Basa Basi #12 : Malam Kelam dan Manusia
Sebagai seorang yang suka melebih-lebihkan sesuatu dan
mengurang-ngurangkan sesuatu, saya tahu jika realita itu bahkan tak tampak
nyata. Banyak dari kita hidup bahagia, mengeluh. Banyak dari kita yang bisa
makan setiap hari kemudian mengeluh, banyak dari kita yang bisa hidup dengan
tenang tapi masih mengeluh hidup ini tak adil.
Kita selalu mengeluh kalau negeri ini tidak merdeka karena
masih banyak penyalahgunaan kekuasaan dan peredaran narkoba, tapi kita tak
bersyukur untuk kemerdekaan itu. Hal-hal seperti itu adalah masalah umum di
setiap negara, jadi bukan berarti kita masih terjajah dan belum merdeka
sepenuhnya.
Semua negara di dunia pasti memiliki penyakit-penyakit
seperti itu di negaranya, entah itu China, Arab Saudi atau Amerika. Masalah
seperti itu bukan karena kita belum merdeka, tapi karena kita sendiri tak mau
mempertahankannya.
Ada yang lebih parah. Di Jerusalem, tempat suci bagi tiga
agama besar di dunia itu berada dalam tekanan menyedihkan. Dimana-mana meletus
suara tembakan. Kita tak perlu menyalahkan Yahudi, Muslim, atau Kristen. Apa
yang mereka butuhkan bukan like di facebook, bukan debat kusir antara satu
agama dengan agama lain dengan saling mencela.
Yang kita perlukan saat ini adalah sadarnya manusia bahwa
mereka sebenarnya manusia seutuhnya, bukan binatang yang berburu lahan
kekuasaan. Tak perlu memandang mereka menyembah Tuhan yang mana, kitab apa yang
mereka baca, atau agama apa yang mereka percayai. Kita semua hanya perlu rasa
kemanusiaan.
Saling menyalahkan atas nama ras dan agama hanya akan
memperpanas suasana. Karena agama atau ras berbeda, maka jalan yang bisa kita
tempuh adalah jalan kemanusiaan. Kita semua sama-sama manusia, kenapa tidak
coba memunculkan rasa itu di dalam diri?
Mari kita sadar kembali, kita gali kembali sifat-sifat
manusia kita. Kita bukan pemabuk, langsung ngamuk-ngamuk dan saling bantai
bahkan tanpa tahu apa yang sebenarnya kita hadapi. Setelah manusia sadar
tentang eksistensinya, disitulah agama berperan, agama akan membawa manusia
menuju titik lebih dalam tentang kemanusiaan itu sendiri.
Percayalah, tak ada agama yang menganjurkan perang dan
saling bantai di semesta ini. Jadi stop saling menghina agama, karena itu hal paling bodoh yang bisa manusia lakukan.
Bukankah bahwa surga dan neraka
Diciptakan tuk memanusiakan manusia
Tapi mengapa kita masih terperangkap
Hanya karena perbedaan keyakinan
( Tujuannya - Semenjana )
*
Dalam cerita-cerita saya, saya selalu mengangkat wajah-wajah
gelap yang dibalut dengan keceriaan semu. Saya tak ingin mengangkat hal-hal
monoton, kehidupan seorang anak miskin yang akhirnya sukses, kehidupan seorang
begal yang jadi lurus karena bertemu kyai, atau kehidupan seorang yang bekerja
keras hingga mendapatkan hasil yang besar.
Bukannya saya tak ingin memberikan amanat, karena sebenarnya
saya selalu menyertakan amanat bahkan setiap paragrafnya—kalau pembaca
jeli—tapi secara tersirat. Saya tak pernah mengangkat tema-tema indah yang
berakhir bahagia.
Saya selalu mengangkat hal-hal gelap, hal-hal yang
menjijikan atau menyedihkan. Tapi itulah realita, karena saya tak ingin terus
menerus dijejali dengan kisah motivasi hingga saya mengejar hal-hal yang
sebenarnya sudah umum diajarkan. Disuguhi hal-hal indah dengan kisah inspirasi
hanya akan membuat saya menjadi manja dan menutup mata untuk hal-hal kelam
diluar sana.
Kita tak bisa hanya memandang dan mengejar kesuksesan, tapi
kita buta dengan hal-hal di sekitar kita. Saya tak ingin orang hanya memandang
sukses sebagai tujuan hidup seperti Donald Trump, hanya sukses yang dia kejar
seumur hidupnya. Tapi kita perlu melihat ke sekitar kita, lihat gang-gang
kumuh.
Fenomena di sekitar kita, mabuk-mabukan, narkoba dan
kejahatan bukan untuk dibully bersama-sama, bukan untuk kita habisi sama-sama,
tapi kita rangkul bersama-sama. Percuma kita mematenkan diri sebagai orang
paling suci di atas semesta jika kita hanya melihat kesucian saja, mengejar
surga untuk diri sendiri, tapi orang tersesat kita biarkan.
Saya selalu mengangkat hal-hal bernuansa kelam, karena saya
pernah bersama-sama dengan orang-orang yang hidup dalam dunia itu. Mereka
bukannya tak ingin hidup sebagaimana kita, kerja pagi hari, kemudian datang
sore hari dan membawa gaji di akhir bulan. Mereka bahkan kesulitan untuk
mendapatkan uang.
Hal yang sama yang membuat saya sering mengangkat para PSK ke
dalam tulisan saya. Saya yakin, tak ada manusia yang bercita-cita ingin jadi
penjaja tubuh. Tapi karena lapangan pekerjaan semakin sedikit, dimana-mana
orang beranak bagai kucing, membuat negara ini sesak, lapangan kerja makin
sedikit, akhirnya kejahatan makin marak.
Kita bisa seenaknya mencibir, karena kita tak berada di
posisi mereka. Seenaknya kita bisa bilang “Lha, cari dong kerjaan, mesti
sedikit yang penting halal!”
Tapi silahkan terjun sendiri ke dalam dunia mereka. Kita
hanya bisa bicara sok suci saat kita tak berada di posisi mereka. Kita bisa
bilang kalau manusia harusnya bersabar, tapi kita sendiri tak tahu apakah kita
bisa terus bersabar dalam kondisi itu.
Filsuf dari planet namek pernah bilang “Nyungur mah gampang!”
Oleh karena itu, saya rasanya—untuk saat ini—masih bisa
untuk menghormati mereka, manusia-manusia yang tersesat. Manusia yang hidup
dengan tegukan demi tegukan alkohol, manusia yang hidup dari darah yang
tercecer, manusia yang hidup dari deritan ranjang di malam hari.
Karena saya yakin, seburuk-buruknya yang saya jalani, tak
lebih buruk dari kehidupan mereka. Kehidupan mereka begitu kelam, walau kita
bisa melihat keceriaan wajah-wajah tertimpa lampu disko, keceriaan semu yang
berisi tangisan dan penyesalan mendalam.
Bagi mereka yang masih giting dengan ganja di tangan, atau
mereka yang menjajakan tubuh hari ini, saya masih yakin kalau mereka adalah
manusia yang belum menemukan arti dibalik kemanusiaan itu sendiri.
Sebenarnya saya bisa berceramah juga—kalau mau—dan bilang
kalau pelacuran adalah hal paling menjijikan di atas muka bumi. Tapi saya hanya
akan menyakiti mereka, wanita-wanita yang menangis terisak setelah melayani
tamunya. Mereka yang menyesal apa yang telah mereka perbuat namun tak berdaya
ditekan kejamnya dunia.
Saya sebenarnya bisa saja melukai hati orang-orang malam
ini, bicara seenaknya dan mencela mereka. Tapi saya tahu, saya tak pernah
merasakan bagaimana kehidupan mereka, jadi saya tak bisa seenaknya berujar tak
pantas dan bilang seolah saya adalah orang paling benar di atas jagad raya.
Lagipula, semesta ini bukan surga yang hanya dihuni
orang-orang suci dan malaikat. Semesta adalah tempat dimana iblis dan malaikat
menjelma sebagai manusia, kemudian sama-sama hidup dalam bingkai kemanusiaan.
Semesta ini tempat dimana surga dan neraka disatukan dan membentuk pola indah,
tempat dimana kita bisa sama-sama hidup berdampingan.
Well—di akhir tulisan ini saya ingin menegaskan.
Saya bukan orang benar dan saya juga tak perlu dipercaya.
Ini hanyalah opini pribadi dan merupakan hal yang bersifat relative antara satu
manusia dengan lainnya. Kita semua punya kebenaran yang berbeda-beda, oleh
karena itu, di akhir ini saya ingin kembali mengungkapkan motto saya.
Kebenaran sejati itu
tidak ada di semesta ini, atau mungkin tak ada orang yang mampu menjangkaunya.
Malam Jum’at
14/9/17
Komentar
Posting Komentar