Basa Basi #8 : Kebebasan Sastra, Perbedaan, dan Konflik Kemanusiaan
“Menurut
Shaw (1972: 291) lisensia puitika dikatakan sebagai kebebasan seorang sastrawan
untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional, untuk
menhasilkan efek yang dikehendaki. Dengan kata lain lisensia puitika merupakan
kebebasan manipulasi kata oleh penyair demi menimbulkan efek tertentu dalam
karyanya dan terkadang menabrak kaiadah dasar berbahasa.
lisensia poetika yang menurut
kamus serapan bahasa asing versi Yus Badudu adalah kebebasan penyair dalam
menyusun puisi terhadap penyimpangan bahasa demi kepentingan irama dan rima.
Berdasarkan pendapat tersebut
maka penulis simpulkan bahwa lisensia puitika adalah surat izin menulis
puisi atau kebebasan seorang penulis dalam menghasilkan sebuah karya yang mana
penulis tersebut bebas menyusun puisi demi kepentingan rima dan irama. Maksud
bebas menulis puisi di sini adalah penulis boleh melakukan penyimpangan bahasa.”
Tulisan
tentang Lisensia Puitika ini berkaitan dengan opini saya di paling bawah yang
membahas kebebasan seorang sastrawan.
*
“Kita tidak boleh hanya melihat putih saja, kita pun harus
melihat hitam.”
Satu kalimat yang dikatakan oleh guru sejarah, ketika
menjelaskan betapa pentingnya saling menghormati kebudayaan. Seorang guru yang
baik, tentunya memberikan pelajaran hidup bagi murid-muridnya. Akhirnya,
bahasan guru sejarah ini cukup menarik minat saya.
Kita harus melihat kejahatan, untuk mengetahui lebih jauh
lagi kenapa kita harus menjauhi kejahatan, kita harus melihat tempat-tempat
pelacuran yang kumuh untuk mengetahui, kenapa pelacuran disebut sebagai
penyakit masyarakat. Tanpa melihat sisi buruk, manusia akan menganggap dirinya
paling benar, manusia akan selamanya berada dalam apa yang dia anggap benar.
Tanpa mengetahui kejahatan, manusia takkan bisa membedakan
mana sisi baik-sisi buruk. Kemudian dalam sesi sosiologi, guru sosiologi
memberikan pelajaran kembali—yang menurut saya masih sama seperti guru sejarah—beliau
berkata jika kita perlu terjun langsung kepada kejahatan, untuk mengamati,
bukan berarti harus ikut-ikutan. Dengan mengamati perilaku manusia, kita bisa
membedakan dan akhirnya bisa mencapai sebuah fase kedewasaan.
*
Banyak orang merasa dialah paling benar, merasa kelompoknya
yang paling benar, merasa sukunya yang paling hebat. Banyak juga yang saling
menjelek-jelekkan, saling hina, berdebat tanpa memakai logika, saling tuduh,
fitnah disana-sini. Secara tidak langsung, itu menggambarkan bahwa apa yang
selama ini dipelajari masyarakat Indonesia di sekolah sama sekali tidak masuk
ke dalam kepalanya.
Saling menghormati, dua kata yang makin lama makin dianggap
guyonan saja, makin dianggap iklan lewat, atau bahkan dianggap slogan tak
penting.
Banyak kejadian-kejadian yang berhubungan dengan hal ini
akhir-akhir ini. Sebut saja kasus pengeroyokan Alm. Rico Andrean oleh sesama
supporter Persib Bandung, awalnya mereka mengira Alm. Rico adalah supporter
lawan mereka, yaitu Jak Mania, sehingga mereka mengeroyoknya tanpa ampun. Jujur,
untuk video yang menampilkan pengeroyokan itu saya bergidik ngeri, ketika Rico
hendak pergi ke atas dan mengaku sebagai sesama Bobotoh, dia langsung ditarik
lagi ke bawah, diinjak dan dipukuli.
Sayangnya, mereka salah sasaran, yang mereka pukuli justru
kawannya sendiri. Akhirnya tersiar kabar Rico meninggal di RS karena sakit yang
diderita akibat pengeroyokan itu cukup parah. Minggu-minggu ini Jak dan Bobotoh
berduka, saling rangkul, menyerukan perdamaian.
Akhirnya apa yang saya takutkan terjadi juga, dalam artikel
sebelumnya saya telah mengatakan jika manusia ingin menjadi bijaksana, harus
melewati rasa sakit mendalam agar semuanya bisa paham dan tak mengulangi hal
yang menimbulkan sakit itu. Semoga, Jak dan Bobotoh bisa bersatu, walau untuk
mendamaikan kedua pihak ini bagaikan mendamaikan Pandawa dan Kurawa, sama-sama
tinggal di Pulau yang sama dan berdekatan, namun saling bermusuhan.
Hal ini bisa dijadikan contoh kenapa kita harus mengambil
tempat untuk menjadi bijaksana. Semua orang bisa menjadi bijak, tak perlu
menjadi ulama atau public figure, seorang preman maupun kepala rampok pun bisa
menjadi bijaksana jika dia menginginkannya.
Bijaksana, bisa memilih-milih yang mana yang bisa
menyengsarakan diri, menyengsarakan lingkungan, atau orang lain. Bisa juga
mengetahui yang mana yang bagus dan berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Orang
bijaksana tak perlu punya gelar seabrek di depan dan belakang namanya, orang
bijak perlu seabrek rasa di dalam hatinya dan seabrek pikiran di dalam
kepalanya.
Manusia tak perlu gelar sarjana untuk mencapai tingkat
kemanusiaannya, manusia hanya perlu berfilsafat, merenungi semua yang ada di
dalam hidup ini. Lihat saja Plato dan Socrates, keduanya bukan sarjana
sosiologi, sastra atau sarjana hukum, tapi mereka adalah manusia. Lihat orang-orang
suci dalam berbagai agama, para Buddha, pendeta, ulama. Banyak dari mereka yang
tidak melalui pendidikan formal yang tinggi, tapi mereka tahu dedikasi mereka
untuk alam semesta ini. Memanusiakan manusia dan menjadi manusia seutuhnya.
Kita bukan orang barbar yang berburu untuk mendapatkan
surga, kita bukan orang purba yang saling bunuh gara-gara rebutan makanan, kita
bukan anjing yang berzina di depan umum, dan kita juga bukan lebah pekerja,
setiap hari hampir mati, sekarat tertindas rutinitas.
Kita adalah manusia, manusia seutuhnya.
Kita mempunyai akal, itulah kenapa kita harus berpikir
rasional. Kita punya rasa, itu kenapa kita perlu mengasihani mereka yang
tertindas. Kita juga butuh hiburan, hidup di dunia bukan melulu soal kerja,
hidup di dunia perlu sesuatu yang menyenangkan batin kita.
Banyak orang-orang kaya tetapi akhirnya mati bunuh diri
karena stress, setiap hari sesak oleh pekerjaan. Kita perlu menyegarkan pikiran
dan tubuh. Banyak juga orang-orang terpelajar bunuh diri dengan bom di tubuh
demi mendapatkan surga. Situ waras?
*
“Tidak perlu orang suku A bicara kalau budaya kami yang
paling bagus, tak perlu suku B bilang kalau kamilah suku paling benar, kita tak
bisa menilai untuk hal-hal seperti itu. Karena apa yang kita anggap benar
disini, di tempat lain sudah tak berlaku lagi.”
Lagi-lagi itu kata guru sejarah.
Beliau menjelaskan, apa yang kita yakini benar belum tentu
benar menurut orang lain. Hal-hal yang menimbulkan bencana besar di dunia ini
ya gara-gara itulah, kemudian guru saya itu menjelaskan congkaknya Hitler yang
bilang kalau dia dan antek-anteknya paling kuat hingga meletuslah perang dunia.
Dengan secangkir kopi di meja, akhirnya saya bisa menjadikan
wejangan-wejangan itu menjadi versi saya sendiri.
Kebenaran itu tidak universal, tidak ada kebenaran absolut,
karena apa yang kita sebut benar tidak bisa semua orang harus bilang itu benar.
Jika orang di timur bilang makan babi itu benar, maka orang di barat Indonesia
tidak akan bilang kalau itu benar, karena perbedaan kultur. Jika orang di timur
tengah bilang bercadar itu benar, maka orang di pedalaman—yang masih memegang
erat budayanya—akan bilang itu salah, karena mereka mempunyai aturan sendiri.
Benar atau salah itu semua hanyalah penilaian manusia, kita
hanya bisa menduga, oh yang itu bagus bagi saya, artinya itu benar. Oh itu
jelek buat saya, berarti itu salah. Selain berspekulasi, manusia bisa apa? Kita
bahkan tak pernah menemukan kebenaran sejak zaman dahulu kala.
Aidit bilang kalau komunisme itu benar, tapi para pendiri
bangsa dengan tegas menolak jika komunisme itu salah. Sedangkan, di Soviet apa
yang kita sebut salah disana dianggap sesuatu yang benar, dianggap sebagai hal
yang sudah menjadi pondasi bangsa. Semuanya kembali pada kultur masing-masing
daerah. Indonesia sudah pas dengan Pancasila-nya, tak perlu ada perubahan
disana-sini dengan syariat Islam atau dengan komunisme, kita Indonesia,
Pancasila dirumuskan sejak dahulu kala.
Bayangkan, tanpa Pancasila yang seperti sekarang ini, jika
dulu orang ngotot ingin menggunakan Piagam Jakarta, orang di timur tidak akan
ikut dengan NKRI, karena bagi mereka adanya hal agama dalam sebuah pondasi
negara merupakan diskriminasi. Akhirnya diambil sebuah jalan, jalan
kemanusiaan.
Didasarkan atas kemanusiaan, akhirnya para pendiri bangsa
bisa merasakan, manusia itu berbeda-beda, akhirnya mereka bisa menetapkan
pancasila. Dan kita saat ini hanya tinggal menikmati Pancasila, kita perlu
menguatkannya lebih lanjut, kita perlu menjaga dan membenamkannya di hati
masing-masing. Jika Pancasila saja belum hafal sampai ke seluk-beluknya, kenapa
ingin berganti pondasi negara?
Ada sebuah video beredar di internet, mahasiswa salah satu
universitas menyerukan berdirinya Negara Islam di Indonesia.
Mereka berpikir menentukan pondasi negara bisa segampang
itu. Mereka hanya berpikir apa yang baik bagi mereka. Kembali pada awal, mereka
hanya melihat diri mereka sendiri, tidak melihat hal-hal lain di luar sana,
sehingga yang mereka ketahui hanyalah dirinya sendiri, padahal di luar sana
perlu diketahui, orang tidak akan begitu saja setuju dengan hal-hal—apalagi yang
berbau SARA—yang akan membuat mereka merasa jadi minoritas.
Termasuk saya sendiri tidak setuju, saat ini banyak orang
bicara disana-sini soal bahaya asing di Indonesia, tetapi mereka malah
menyerukan berdiri sebuah pondasi negara yang akan menggeser pancasila, artinya
kan mereka malah akan mengasingkan orang di negeri sendiri. Banyak yang akan
keluar, rakyat Timur saya yakin tidak akan seratus persen mendukung hal itu—apalagi
sudah ada pemberontakan ya di ujung timur kita. Jika hal itu sampai terjadi,
wilayah mana saja yang akan menjadi bagian Indonesia?
Bahkan, tanpa berdiri pun negara dengan dasar seperti itu,
hanya isunya saja sudah menimbulkan konflik dimana-mana. Ada yang sampai kena
bacok hingga terbunuh gara-gara hal seperti ini. Ini hanya isu, tidak sampai
berdiri. Bayangkan jika sampai berdiri, pergolakan macam apa yang akan kita
hadapi?
Siapkah kita melawan bangsa kita sendiri?
Relakah kita memenggal kepala saudara-saudara setanah air?
Think again.
*
Well—saya pernah mendengar, atau bahkan sering orang-orang
ditangkap karena mengkritisi pemerintah. Bahkan sampai dipenjara berpuluh tahun
hanya gara-gara satu paragraf atau satu kalimat. Tapi coba bandingkan,
sastrawan mana yang pernah dipenjara gara-gara novelnya menyinggung
pemerintahan. Kalaupun ada, itu terjadi pada masa Rendra--atau mungkin kita ingat kasus Wiji Tukul. Beberapa waktu lalu Saut Situmorang dianggap mencemarkan nama baik dalam kegiatan sastranya, tapi coba tebak, apa yang terjadi?
Banyak orang membela Saut Situmorang karena dia sastrawan, dia bicara dalam konteks sastra!
Anda mungkin pernah mendengar novel Tere Liye dengan judul
Negeri Para Bedebah, sebuah novel tentang bobroknya ekonomi pemerintahan,
sebuah novel yang mengisahkan bagaimana lemahnya hukum terhadap uang.
Atau secara lebih eksplisit, ada sebuah cerita pendek dengan
judul Ziarah
Para Pembunuh karya dari Triyanto Triwikromo, yang tampaknya pengarang
menyinggung-nyinggung bagi ‘mereka’ yang mencari surga dengan membunuh—u know
lah ada banyak kelompok radikal yang berharap bisa mendapatkan surga dengan
berperang, dan secara lebih khusus cerpen ini membahas persitiwa di Desember
2016.
Ada juga sebuah cerpen dengan judul Tentang
Wanita Yang Menanti Kebangkitan Luiz Ezpinosa, cerpen ini juga diterbitkan
saat sedang panas-panasnya peristiwa besar di ibukota, kala itu membuat banyak
orang terlibat, baik orang awam dan orang ahli.
Tapi, karya-karya diatas tidak tersentuh oleh hukum. Padahal
cerpen itu terbit di media-media besar, taruhlah pasti setiap pejabat bisa
membaca dengan leluasa, setiap orang yang dimaksud bisa dengan leluasanya
membaca koran, menemukan cerpen pedas di koran yang ia baca sebelum berangkat
kerja. Tak ada dari orang-orang diatas yang terjerat kasus hukum.
Kenapa?
Ini adalah hal yang paling saya impikan, kenapa saya ingin
menjadi sastrawan. Sebuah alasan kenapa saya ngotot ingin jadi sastrawan dan
menulis ketika orang bicara mereka hendak jadi dokter, jadi guru atau jadi
pejabat.
H.B Jassin, Paus Sastra Indonesia pernah bilang “Pendapat
Seseorang Tidak Bisa Menghakimi Imajinasi”
Jadi, sastra ya sastra!
Bayangkan juga, Seno Gumira menulis sebuah cerpen yang
betul-betul mengancam karirnya sebagai jurnalis. Di tahun-tahun orde baru,
dimana waktu itu terjadi insiden Timor Timur dan pada masa pembantaian etnis
China, Seno menulis cerpen yang menghajar habis-habisan pemerintahan dan rakyat
waktu itu.
Anda bisa membaca cerpen Clara Atawa
Wanita Yang Diperkosa karya seno pada waktu pembantaian etnis China dahulu.
Seno menuliskan tentang pemerintah yang bahkan tanpa daya dan cenderung memihak
pada rakyat untuk menghabisi etnis China secara gamblang disana, tapi ia tak
pernah kena jerat hukum.
Banyak juga karya-karya Seno seperti Saksi Mata, yang
menghabisi habis-habisan pemerintahan waktu itu, tapi Seno tak dipolisikan. Tapi
coba anda lihat, rakyat biasa tak bisa dengan leluasa bicara seperti para
sastrawan. Kenapa?
Karena sastrawan menuliskan cerpen fiksi itu hanya mereka
yang mengetahui artinya. Tak bisa seseorang menghakimi karya orang lain—padahal
dia sendiri cuma bisa menduga, karya sastra itu hanya sang pengarang dan Tuhan
yang tahu artinya.
Bahkan saya pernah mendengar Sapardi membahas
sajak-sajaknya, semua makna dalam sajaknya itu diserahkan penuh pada pembaca. Tapi
pembaca hanya bisa beropini, tidak ada pembaca—bahkan kritikus sastra
mencak-mencak dan berang bicara kalau tulisan Sapardi itu sampah, karena semua
tulisannya milik pengarang itu sendiri.
*
Sastra itu kompleks, berbelit-belit, aneh, dan tak bisa
diartikan sembarangan. Beberapa alasan kenapa saya suka dengan sastra. Setiap orang
bisa membaca karya ilmiah, kemudian menyimpulkan apa yang terdapat di dalam
artikel itu, tapi sastra, tak sembarangan orang bisa mengartikannya.
Kritikus sastra hanya bisa mengkritik dan memandang sastra
menurut pandangannya sendiri, tetapi sebenarnya tak ada yang tahu tentang
kebenarannya. Bisa saja kita bilang sebuah karya itu tentang perang, tetapi
sebenarnya itu adalah karya tentang romantisme, karena kita hanya bisa
berprasangka. Lalu, apakah hukum akan memproses prasangka?
Ada juga sastrawan yang menggunakan bahasa-bahasa yang bisa
disebut absurd (biasanya ditemukan dalam puisi dan cerpen kontemporer) seperti
kata-kata “Bangsat!” “Goblok!” “Asu!”
“Menurut
Shaw (1972: 291) lisensia puitika dikatakan sebagai kebebasan seorang sastrawan
untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional, untuk
menhasilkan efek yang dikehendaki. Dengan kata lain lisensia puitika merupakan
kebebasan manipulasi kata oleh penyair demi menimbulkan efek tertentu dalam
karyanya dan terkadang menabrak kaiadah dasar berbahasa.
lisensia poetika yang menurut
kamus serapan bahasa asing versi Yus Badudu adalah kebebasan penyair dalam
menyusun puisi terhadap penyimpangan bahasa demi kepentingan irama dan rima.
Berdasarkan pendapat tersebut
maka penulis simpulkan bahwa lisensia puitika adalah surat izin menulis
puisi atau kebebasan seorang penulis dalam menghasilkan sebuah karya yang mana
penulis tersebut bebas menyusun puisi demi kepentingan rima dan irama. Maksud
bebas menulis puisi di sini adalah penulis boleh melakukan penyimpangan bahasa.”
Dengan
lisensi puitika ini, seorang sastrawan bisa melakukan penyimpangan bahasa,
memasukkan hal-hal absurd ke dalam karyanya. Kalau tidak salah saya pernah
membaca buku puisi O Amuk Kapak karya Sutardi Calzoum Bachri. Jika anda ingin
mengetahui contoh-contoh puisi dengan tipografi dan rasa absurd paling kental,
anda bisa membaca O Amuk Kapak.
Banyak
kata-kata yang ‘disimpangkan’ demi kepentingan puisi. Tapi kembali pada
pembahasan saya diatas, semua adalah hak seorang penulis, seorang pengarang
dalam menyusun karya-karyanya. Juga, kita kembali membaca kutipan H.B Jassin “Imajinasi
tidak dapat dihakimi pendapat seseorang”
*
Akhirnya,
sampai ke bagian penutup. Bagi anda yang kebetulan tersesat ke blog ini,
kemudian mendapati tulisan carut-marut ini, saya mohon maaf sebesar-besarnya
karena ini hanyalah opini. Saya akan mengutip kata-kata Sudjiwo Tedjo “Baca
seperti menonton pagelaran wayang. Anda duduk menonton layar putih, kemudian
ada dalang membawakan cerita dengan sok tahunya menasehati, kemudian berakhir
dengan layar putih kembali.”
Saya
hanya mengeluarkan apa yang saya ingin katakan. Saya yakin, kita tidak
sependapat. Karena manusia pasti memiliki pemikiran yang berbeda. Tapi, apapun
pemikiran anda, seberapa jauh pun pemikiran saya dan anda, jadikan semua ini
sebagai bumbu kehidupan.
Ciamis
2/8/17
Komentar
Posting Komentar