Lara dan Pentas Kenangan - Azi Satria | Cerpen
Lara dan Pentas Kenangan
oleh
Azi Satria
Dibawah cahaya lampu taman yang berpijar sedikit redup,
seorang pemuda duduk sambil membaca buku dengan sampul berwarna hijau muda. Matanya
bergerak mengikuti kemana kisah itu pergi, mengikuti kemana pengarang akan
membawanya, wajahnya menunjukkan kepasrahan namun ketegaran sesekali tercetak
dari rahangnya.
Di sebelahnya duduk seorang gadis dengan bibir tipis,
lipstiknya berwarna merah gelap, sedangkan matanya yang bulat itu
bergerak-gerak sambil sesekali memperhatikan pemuda di sampingnya. Di tangan
kanannya dia menggenggam sebotol bir, dan di tangan kirinya sebatang rokok
filter dijepit diantara jari-jarinya yang lentik.
“Suka nonton wayang?” gadis dengan rambut panjang itu
bertanya.
Pemuda yang sedang asyik membaca buku itu menutupkan
bukunya, kemudian menjawab dengan sedikit gugup “Suka, lewat internet.”
“Lara.”
Gadis itu menyodorkan tangannya.
*
Untuk sesaat, aku hanya bisa terdiam. Sedangkan gadis yang
mengenalkan diri dengan nama Lara ini terus berceloteh tentang kisah-kisah
wayang. Dia begitu pintar hingga mengetahui seluk beluk dunia wayang—yang bahkan
aku sendiri baru mendengar beberapa nama dalam kisah Bharatayudha.
“Kau tahu, aku juga mempunyai tato Sri Kresna di punggungku.
Sengaja, agar aku selalu ingat, hidup itu harus bisa menjadi dalang, jangan mau
terus dipermainkan, cobalah menjadi dalang dalam konflik, lalu berpura-pura
suci dan polos.” Lara berkata diakhiri tawa kecil.
Angin malam berhembus, membuat rambut Lara yang tergerai
sampai bahu itu berbalik dan menerpa wajahnya. Sementara buku Burung-burung
Manyar dalam genggamanku tak tergoyahkan karena ketebalannya yang bahkan sulit
untuk dibaca dalam waktu seminggu.
“Aku suka Dorna.” Aku berkata, “Sepicik apapun dia, dia
adalah seorang guru yang baik untuk semua muridnya, tak peduli sebesar apapun
kebencian panca pandawa kepadanya, berkat jasa-jasanyalah kedua kubu itu bisa
tangguh. Seorang guru yang hebat.”
Lara menaruh botol bir ke tanah, kemudian menghisap rokoknya
dalam-dalam.
“Hidup ini bukan perkara benar atau salah, tapi apakah kita
bisa bermanfaat untuk orang dan semesta atau tidak. Percuma kau mengukuhkan
diri sebagai orang suci kalau masih banyak orang yang sakit hati gara-gara
ulahmu.” Lara berkata.
Aku terdiam. Diam-diam aku melirik wajahnya, begitu manis
dengan pipi sedikit chubby, sementara
matanya yang bulat itu bergerak-gerak memperhatikan awan yang berarak di langit
malam. Tubuhnya begitu menggoda—setidaknya, itu yang bisa aku katakan soal
tubuhnya—dengan jaket hitam yang resletingnya terbuka, membiarkan kaos
bergambar Nietzsche itu terlihat. Jeans ketatnya tampak nyaman dipakai, walau
sesekali dia merubah posisi kakinya.
“Kau ingat, sebenarnya kita pernah bertemu sebelumnya.” Lara
berkata sambil menatap mataku.
Dengan sisa-sisa kenangan yang coba kurangkai dalam kepala,
aku berusaha mengingat kapan aku pernah melihat wajahnya, atau mungkin
mendengar namanya. Namun sia-sia yang kutemui, karena aku sama sekali tak ingat
pernah bertemu dengannya.
“Kapan?”
“Masak nggak inget?”
“Beneran.”
“Waktu itu, kau yang membawaku ke rak berisi novel-novel
klasik.”
“Dimana?”
“Perpustakaan, dulu waktu kelas satu SMA.”
“Wah, pantes nggak
inget.”
Aku menggaruk kepala. Sejak kelas satu SMA aku sudah
bagaikan penjaga perpustakaan, selalu ada diantara rak-rak buku, kadang aku
tenggelam dalam buku yang kubaca, hingga bel istirahat berbunyi aku masih di
perpustakaan. Aku juga sering membantu anak-anak yang kesulitan mencari buku—karena
aku tahu persis letak buku-buku itu berada.
“Sekarang kerja dimana?” aku bertanya.
“Kuliah.”
“Oh ya,”
“Kau sendiri?”
“Kuliah juga, di luar kota.”
Lara manggut-manggut, kemudian dia membuang puntung rokok ke
tanah. Malam semakin dingin, padahal wakktu menunjukkan pukul 10 malam. Aku
kehabisan bahan pembicaraan, karena memang sejak dulu aku tak bisa bicara
dengan wanita.
“Ingat, dulu waktu SMA, kau adalah murid paling bajingan
yang pernah aku kenal.” Lara berkata diiringi tawa kecil.
Aku menatap heran.
“Tak ingat juga? Kau sering masuk ke perpustakaan dengan
pakaian tak rapi, kemudian berbicara dengan senior layaknya kau lebih senior. Hal
yang paling bajingan adalah melihat anak sepertimu membaca buku.” Lara berkata.
Aku tertawa kecil. Aku ingat, memang dahulu aku sering
berlaku aneh. Aku sering berdandan tak rapi, kadang merokok dan bolos, tapi
selalu menyempatkan diri ke perpustakaan untuk membaca. Aku selalu sadar, jika
buku adalah satu-satunya dunia yang bisa dijelajahi oleh setiap manusia yang punya keinginan.
“Suka minum-minum juga?” Lara bertanya.
“Nggak, sudah
berhenti.”
“Kenapa?”
“Terlalu sering membuat tubuhku tak ubahnya seperti mayat
hidup, yah—paling sekali satu bulan. Aku menyadari dampaknya.”
“Jadi, bukan karena kau ingin hidup sebagai orang benar?”
“Nggak, sudah lama
aku tak pakai standar benar-salah, aku cuma memandang sesuatu dari manfaat dan
bahayanya.”
“Nah.. nah.. hal itu yang sedang coba aku lakukan.”
“Percayalah, itu tak mudah.”
“Kenapa?”
“Orang tak mau berpikir rumit seperti itu, kau nanti malah
dianggap sesat. Orang lain hanya bisa berpikir ini benar dan ini salah.”
“Itu kan resiko.” Jawabnya.
*
Malam bergerak lambat bagaikan siput, tapi tetap berjalan. Waktu
terus berjalan meskipun lambat, takkan berhenti sesaat pun. Jalanan sudah mulai
lengang oleh kendaraan, namun tak pernah kosong. Manusia selalu saja sibuk dan
mencari kesibukan.
Manusia tak bisa bersyukur atas kehidupan mereka, kebebasan
mereka selalu dijadikan kesibukan. Hanya segelintir yang mau duduk dan
menikmati kebebasan mereka barang sesekali. Manusia hanya mengejar materi,
karena tanpa materi, bukan manusia namanya.
*
“Dulu, kita pernah
pacaran. Kau ingat?”
Lara tersenyum, kemudian memberikanku sebuah foto di
ponselnya.
Aku sama sekali tak ingat.
Sunyi telah membungkamku.
Tapi tak bisa kupungkiri, kenangan memang tak pernah hilang.
Akhirnya dengan sedikit perjuangan keras dalam berpikir, aku
ingat. Seorang gadis masa SMA, yang selalu menemaniku ketika membaca novel di
perpustakaan yang hening. Seorang gadis yang menjadi Drupadi bagiku, namun
akhirnya membagi cintanya seperti Drupadi beneran.
“Drupadi-kah kau?”
Aku bertanya. Sementara Lara hilang, tetapi lara terus
mendesak dari dalam dada. Lara menghilang dari sampingku, tiba-tiba taman
menghilang dari pandanganku. Gelap malam menghilang. Semuanya pergi dari dalam
kepalaku.
Sayup-sayup aku mendengar suara,
“Baca apa, beb?”
Dengan sedikit kantuk, aku membaca sebuah nama yang
tertempel di baju putih ‘Larasati Sintawarma’
*
Perpustakaan kembali hening.
Semuanya membeku. Penjaga perpustakaan dengan wajah garang,
buku-buku yang terdiam dalam sunyi, dan sepasang kekasih yang asyik membaca
novel klasik. Mereka bercumbu dengan tulisan, bercinta dengan tinta.
Sunyi menyanyikan keheningan untuk mengiringi perjalanan
romantis mereka. Udara berubah menjadi begitu sejuk. Sementara dari setiap
helai kertas yang dibuka, berterbangan ke udara kebahagiaan yang berubah
menjadi kenangan setiap kali sepasang kekasih itu menghembuskan napas.
*
“Kau bukan Yudhistira.”
“Kau juga bukan Drupadi.”
“Lantas?”
“Aku Sinta,”
“Biarkan aku jadi Rahwana.”
“Kenapa?”
“Akan kuperjuangkan cintaku, bukan cinta abal-abal seperti
Rama. Bahkan jika harus mengorbankan tubuhku untuk para monyet dan satu juta
prajurit Ayodya, aku rela. Akan kuculik dirimu ke dalam jiwaku.”
*
“Seorang dalang dilarikan ke rumah sakit karena overdosis
miras, dia menenggak miras-miras impor selama dia memainkan wayang.” Kata pelayan
kedai.
Semua di kedai itu tertawa bergelak. Sementara, malam
semakin larut dan semua ketidakpastian menyatu di udara, membuat seluruh
ketidakpastian menjadi pasti.
Sementara, nun jauh di barat seorang bocah memanjat pohon
randu sambil tertawa-tawa.
Ciamis,
20/9/17
Inspirasi menulis ini dibuat ketika saya sedang tak sengaja menemukan
foto bersama gadis-gadis yang berbeda di lain waktu pula. Sebagian merupakan
kenangan, sebagian merupakan aroma kopi yang menguap ke udara, kemudian
mengendap di langit malam.
Dari semua plot yang serba acak-acakan ini, percayalah, ini merupakan
kenangan yang berhamburan ke udara, kemudian saya rangkai menjadi prasasti. Kebetulan
saja, ingat wanita-wanita yang pernah mengaku sebagai Sinta, namun jadi
Drupadi, atau mungkin mengaku Drupadi padahal Sinta. Terima kasih untuk para
Drupadi dan Sinta yang telah menghiasi kenangan-kenangan ini dengan warna-warni
yang kerlap-kerlip bagai lampu disko.


Komentar
Posting Komentar