Jurnal Sebuah Peradaban - Azi Satria | Cerpen
Jurnal Sebuah Peradaban
oleh
Azi Satria
Samudera yang luas itu nyatanya terlihat seperti kopi dalam
cangkir.
Badai mengganas, dimana-mana terlihat kapal-kapal perang
dengan ukiran ular naga terombang-ambing. Awak kapal berteriak, mereka menjerit
tatkala sang kapten bilang kalau mereka harus menjerit sekeras-kerasnya agar
kraken tak memakan mereka.
Di dalam ruangan kapal yang hanya diterangi lampu tempel,
seorang komandan perang duduk berdua dengan gadis cantik berwajah amat manis.
Gadis itu nampaknya keturunan Arab, dengan hidung lancip dan bola mata abu-abu
dia menuangkan sebotol tequila ke gelas untuk Sang Komandan.
“Badai mengganas, Tuan.”
“Tidak apa badai mengganas, kau aman ada bersamaku.” Jawab
Komandan sambil tangannya meraba-raba resleting celana.
“Ini badai, Tuan. Betulan badai.” Gadis itu kembali
meyakinkan dengan nada memelas ketakutan.
“Lantas, apa yang kau takutkan dengan badai? Dia sama-sama
ingin narsis di dalam kehidupan ini. Dia ingin diakui di muka bumi. Nikmati
saja.”
*
Nun jauh di sebuah negeri penuh revolusi dan reformasi, yang
rakyatnya merupakan evolusi dari sapi jantan dan menganut paham bumi kerucut,
kegaduhan terjadi. Sang Raja yang begitu bijaksana diisukan telah berbuat
serong dengan istri patih.
“Tak ada, saya tak ada main begituan.” Raja bicara gagu di
depan khayalak ramai.
Orang-orang menyorot wajah Sang Raja, ada yang memberikan
close up pada matanya, pada sepatunya yang berkilau emas, ada yang menyorot
resletingnya yang disusun dari batu zamrud. Dimana-mana wartawan hadir,
dimana-mana orang begitu penasaran ingin tahu apa yang sedang terjadi.
“Apa anda melakukannya?” tanya wartawan.
“Tidak, saya tidak melakukan apa-apa.” Raja mengelak.
Akhirnya hari itu usai, Sang Raja lega.
Esoknya, ketika Raja sedang menikmati toilet baru rancangan
arsitek asal Persia, dia dikagetkan dengan berita yang begitu panas dan segera
menyebar dalam tempo waktu beberapa jam saja. dimana-mana wajahnya terpampang,
di headline koran, majalah, situs berita, bahkan hingga forum-forum dan media
sosial.
‘Raja Ini Mengaku Tak Melakukan Pembangunan Apa-Apa di
Negerinya’
Dibacanya dengan mata melotot, disana dituliskan jika
wartawan bertanya “Apa pembangunan sudah betul-betul dilaksanakan di negeri
ini?”
Lantas Raja menjawab “Tidak, saya tidak melakukan apa-apa.”
Di media sosial, dia menemukan videonya diwawancarai dan
diedit sedemikian rupa oleh berbagai pihak. Akhirnya dengan wajah merah padam
Sri Baginda keluar dari kamarnya, langsung disambut oleh berbagai kilauan
cahaya flash dari kamera.
*
Di jalanan yang gelap nan licin, dua orang perempuan asyik
mendandani wajah mereka dengan pernak-pernik kecantikan, sesekali menggoda
tukang becak atau kuli bangunan yang lewat. Malam belum larut, tapi segala
sesuatunya menjadi serba menyeramkan, dimana-mana bau alkohol, ranjang berderit
dari rumah bordir, darah terciprat kemana-mana.
Perempuan pertama berusia 18 tahun, wajahnya manis, dengan
senyuman genit menatap lalu-lalang mobil. Rambutnya pendek, sedangkan matanya
bulat. Di tangannya dia menggenggam sebotol bir.
Perempuan kedua berusia 17 tahun, dengan rokok di tangan,
rambut kuncir kudanya dicat pirang di bagian ujung. Sambil menghembuskan asap
rokok, dia menatap kosong entah kemana.
“Kau senang hidup di sini?” tanya perempuan pertama sambil
menatap lalu-lalang kendaraan.
“Kenapa harus jawab susah?” balik bertanya perempuan kedua.
Mereka sama-sama menciup asap knalpot. Udara makin terasa
sesak, dimana-mana orang tergesa ke tempat kerja, orang hampir mati, sekarat
terbunuh rutinitas. Klakson berbunyi nyaring, orang tergesa ingin segera ke
rumah, tidur, untuk kemudian bangun esoknya dan kembali kerja.
“Kita beruntung,” kata perempuan kedua, dia menghembuskan
asap rokoknya kuat-kuat ke udara
“Disana-sini orang-orang berdasi berlagak
punya duit banyak, mereka kesana-kemari dengan mobilnya, memenuhi jalanan,
pergi pagi pulang pagi, mereka pikir mereka merdeka. Lihat kita, kita tidak
terikat oleh apapun.”
“Lantas kau mau bilang kita lebih baik dari mereka? Kita
punya apa? Mobil?” tanya perempuan pertama sewot.
Perempuan kedua lantas menjawab “Kita punya waktu, kita
tidak tersiksa oleh waktu. Mereka disiksa waktu, kita menikmatinya. Urusan
hidup, apa dengan punya uang banyak kau bisa hidup senang begitu saja? Buat apa
villa dan mobil seabrek kalau waktumu saja sudah habis oleh rutinitas yang
tiada habisnya?”
“Kita ini memang punya banyak waktu, lantas mau kita apakan?
Nanti sia-sia kita buang percuma, tak ada yang bisa dinikmati dalam kehidupan
kita.” Perempuan pertama minum bir kembali.
“Kenapa kau bilang begitu? Selama ini kau tak menyadari
betapa nikmatnya apa yang kita punya.
Kita harus belajar menikmatinya, buang
jauh-jauh pikiran jika orang seperti kita hanyalah sampah yang perlu
dicampakkan.” Kata perempuan kedua.
“Kau bicara seperti orang lurus saja.”
“Setidaknya, kita masih berpikir lurus kan?”
“Percuma jika cuma pikiranmu yang lurus,”
“Kau sendiri?”
“Aku bukan orang yang lurus, aku pemabuk, kita sama-sama
melacur di jalanan sini.”
Malam kembali hening. Klakson kembali berbunyi memekakkan
telinga. Dari satu mobil dan mobil lainnya orang-orang berteriak tentang
politik, disana-sini huru-hara terjadi. Di tengah jalan, jalanan diblokir oleh
orang-orang bertopeng malaikat, sedangkan tangan mereka menggenggam botol
whiskey.
Selembar koran terbawa angin, tertulis di headline
“Pembangunan Mental Telah Terwujud Berkat Revolusi Sri Baginda”. Sayangnya
kedua perempuan itu takk bisa mengaji aksara, bahkan orang disana tak bisa,
mereka sibuk. Terlampau sibuk.
*
“Beberapa millennium
sebelumnya. Gurun tandus, padang gersang, matahari menyengat kulit, dimana-mana
manusia telanjang tanpa rasa malu. Mereka membentuk koloni-koloni mereka, ada
yang kecil dan yang besar. Manusia-manusia purba ini, yang sering dibicarakan
mirip seperti simpanse, memang betul-betul pintar, tapi logika belum berjalan
waktu itu.
Dimana-mana manusia purba ini membuat keributan, mereka
menganggap mereka yang paling pintar.
Mereka, sebetulnya masih sangat jauh dari
evolusi, yang mana kita tahu gravitasi, matematika, filsafat, atau bahkan
pendidikan moral masih belum diketahui. Waktu itu, mereka berebut paham, koloni
kami yang paling benar, koloni kami yang paling kuat.
Hukum rimba berlaku. Mayoritas selalu benar, karena jika
minoritas koloni-koloni itu mau buka mulut, bisa dipastikan kapak atau gada
melayang. Akhirnya kehidupan maju perlahan-lahan, mayoritas menekan minoritas.
Apa yang disebut benar oleh koloni terkuat, itu harus diakui benar pula oleh
seluruh penghuni wilayah.
Orang-orang ini menyebut diri mereka benar. Menggambar di
gua, telanjang kesana-kemari, berzina sama-sama di pinggir danau, menghirup
opium, memakan daging mentah. Masih banyak hal yang kita anggap amoral justru
merupakan budaya di zamannya.”
Seorang kakek bercerita kepada cucunya.
“Jadi, apa yang kita sebut amoral ini dulu merupakan hal
yang dijunjung tinggi?” tanya sang cucu.
“Ya.”
“Apa budaya yang kita anggap bermoral saat ini pun akan
disebut amoral beberapa millennium kedepan?”
“Habiskan minumanmu.”
Anak kecil itu menghabiskan setengah botol tequila. Di radio
kakeknya, terdengar berita dari kantor berita nasional. Perang tengah
berlangsung.
“Apakah suatu saat perang akan dilarang, kek?” tanya sang
cucu.
“Entah. Mungkin kau mabuk.”
*
Samudera mengamuk, badai semakin mengganas.
Komandan meraba-raba tubuh gadis Arab itu.
“Apa yang akan abadi di dunia ini, sayang?” tanya komandan.
“Tangis.”
Komandan tertawa bergelak, dia melangkah ke luar,
menyaksikan pemandangan yang begitu absurdnya. Lautan berubah, baunya
menyengat, tak salah lagi aroma alkohol. Cuaca makin buruk, hujan darah membuat
semua orang panik.
Di tengah samudera, seorang filsuf tua duduk bersila, dia
tengah memancing dalam amukan badai. Filsuf tua yang tertawa terkekeh-kekeh ketika
mendapati dirinya berada dalam kepalanya sendiri.
Lekas dia menghisap ganja,
merasakan begitu kepalanya begitu bersemangat. Badai mengamuk semakin hebat.
Komandan perang mengerutkan dahi.
“Dunia ini absurd.”
“Tergantung darimana kau memandangnya.” Ujar suara semesta.
Komandan makin bingung, diledakannya pistol ke keningnya
sendiri.
*
“Itu kisah nenek moyangku, dia komandan perang hebat.”
“Wah, keren ya. Kamu tahu darimana?”
“Kepalaku.”
“Lha, kamu sering ke perpustakaan ya?”
“Perpustakaan sebenarnya ada dalam kepala manusia itu
sendiri.”
Dua orang itu bersulang. Di kejauhan, peradaban tampak
semakin memudar. Biarlah. Mungkin hanya fatamorgana.
Ciamis, 15/8/17
Cerita ini saya persembahkan sebagai renungan sekaligus merayakan HUT RI ke-72 dari sisi yang paling kelam-mungkin-, semoga bermanfaat. Jangan lupa untuk memikirkan maknanya karena saya tidak membuatnya terang-terangan.
Komentar
Posting Komentar