Basa Basi #9 : Bicara Sok Tahu Soal Hidup
Ada manusia yang pesimis menyikapi hidup.
Saya hanya tertawa.
Ada yang mati bunuh diri.
Saya tertawa lebih keras.
Ada yang saling bentrok gara-gara beda pendapat.
Saya tertawa berguling-guling.
*
Sebelum Membaca, mari berdendang, mendengarkan lagu-lagu untuk sebuah malam kelam yang anggun
*
Hidup memang mengasyikan, kadang menyebalkan. Tergantung bagaimana
manusia menyikapinya. Ada yang melahapnya seperti memakan kue nastar, ada yang
meneguknya sedikit-sedikit seperti meneguk secangkir kopi, ada juga yang
menelannya dengan penuh rasa sakit seperti para pemain jaranan sedang makan
kaca tapi gagal.
Saya termasuk seorang peneguk kopi. Menikmati secangkir
kehidupan dengan penuh rasa santai, menghirup aroma hidup yang kian lama kiat
kuat. Mungkin juga seperti perokok, menghisap sedikit demi sedikit tembakau. Kadang
juga seperti menghisap rokok filter, tak semuanya saya hisap, ada yang dibuang
lewat filter itu.
Banyak orang di sekitar saya menyikapi hidup seperti hidup
ini penuh tantangan. Mereka menganggap jika kehidupan adalah tantangan yang
harus mereka hadapi. Sah-sah saja, karena orang pasti akan lebih giat dan
semangat jika ditantang dan hidup lebih semangat pula berkat tantangan itu.
Tapi sebenarnya semua hanya soal pemikiran. Bagaimana kita
menyikapi hidup akan berimbas pada kehidupan kita sendiri. Jika kita menghadapi
dengan pesimis, hal-hal sepele bahkan akan terasa seperti bencana besar. Jika kita
menghadapinya terlalu optimis, bahaya kadang kita terjang hingga mengakibatkan
dropnya mental karena kita menganggap berbagai hal remeh.
Saya sendiri menganggap hidup ini adalah sebuah proses
manusia untuk menjadi manusia seutuhnya. Manusia perlu mengalami berbagai hal
dalam hidupnya, pengalaman adalah guru yang terbaik. Banyak orang yang hanya
ingin berada dalam kebaikan terus menerus, sehingga seseorang tak bisa mengenal
kejahatan.
Ada pula yang hidup dalam kejahatan, hingga buta pada
kebaikan. Tapi tidak ada manusia normal yang hidup selamanya dalam kebaikan
maupun kejahatan. Semua orang pasti pernah mengalami hitam dan putih. Pemahaman
manusia lah yang menentukan, lebih banyak mana antara hitam dan putih dalam
kehidupan seorang manusia.
Tidak ada bajingan sejati di dunia ini, sejahat apapun
manusia, pasti pernah melakukan kebajikan, walau itu tak pernah ia sadari. Seorang
bajingan yang benar-benar durjana hanya ada di dalam negeri dongeng, di dunia
ini hal itu tak pernah ada.
Seorang pembunuh berantai pun bisa melakukan kebajikan. Tanpa
adanya pembunuh di dunia ini, koran takkan laku, tak akan ada berita heboh di
headline, televisi-televisi akan membosankan, pengacara menganggur mengurusi
tugas-tugas biasa. Hal-hal buruk itu nyatanya bermanfaat karena semua hal di
dunia ini saling terhubung.
Dengan adanya aksi pemberontakan, sebuah negara bisa lebih
memperkuat pasukan tempurnya. Dengan adanya inflasi, suatu negara bisa
mempelajari bagaimana sebaiknya mereka mengelola finansial. Berkat adanya salah
ucap dari tokoh publik, orang akan lebih mengerti bagaimana mereka seharusnya
bicara di depan umum.
Dengan banyaknya orang stress yang bunuh diri setiap
harinya, bisa mengurangi populasi manusia yang kian membuat bumi ini sempit, hell
yeah!
*
Tidak ada orang yang selamanya bijak. Seorang tokoh suci
mungkin pernah mengakibatkan seekor semut mati sesak karena kepalanya terinjak.
Seorang pemuka agama tanpa sadar mungkin telah membuat hati seseorang sakit
karena salah ucap.
Baik dan buruk hanyalah label. Begitu juga dengan kebenaran.
Kita tak pernah tahu soal kebenaran, dan mungkin takkan pernah paham kebenaran
apakah yang paling universal dan bisa diakui benar oleh setiap kepala manusia
di muka bumi. Karena hal itu, manusia mulai saling mengukuhkan diri bahwa
merekalah yang paling benar, banyak orang yang berteriak jika orang selain
dirinya selalu salah.
Kebenaran setiap orang itu tidak sama, kita tidak bisa
memaksakan kehendak hanya untuk satu kata : ‘kebenaran’. Jalani hidup
sebagaimana mestinya. Bahkan manusia tak perlu mengenal kebenaran, manusia
hanya perlu mengenal kebijaksanaan, manusia perlu untuk menjadi manusia, dengan
hal itu mereka bisa hidup berdampingan.
Banyak manusia yang sukses tanpa jadi sarjana, banyak orang
yang lebih sadar hukum dibanding mereka yang belajar hukum beberapa belas
tahun. Begitu pula dengan kebenaran, orang tak perlu susah payah menemukan
kebenaran sejati, karena kebenaran sejati itu tidak ada.
Orang hanya perlu untuk menemukan dirinya sendiri. Saya pernah
menonton lakon wayang Dewa Ruci, sebuah lakon dimana Bima diperintahkan Bambang
Kumbayana untuk menemukan benda—lupa air mustika apa—ke sebuah gunung. Akhirnya
Bima menurut, dia pergi ke gunung, bergulat dengan raksasa, tapi tak menemukan
benda yang dimaksud. Padahal tugas itu hanya siasat Dorna untuk melenyapkan
Bima agar ia tidak bisa ikut serta dalam Bharatayudha.
Akhirnya Bima kembali, dia kemudian disuruh pergi ke
samudera. Di samudera ia juga tak bisa menemukan mustika yang dimaksud, ia
bergulat dengan naga, yang kemudian ia bunuh dengan kuku pancanaka. Dalam samudera
itu dia diajarkan oleh seorang Dewa mungil, yang kurang lebih isi ajarannya itu
mengatakan, mustika yang dimaksud ada di dalam diri Bima itu sendiri.
Jadi, manusia perlu untuk menemukan dirinya sendiri. Tapi
perjuangan menemukan diri sendiri itu tidak mudah, karena banyak orang yang
kehilangan jati dirinya. Banyak orang yang hanya manggut-manggut disuapi
pikiran orang lain, sementara dia sendiri tidak berpikir apa-apa. Banyak orang
disetir di zaman ini, ada orang yang terlihat suci, berbisik. Ada orang yang
terang-terangan jahat, berbisik.
Manusia sejatinya tidak ada yang salah dan benar, semua
diciptakan sama, kosong. Akhirnya waktu berjalan, mengecap berbagai macam
pengalaman, untuk akhirnya manusia kembali pada jati dirinya sendiri : kosong.
*
Orang yang berpedoman pada kebijaksanaan tahu, mana yang
bisa berguna bagi dirinya, lingkungan dan orang lain. Sementara orang yang
berpijak pada kebenaran, hanya melihat hal yang benar baginya sendiri, tak
peduli apakah orang lain susah atau senang. Tidak ada kebenaran yang netral,
kebenaran itu memihak, tergantung kebenaran mana yang diucapkan oleh mulut
manusia.
Lebih baik kebenaran itu dihapuskan saja, agar tidak ada
lagi orang-orang membawa kebenaran dengan sembarangan. Ada yang membunuh,
kemudian bilang kalau hal itu benar untuk kelompok kami. Ada yang memulai
perang, kemudian bilang kalau hal itu merupakan kebenaran menurut leluhur kami.
Banyak sekali kebenaran-kebenaran yang diucapkan oleh mulut manusia.
Kebenaran menimbulkan perselisihan. Setiap orang ngotot
bilang kalau kami ini paling benar, kalau apa yang kami lakukan adalah
kebenaran sejati sedangkan orang lain adalah sebuah kesalahan begitu pula
dengan kelakuan-kelakuannya. Akhirnya terjadilah perang, adu mulut, debat kusir
hingga pembunuhan.
Jika terus seperti ini, apa guna kebenaran muncul di muka
bumi ini?
*
Manusia perlu menikmati kehidupan, apapun itu. Sepahit apapun
tetap dinikmati. Jangan pernah pesimis, hal-hal manis pun bahkan tak kita
syukuri, semuanya lewat dan kita menganggap tak pernah ada kesenangan hinggap
di dalam hidup kita ini.
Manusia boleh minum minuman keras, agar mereka tahu apa
gunanya dan dampaknya. Manusia bisa saja merokok, agar mereka tahu apa yang
akan terjadi setelahnya. Jadi, manusia sebenarnya tidak ada yang salah,
semuanya sedang dalam proses. Untuk menjadi apa yang kita sebut ‘baik’ maka
orang perlu berbuat buruk, agar ia bisa sadar apa yang telah dilakukannya.
*
Manusia memiliki pemikiran yang berbeda-beda. Hal itu
menunjukkan jika kita adalah manusia yang normal. Perbedaan pemikiran ini
adalah sebuah harmoni. Jika manusia memiliki pemikiran yang sama, apakah yang
akan terjadi di atas muka bumi ini?
Tidak, tidak akan ada kedamaian terjadi.
Semuanya akan monoton. Bayangkan saja sendiri, bagaimana
jadinya jika semua orang baik, tak akan ada dakwah, karena memang tak ada yang
perlu diceramahi.
Tapi dengan perbedaan pemikiran ini bukan berarti kita harus
saling bersinggungan, saling menyalahkan, saling berargumen, kemudian menjadi
arogan, menganggap orang lain adalah sumber dari segala kejahatan—dan banyak
hal lainnya. Kita harus saling berdampingan.
Tidak ada lagi perselisihan seperti itu, kita ini manusia! Gunakan
akal sehat!
Kita harus sama-sama merangkul, rangkul mereka yang kita
anggap sebagai sampah masyarakat. Orang yang kita anggap jahat hanyalah korban
pengalaman, mereka perlu dirangkul, bukan dicampakkan. Kita perlu untuk saling
rangkul.
Tak peduli apakah mereka orang Amerika, orang Yahudi, orang
Nasrani, Islam, Konghucu, orang dari Jawa, Papua, Sumatera, atau bahkan
keturunan Hitler. Kita perlu untuk merangkul mereka. Kita punya hati nurani, mereka
juga punya hati. Kalaupun mereka masih tetap tak mau bersahabat, taka pa, toh
kita sudah berusaha menjadi bersahabat.
Saya tidak memusuhi Amerika, Malaysia, Yahudi, Nasrani,
Israel, Palestina, Jerman, penyembah setan sekalipun. Tak ada yang perlu
dibenci di dunia ini selain diri kita sendiri, sumber segala kebencian ada di
dalam diri kita sendiri, jadi tak ada yang patut dibenci selain diri kita
sendiri, tenggelamkan dalam-dalam rasa itu.
Segala prasangka berasal dari dalam diri kita sendiri. Tenggelamkan
itu, ujaran kebencian adalah hal paling bodoh di dunia ini. Jangan merasa
paling benar, tidak ada benar dan salah di atas muka bumi ini. Benar dan salah
ada di dalam kepala kita sendiri.
*
Well, semua ini hanyalah opini saya pribadi. Tidak perlu
dicerna, karena ini hanyalah pemikiran saya. Tidak ada yang perlu dipelajari
dari tulisan ini, kita perlu belajar dari apa yang kita lakukan. Tulisan ini
hanyalah ekstrak dari secangkir kopi dan dinginnya malam jumat.
Bagi anda yang tidak sependapat, jangan pernah mau
mendengarkan kata-kata saya. Ikuti pikiran anda sendiri, pikirkan apa yang ada
dalam kepala anda. Jangan pernah mau mengikuti pikiran orang lain, entah itu
pikiran saya ataupun pikiran siapapun.
Semua orang punya pikiran sendiri-sendiri. Kembangkan itu. Hantam
dunia ini, jangan mau disetir dan dicuci otak oleh orang lain, kita punya
kepala sendiri. Tidak perlu benci apa yang dibenci orang lain, tak perlu suka
dengan apa yang orang lain suka.
Kata orang, masa remaja adalah masa dimana kita ingin
memberontak dan memiliki gaya hidup sendiri. Itu yang saya rasakan sekarang. Jika
orang lain mempunyai gayanya sendiri—berpakaian serba hitam, telinga memakai
anting-anting, rambut merah menyala dan motor dengan suara memekakkan telinga,
maka saya memberontak dengan cara lain.
Saya memberontak aturan-aturan dalam berpikir. Saya menghilangkan
segala norma yang perlu diperhatikan saat manusia berpikir, saya memikirkan
apapun yang tabu, saya melanggar hak-hak manusia untuk berpikir. Saya ingin
keluar dimana manusia harus dibatasi pikirannya.
Saya ingin keluar dari zona dimana kita harus menuruti orang
lain, suka dengan apa yang orang lain sukai, kemudian bicara seperti pemikiran
orang lain. Saya berontak! Saya punya pikiran sendiri, akan saya gunakan ini
seperti kawan-kawan saya menggunakan motor mereka. Jika kawan-kawan saya
membuat motor mereka sebagai fasilitas untuk menunjukkan pada dunia bahwa
mereka punya gaya sendiri, saya menggunakan pikiran saya sebagai fasilitas yang
sama.
Saya punya gaya sendiri!
Karena saya yakin, tidak ada plagiaters yang sukses, orang
perlu punya gaya sendiri. Se-kontroversial apapun itu. Sebut saja Hitler,
Nietzsche dan banyak orang lain sukses dengan gaya mereka sendiri. Temukan gaya
anda sendiri.
3/8/17
Ciamis,
Dibawah keremangan
malam, secangkir kopi tersaji di atas meja.
Komentar
Posting Komentar