Cinta di Malam Itu - Azi Satria & Esti Osela | Cerpen

Cinta di Malam Itu

oleh 

Azi Satria

&

Esti Osela




Tengah malam lewat sudah. Jalanan masih macet seperti biasanya, dimana-mana orang tergesa untuk segera pergi dan lari dari kenyataan. Kerlap-kerlip cahaya lampu tak bisa menyembunyikan suramnya kota ini, kebobrokannya tak bisa ditutup-tutupi.

 Aku duduk di taman, menikmati sebatang rokok filter. Kuhabiskan malam ini untuk membaca serial klasik dari H.P Lovecraft. Sejak jam tujuh malam aku berada disini, selama beberapa saat lamanya tenggelam dalam dunia cerita.

Ketika aku menyadari jam sudah menunjukkan pukul setengah satu malam, seorang gadis sudah duduk di sebelahku, tersenyum manis dan akhirnya menjabat tanganku.

“Esti.”

Ucapnya singkat. Aku masih bisa menatap rambutnya yang tergerai panjang, matanya yang keabu-abuan, dan senyumannya untuk sesaat.

*

Dengan kepala dipenuhi kebingungan, aku terbangun saat cahaya matahari menerobos masuk ke dalam kamarku. Di sebelahku tergeletak buku Call of Cthulhu yang tadi malam kubaca di taman. Seketika pula aku menyadari kalau usai pertemuanku dengan gadis yang tak dikenal itu tak bisa kuingat apa-apa. 
*

Pada suatu malam di bulan Agustus, aku mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke sebuah kafe di luar kota. Perjalananku ke kafe ini bukan cuma untuk main-main, tapi sebetulnya aku ingin merasakan segarnya kehidupan di luar kota setelah berkutat dengan macet dan polusi di kota.

Setelah memesan satu gelas Americano, aku mengeluarkan buku, kemudian menikmati malam yang tenang. Kafe pun tampak sepi, hanya terdapat beberapa orang saja, seorang mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas dan satu orang yang setengah tua.

Ketika aku sedang asyik-asyiknya membaca novel Olenka karya Budi Darma, sebuah teguran membuatku tersadar. Seorang gadis dengan senyum manisnya sudah duduk di hadapanku, mengingatkanku pada sebuah malam di taman kota.

“Esti,” katanya menjabat tanganku.

“Kau yang malam itu di taman?”

“Nah.. iya! Rupanya kau masih ingat. Kupikir takkan ingat, kau langsung mabuk waktu itu, seorang kawan katanya akan membawamu pulang.”

Aku mengangguk.

“Kuliah dimana?” tanya Esti.

Aku tertawa kecil, dari dulu aku sering disangka sebagai anak kuliahan.

“Nggak kuliah.”

“Terus?”

“Jadi kuli tinta, kau sendiri?”

“Masih kuliah.”

Aku mengangguk. Esti pesan cappuccino. Begitulah pertemuan singkat kami pada sebuah malam. Semuanya berjalan sehangat cappuccino, berbaur menjadi satu dalam satu cangkir yang sama.

“Suka baca?” tanya dia.

“Ya, beberapa buku aku masih suka mengoleksinya.”

“Di zaman ini, susah untuk menemukan manusia yang masih sempat membaca buku.”

“Ya, semuanya serba aneh, kadang seperti kita hidup dalam zaman purba. Dimana-mana hukum rimba berlaku, dia yang kuat, dia yang menang.”

Esti menatapku dengan tatapan yang bahkan tak bisa kujelaskan. Terkadang aku ingin seperti Budi Darma, memperlakukan gadis di hadapanku layaknya sebuah peta. Malam semakin larut, sedangkan aku masih tak bisa berhenti berbicara dengannya.

Esti bicara tentang segalanya, teori Nietzsche, Sartre, hingga membicarakan lagu-lagu klasik dan Mozart. Aku tak bisa mengelak dari pertanyaan-pertanyaannya, karena sebaik apapun hal yang aku ketahui, dia lebih mengetahuinya.

“Kau tahu, aku ingin jadi Rahwana.” Aku berkata.

“Aku ingin jadi Sinta,” jawabnya sambil tersenyum.

“Dalam pewayangan Jawa, Rahwana adalah antagonis, seorang raksasa yang konon begitu durjana. Sebenarnya durjana mana Rahwana dibandingkan dengan Rama? Ketika Sinta pulang, Rama begitu curiga, mempertanyakan cinta suci Sinta hingga Sinta diinterogasi sedemikian rupa.”

“Itu kenapa aku ingin jadi Sinta,” jawabnya pendek.

*

“Badai disini!”

“Tak apa, aku bersamamu”

“Disini hujan petir!”

“Aku disampingmu.”

*

Hujan mengguyur kota.

Air menggenang di jalanan, dimana-mana orang tergesa untuk menghindari banjir. Pagi-pagi sekali aku sudah duduk di sudut kafe, menggenggam tangan Esti, membicarakan hal-hal yang bahkan tak bisa manusia nalar dengan logika manapun.

“Kita adalah bagian dari peradaban, bergerak bersama mengikuti irama zaman,” Esti berkata lirih.
Hujan semakin deras.

Aku ingin berdua denganmu
Di antara daun gugur

Musik mengalun dari apartemen sebelah.

*
“Aku takut!”

“Aku disini.”

“Aku tak bisa!”

“Aku disini.”

*

Badai mengganas. Manusia lari dari raganya sendiri, ada yang terbang ke angkasa luas, ada yang menyelam ke dasar laut, ada yang hilang tersapu angin. Dimana-mana manusia menjerit ketakutan, kadang tak bisa dibedakan dengan jerit kematian.

Di bawah langit yang kelam nan mencekam, dua orang manusia tampak berjalan.
Jam pasir terjatuh dari atas langit, darah terciprat. Ledakan terdengar, suara tangisan terdengar, manusia menjadi kalap. Tapi semua sadar, itu bukan fatamorgana. Setidaknya, sampai hari esok.

**

Di sebuah taman yang indah
Tampak seorang pemuda tanpa arah
Ku dekati, sambil tersenyum dengan pipi memerah
Ku katakan, bangun dan sadarlah

Ku datangi kau di sebuah tempat yang hangat
Ku fikir, kau tak ingat dengan senyum manisku
Tapi ternyata, senyuman manis ini tak hilang dari ingatanmu

Malam itu, kita saling berbincang
Bertukar fikiran, dan saling mentertawakan
Perasaan nyaman, tumbuh saat ku tahu kau berbeda dengan yang lain

Hati ini, tertuju pada sikap kekonyolanmu
Kepolosanmu, yang membuatku terpesona
Karena dirimu, ku merasakan apa itu cinta yang sesungguhnya

Ciamis, 17/8/17

Collab pertama sekaligus cerpen romance pertama wkwk


HBD Esti!

Email penulis :
estiosela@gmail.com
mastah.orion@gmail.com
Layangkan kritik, saran atau kenalan ke alamat email maupun di kolom komentar




Komentar

  1. Waah, bagus gan ceritanya,,...moga sukses selalu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siip
      Makasih juragan sudah sedia datang

      Amiin ..

      Hapus
  2. Ada partnya gan? Ceritanya bagus

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak gan, oneshot aja wkwk

      Kalo dipart ane suka bingung mau kemana alurnya ntar

      Hapus
  3. Kabar2 gan kalo ntar nerbitin buku. Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siap deh

      ente borong tapi yah wkwk
      biar dapurku ngebulll

      Hapus
  4. bagus juga ini cerpen, kirain garing. salut

    BalasHapus
  5. Wah suka nyastra juga ternyata? Saya suka juga nulis sastra, kadang-kadang sampe tulisan saya itu jadi bersajak i-i atau a-a di ujung kalimatnya. Semoga terus berkembang biak bos menjadi penyair seutuhnya. Tulisannya sangat menarik :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas

      Kalo nyastra emang secara ga sadar kita udah mirip sapardi aja, nulis surat formal juga jadi kayak puisi buat gebetan wkwk

      makasih doanya mas Wali

      Hapus
  6. keren bget gan cerpennya,keep writing gan sapa tahu bisa bikin novel roman trus di film in sama hanung..hehehe..keep up

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihii.. sip deh

      kalo difilmin ane mendingan nyuruh Joko Anwar atau Alejandro Jodorowsky biar kerasa banget wkwk

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer