambarkan situasi adu mulut yang tak menghasilkan apa-apa. Seringnya kita melihat perseteruan argumentasi tanpa henti dan tanpa arti. Mereka hanya berkutat pada omong kosong yang semakin dalam dan menghabiskan waktu dan pikiran.
Masalah yang digambarkan Iga pada lirik lagu ini menjelaskan situasi politik yang sering beradu mulut tanpa sebuah resolusi yang pasti. Situasi tersebut dijelaskan dalam kalimat “Bahasamu bahas bahasanya”. Adu mulut tanpa henti karena yang dibahas tidak pernah selesai, saling meninggikan derajatnya satu sama lain seperti dalam lirik “Lihat kau bicara dengan siapa”.
Iga tidak hanya memberikan gambaran situasi adu mulut tetapi juga mencoba mencari jalan keluar pada masalah yang terjadi. Hal tersebut dapat dilihat dari makna lirik lagu “Berlabuh lelahku. Dikelambu jiwamu”. Kedua kalimat tersebut menjadi solusi yang ditawarkan Iga dalam liriknya. Tidak heran, penulisan lirik Iga Massardi seperti sajak atau syair karena ayahnya merupakan seorang sastrawan bernama Yudhistira ANM Massardi.
Sudah saatnya kita saling menerima satu sama lain jika ada perbedaan maka bukan berarti kita harus memaksakan kehendak. Perseteruan berakhir ketika kita saling introspeksi diri dan melihat hati masing-masing. Kita sering membahas mana yang lebih benar tapi terkadang kita juga harus menerima apa yang mereka percaya. Sesuatu apa pun bisa berbeda dalam penafsirannya tergantung apa yang kita percayai dan sejauh mana referensi pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki.
Artikel mengenai lirik dan makna lirik Bahas Bahasa ini dimiliki oleh Gilanada, saya mengucapkan beribu terima kasih karena telah menafsirkan lirik ini sehingga bisa sesuai dengan pembahasan basa basi kita di venusastra.
*
Bicara damai bisa saja, karena damai kan jatah semua orang. Semua
orang berhak untuk merasakan kedamaian dan ketentraman dalam hidupnya, tapi
jika kata damai itu diserukan sambil menerror, menghantui pikiran orang lain,
apakah masih pantas disebut sebagai kedamaian?
Damai itu jatah semua orang, jangan dahulukan ego. Tapi kedamaian
semua orang kadang berbeda, untuk itu tidak perlu berseru damai—apalagi mengganggu
bagi mereka yang berbeda damainya. Kedamaian bisa tercipta bahkan tanpa harus
koar-koar dengan bibir melar soal kedamaian. Kedamaian tercipta dengan dasar
kerukunan.
Kelas saya damai dan tentram, setiap pagi selalu ada petugas
piket yang melaksanakan tugasnya tanpa harus ketua kelas teriak-teriak soal
kebersihan. Itu menunjukkan jika ketentraman dan kedamaian pun bisa terlaksana
dengan kesadaran diri sendiri. Sekolah kami tidak pernah ada konflik dengan
sekolah lain—walaupun tidak sekalipun guru-guru bicara murid harus menciptakan
kedamaian, karena anak-anak sudah paham jika kedamaian tidak perlu diteriakkan,
hanya perlu dilaksanakan.
Work in silence, let success be your noise. Sebuah kutipan
yang saya temukan ketika browsing di internet. Hidup pun tampaknya harus
seperti itu. Kerjakanlah sesuatu dengan perlahan—tak perlu semua orang tahu
kalau kita adalah orang paling benar sedunia, atau bahkan bajingan paling kejam
sedunia, biarkan proses berjalan tanpa kegaduhan. Jadikan hasil dari proses itu
sebagai satu-satunya kegaduhan yang tercipta.
Lagipula, kita semua tidak tahu soal kebenaran. Apa sih
kebenaran itu? Apakah kebenaran itu universal?
Kebenaran tidak universal, standar-standar yang
mengatasnamakan kebenaran itu diciptakan oleh manusia—karena buktinya setiap
manusia memiliki kebenarannya masing-masing. Kita tidak bisa memaksakan kalau kopi
adalah minuman paling enak pada seorang pencinta jus buah, kita pun tidak bisa
bilang kalau novel sci-fi lebih baik daripada romance pada orang lain. Setiap orang
memiliki standar-standarnya masing-masing.
Dalam pelajaran sekolah dasar, orang tidak boleh memaksakan
kehendak, semuanya harus melewati proses persetujuan. Adapun jika pernyataannya
tidak menang dalam proses persetujuan a.k.a musyawarah itu, maka orang harus
menghargainya. Betapa indahnya sekolah dasar.
Anak-anak SD belajar menghargai pendapat, sedangkan masih
banyak para pemimpin yang mengabaikan hal ini. Bukankah seharusnya makin tua
makin bijaksana?
*
Sempurna yang kau puja
dan ayat-ayat yang kau baca
Tak kurasa berbeda
kita bebas untuk percaya
dan ayat-ayat yang kau baca
Tak kurasa berbeda
kita bebas untuk percaya
(Seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami)
Lirik di atas sebenarnya sangat sesuai dengan kondisi saat ini yang marak dengan fanatisme atau fundamentalisme agama. Sikap fanatik ini cenderung menghasilkan tindakan diskriminasi pada suatu golongan tertentu dan terkadang berakhir pada bentuk kekerasan fisik seperti bom bunuh diri. Hal itu terjadi disebabkan oleh minimnya pemahaman agama masyarakat kita, sehingga sangat mudah dipengaruhi oleh ideologi-ideologi radikal yang diimpor dari luar negeri. Ironinya ideologi-ideologi tersebut sebenarnya sangat jauh dari ajaran agama yang mengajarkan sikap toleransi dan cinta kasih kepada sesama mahluk hidup di bumi ini. Rasa toleransi dan cinta kasih inilah yang tersirat dan tersurat dalam lirik lagu di atas.
Namun, selain memiliki pesan moral yang dalam, Iga pun sangat pandai dalam memilih diksi juga permainan bunyi. Seperti halnya pemberian judul “Hagia” yang memang sangat unik bagi kita. Kata “Hagia” ini sebenarnya memiliki banyak arti dari berbagai asal bahasa. Misalnya dalam bahasa Jepang Hagia berarti bintang, sementara dalam bahasa Ibrani Hagia berarti tiba atau festival. Hanya saja secara etimologi kata Hagia berasal dari kata Yunani yaitu Sancta Shopia (Aγια Σοφία) yang berarti “Kebijaksanaan Suci”, sedangkan dalam bahasa Turki Hagia dikenal dangan kata Aya Sofya yang juga berarti “Kebijaksanaan Suci”.
Dari sekian banyaknya arti kata itu, mungkin yang lebih meyakinkan kita adalah kata Yunani dan Turki yaitu “Kebijaksanaan Suci”. Jika kata Hagia ini mengacu pada Hagia Sophia; sebuah bangunan bekas basilika, mesjid, dan sekarang menjadi meseum di Istanbul. Memang sangat relevan dengan tema kebebasan beragama dalam lirik lagu itu. Sebab Hagia Shopia adalah perlambangan dari sejarah yang panjang yang mempertemukan ketiga agama besar Yahudi, Kristen, dan Islam, juga pertemuan kebudayaan yang berbeda antara Yunani Kuno, Romawi dan Islam pada zaman ke khalifahan Turki Utsmani. Sehingga makna yang ingin disampaikan pada lirik lagu “Hagia” oleh Iga dengan Barasuara-nya pun sangat mendalam dan berkesan.
Terlebih lagi, dengan adanya runtutan bunyi pada setiap frasa atau klausa dari larik lagu “Hagia”, yang memang cukup ampuh memberikan efek puitik. Bunyi-bunyi vokal seperti /a/, /i/, /u/, misalkan dalam larik /Sempurna yang kau puja/, /dan ayat-ayat yang kau baca/, /tak terasa berbeda/, /kita bebas untuk percaya/ bertemu dengan bunyi konsonan sengau seperti /m/, /n/, dan /ng/ memberi kesan merdu atau efoni. Sementara bunyi-bunyi vokal /a/, /i/, /e/, dan /u/, ketika bertemu dengan kombinasi bunyi konsonan yang sangat dominan seperti /b/, /p/, /r/, /s/, /t/, dan /k/ memberi kesan parau atau kakafoni. Kombinasi bunyi pada larik itu lebih banyak didominasi oleh bunyi konsonan yang membentuk suatu kombinasi bunyi aliterasi. Pengulang bunyi aliterasi seperti /b/, /r/, /t/ dan /k/, pada setiap frasa atau klausa tersebut cenderung memberikan kesan yang sangat parau, muram, sedih, pedih, dan luka. Suasana muram, sedih, dan luka ini semakin kuat ketika diiringi dengan instrumen musik yang berbentuk refrain seperti sebuah vokal dalam gereja.
Makna lirik ini ditulis oleh Buruan.co. Terima kasih untuk artikelnya!
*
Ilmu pengetahuan, sastra, matematika dan ilmu-ilmu lain
diciptakan dari proses manusia mengamati alam semesta. Fisika, biologi dan
sosiologi tercipta dari membaca dan memahami semesta yang luas nan menakjubkan.
Kalau menurut saya pribadi, manusia sebenarnya menciptakan
segala sesuatu dengan berfilsafat. Jadi bisa dibilang jika filsafat adalah
proses mengekstraksi semesta menjadi ilmu-ilmu umum. Coba bayangkan, jika manusia
tidak merenungkan dan memikirkan semesta ini dengan begitu seriusnya, mana
mungkin kita bisa menikmati ilmu-ilmu pengetahuan yang menakjubkan sekarang
ini.
Bahkan banyak filsuf yang berjasa bagi ilmu pengetahuan,
sebutlah Aristoteles yang berjasa bagi fisika, sastra, astronomi dan
pengelompokan spesies-spesies biologi. Plato dalam hukum, politik, sastra dan
pendidikan. Kemudian beberapa waktu lalu saya mendengar ada orang menentang
filsafat. Tanpa filsafat, mungkin ilmu pengetahuan akan berkembang lebih
lambat.
Well, bagi anda yang tertarik terhadap pembahasan filsafat,
novel karya penulis Norwegia berjudul “Sophie World” atau dalam bahasa
Indonesia “Dunia Sophie” adalah sebuah novel berisi ensiklopedi filsafat yang
menurut saya cukup lengkap untuk pemula—termasuk saya sendiri—yang ingin mendalami
filsafat.
Filsafat adalah seni berpikir, satu-satunya hal yang membuat
saya jatuh cinta terhadap filsafat adalah seni! Saya mencintai filsafat sebagaimana
saya mencintai sastra. Jika sastra main-main dengan kata-kata, filsafat
main-main dengan pikiran. Pikiran manusia lebih luas dari semesta, namun hanya
sedikit yang mau mengeksplorasinya.
Saya kira, memahami filsafat tidak ada salahnya. Tapi itu
semua kembali pada diri masing-masing, setiap orang memiliki persepsi
berbeda-beda, tentunya memiliki pandangan yang berbeda pula tentang filsafat. Baik
orang filsafat atau bukan pasti bisa untuk mengeksplorasi pikirannya, yang
terpenting adalah hasil dari itu semua, apapun yang manusia pahami—entah itu
seorang ulama, atheis, pendeta, presiden, menteri, atau dalang sekalipun yang
terpenting memberikan manfaat untuk semesta dan manusia.
Manusia boleh memiliki standarnya masing-masing, tapi yang
terpenting semua itu dilandasi dengan rasa kasih sayang. Tak peduli apapun isi
kepala seorang manusia, kita harus menunjukkan jika yang terpenting adalah
hati. Hitler bisa dibilang seorang pemikir, tapi tak punya hati. Kebijaksanaan ada
dalam berbagai sudut.
Untuk mencapai kebijaksanaan manusia bisa mendalami agama—karena
saya yakin seyakin-yakinnya setiap agama mengajarkan kebijaksanaan, tidak ada
agama yang mengajarkan kerusuhan di semesta ini—atau bisa berpikir melalui
prosesnya sendiri. Berpikir untuk menemukan kebijaksanaan itu dilakukan sebelum
agama berkembang di dunia, sehingga manusia kesulitan untuk menemukan
kebijaksanaan.
Tetapi, sekarang semua orang sudah mengenal agama. Hendaklah
manusia di muka bumi menciptakan kebajikan, kebijaksanaan, tak peduli dari suku
apapun, dari agama apapun, siapapun gurunya. Sekarang kebencian berkembang
pesat di negeri ini, bukti jika masih banyak orang yang tidak berpikir dan
tidak beragama.
*
Media sosial bisa dibilang bagaikan pedang bermata dua. Di satu
sisi mendekatkan manusia dan sebagai media silaturahmi, sedangkan di sisi lain
bisa digunakan untuk mengadu domba, menebar kebencian dan fitnah dengan
mudahnya.
Dulu saya seorang pengguna media sosial, seperti facebook
atau twitter, tapi kemudian saya berpikir, jika saya tetap bertahan di medsos,
saya akan ikut-ikutan menjadi penebar fitnah. Benar saja, saya terpancing
dengan berita-berita hoax, akhirnya berita-berita itu memancing emosi saya. Akhirnya
saya memutuskan untuk menutup facebook saya, dan Alhamdulillah setelah 3 bulan
atau lebih menutup facebook saya merasa hidup saya lebih tenang.
Saran saya, bagi anda yang mudah terpancing seperti saya
lebih baik segera menutup media sosial—atau jika ingin lebih baik segera blokir
teman yang bisa memancing emosi atau memiliki konten-konten provokasi. Karena
ujaran kebencian (hate speech) merupakan sebuah kejahatan serius sekarang.
Banyak dalang yang ingin menjerumuskan orang awam ke penjara
dengan berita provokasi, termasuk banyak media berita yang juga menampilkan
berita hoax dan kebencian. Banyak orang yang tak tahu apa-apa soal panggung
politik yang gemerlap oleh warna-warni kepalsuan harus masuk bui.
Sekarang, banyak orang yang harusnya menjadi panutan malah
menjadi penyebar kebencian itu sendiri. Sebutlah artis, tokoh masyarakat yang
dianggap berilmu tinggi hingga pejabat banyak yang menjadi provokator dan
pemecah belah. Kadang, kita mempunyai tokoh favorit, dan ketika tokoh favorit
kita menyebarkan nada-nada kebencian kita malah ikut-ikutan menyetujuinya.
Sebenarnya kita tidak tahu yang mana yang sebenarnya “benar”
dan siapa yang “salah”
Kita hanya bisa menduga-duga dengan pikiran dan logika yang
kita miliki
Kadang kebenaran itu malah sengaja dijual-belikan oleh
oknum-oknum tertentu, menimbulkan keraguan di masyarakat. “Kebenaran itu apa?”
Benar atau salah bisa ditemukan oleh diri kita sendiri
seiring bertambahnya usia, begitulah kata-kata ayah saya.
Akhirnya saya paham kenapa benar dan salah ini hanya bisa
ditemukan oleh diri kita sendiri, karena pada dasarnya hanya kita yang paham
mana yang menurut kita benar belum tentu sama menurut orang lain. Tapi semuanya
kembali pada pelajaran kebijaksanaan.
Dengan berpikir lebih mendalam, manusia bisa berpikir, bisa
lebih bijaksana. Manusia bisa tahu yang mana yang bisa bermanfaat bagi orang
lain dan mana yang bisa merugikan bagi diri dan orang lain. Semuanya kembali
pada pemikiran, jika manusia tidak bisa berpikir, manusia akan bertindak sesuai
dengan keinginan mereka, tanpa memikirkan dampak untuk semesta dan manusia.
Saya sadar, masyarakat Indonesia sebenarnya sedang dalam
masa perpindahan menuju kebijaksanaan. Karena kita akan menemukan kebenaran
setelah melakukan kesalahan. Jika masyarakat Indonesia sudah merasakan sakit
karena perbuatannya, jika rakyat Indonesia sudah merasakan perih karena
perbuatan manusia itu sendiri, maka masyarakat Indonesia bisa berpikir, apa
saja yang bisa dilakukan untuk kembali membenahi Indonesia.
Semua orang tak ada yang ingin selamanya dalam kesakitan,
maka manusia akan berusaha mencari jalan untuk mendapatkan ketentraman. Dalam masa
inilah manusia akan berpikir. Jadi, sebenarnya untuk menciptakan ketentraman
itu butuh rasa sakit yang mendalam, namun rasa sakit ini harus dirasakan oleh
hati dan pikiran, bukan tubuh.
Masyarakat Indonesia merasakan sakit yang mendalam dijajah
Belanda dan Jepang, oleh rasa sakit itu tumbuhlah rasa ingin tentram dan
merdeka. Akhirnya masyarakat Indonesia berjuang—berpikir dengan keras bagaimana
mencapai ketentraman itu.
Sekarang, pilihannya ada dua. Berpikir sekarang atau
menunggu rasa sakit itu tiba sebelum kita melakukan perubahan. Semuanya tergantung
pada masyarakat Indonesia itu sendiri. Jika tak mampu berpikir sekarang, tunggu
saja saat-saat rasa sakit itu datang memberikan pelajaran kebijaksanaan.
Well, tulisan ini cukup panjang. Namun tulisan ini hanyalah
opini dari saya, saya yakin pemikiran saya ini jauh berbeda dengan setiap
manusia di muka bumi, karena manusia pasti memiliki perbedaan persepsi dan cara
pandang. Untuk itu, tulisan ini bukan ajakan, bukan pula propaganda, ini
hanyalah isi kepala saya yang dikeluarkan dan disusun dengan kata-kata.
Bagi anda yang kesulitan untuk mengungkapkan isi hati, guru
saya pernah bilang “Untuk memahami orang lain, manusia harus memahami dirinya
sendiri. Menulislah, bicara dengan dirimu.”
Ciamis
21/7/17
apa buku ini dijual
BalasHapus