Tersesat - Azi Satria | Cerpen
Tersesat
oleh
Azi Satria
“Kita sebenarnya tersesat,” kata Wina sambil menyulut
rokoknya.
Aku menatapnya dalam-dalam. Bagaimana mungkin tersesat, toh sejak tadi sore kami berdua
duduk-duduk di luar rumah menikmati entah dua atau tiga gelas kopi
masing-masing dan sebungkus rokok menthol. Hingga malam larut dan udara menjadi
dingin aku tak merasakan tersesat.
“Apa yang tersesat?” tanyaku.
“Kita, kita berdua.”
“Lho?”
Kemudian Wina dengan tatapan kosong menghisap rokoknya, dan
menghembuskannya perlahan ke udara, membuat gumpalan asap itu meliuk-liuk
bagaikan penari Bali.
“Kita tersesat di dalam kota ini, kota yang ramai dan sempit
oleh berbagai macam kehidupan. Dimana-mana kita bisa menemukan orang yang
sama-sama tersesat, mereka ingin datang ke surga, nyatanya tersesat di kawah
neraka.”
“Lantas, kenapa tak pulang saja kau?”
“Tak ada yang ingin pulang, kita semua buta oleh fatamorgana
dan asa yang seolah melebihi realita, kita semua ingin kedamaian, dan kita
bicara kedamaian sambil mengayunkan pedang dan menabuh genderang perang.”
“Tak usah memikirkan hal itu, nikmati saja hidup ini.”
Aku menyalakan rokok, menekan batangnya untuk mengalirkan
rasa menthol itu ke dalam tubuhku. Aku sendiri tak munafik, kehidupan ini
memang keras, semuanya seolah tersesat dan buta oleh harapan yang akan pupus
namun tak pernah memudar.
“Nonton, yuk.” Katanya “Ada film bagus, El Topo.”
*
Di bawah pijaran lampu disko yang kerlap-kerlip itu,
anak-anak muda menggeliat dengan wajah memerah karena mabuk. Terdengar musik
dengan tempo nada cepat, membuat anak-anak muda itu semakin bergairah
menghabiskan masa-masa indah mereka.
“Ini wine lokal, tapi rasanya impor.” Kata Tejo sambil
memberikanku sebotol anggur merah.
Aku anggukkan kepala tak mengerti. Waktu menunjukkan pukul
1:00, dan orang-orang disini semakin menggila. Jam 11 tadi Wina pergi dari
rumahku, katanya hendak ke luar kota untuk melakukan riset—entah antropologi
atau apa—dan aku langsung bergegas menuju ke salah satu bar di kota ini.
Disini, aku bisa menemukan hal-hal yang cukup manis. Disini
pula aku berkenalan dengan kawan-kawan yang serba aneh, unik, namun betul-betul
mempesona.
Seorang gadis menghampiriku, kemudian duduk dan menjabat
tanganku.
“Anin,” katanya.
Matanya sipit, kulitnya putih bersih, dan rambutnya tergerai
panjang. Tubuhnya begitu menggoda, entah karena aku dibawah pengaruh alkohol.
Perawakannya seperti gadis-gadis Cina lain, dengan senyuman menggoda ia memulai
percakapan.
“Sering kesini ya?”
Aku mengangguk.
“Kok jarang ketemu
sih?”
“Nggak sering juga
sih, beberapa kali sebulan saja.”
“Oh..”
Aku menyulut rokok.
“Api dong,” katanya sambil membawa sebatang rokok.
“Kuliah dimana?” aku bertanya.
Dia menyebutkan salahsatu universitas negeri di kota ini. Aku
mengangguk pelan. Banyak teman wanita yang masih kuliah hadir dalam
kehidupanku, utamanya kehidupan malam. Diantara mereka adalah anak-anak
ekonomi, sastra atau seni dan hampir setiap jurusan.
Rokok dengan saus menthol ini membuat tenggorokanku hangat, dan
aku masih menggenggam wine pemberian Tejo. Sejak lama aku kenal tempat ini,
tempat sialan yang dulunya bekas kios yang ditinggalkan pemiliknya karena
krisis moneter melanda negeri ini.
Tempat ini pula yang membuatku tahu, jika kehidupan tak
selalu indah seperti apa yang dilihat mata biasa. Dibalik semua keindahan hidup
ini tersusun dari lika-liku dan lipatan-lipatan kusam kehidupan malam. Dibalik
wajah-wajah ceria para pemandu karaoke itu terdapat luka yang dalam, dan
mungkin begitu perihnya menghujam hati.
“Aku sambil kerja disini kadang-kadang,” kata Anin.
“Pemandu karaoke?”
“Nggak, jadi
pemijat di depan.” Katanya dengan sorot mata yang tak bisa kujelaskan.
Aku hanya mengangguk pelan, menatap wajahnya yang manis. Bibirnya
tipis dengan lipstik peach, cocok dengan kulitnya yang putih terang. Untuk beberapa
saat aku membayangkan bibir tipis itu—dan aku merasa seperti Budi Darma dalam
memperlakukan Olenka.
“Biaya kuliah mahal, terpaksa deh cari kerjaan untuk tambah-tambah.” Katanya lagi.
“Keluarga asal mana?”
“Dari Padang, sayang ayah ibu sudah meninggal.”
“Punya saudara?”
“Ada satu adik perempuan, masih kelas dua SMP.”
“Di Padang juga?”
“Iya.”
“Nggak dibawa kesini?”
“Nggak ya, biarin
sama neneknya, kalau dibawa kesini takut jadi nggak bener hidupnya. Yah—walau hidupku emang nggak bener dalam standar moral, setidaknya
aku masih ingin adikku hidup jauh dari jalanku.”
Bibirku terasa panas, rupanya api sudah melahap rokok hampir
mendekati filternya. Sementara kami membisu untuk beberapa saat. Menikmati alunan
musik Faded – Alan Walker dan tarian-tarian lincah para remaja.
“Where are you now?
Where are you now?
Where are you now?
Was it all in my fantasy?
Where are you now?
Were you only imaginary?”
Where are you now?
Where are you now?
Was it all in my fantasy?
Where are you now?
Were you only imaginary?”
*
Pukul 3 dinihari, aku berjalan pulang. Sengaja tidak pakai
jasa ojek online atau memanggil taksi, karena memang lokasi tak jauh dari
rumahku. Melewati gang-gang sempit memang setiap hari kulakukan, kadang aku
berhenti dan bermain kartu sampai pagi datang—itu kulakukan saat tubuhku mabuk.
Sebelum aku berbelok menuju rumahku, dari kegelapan gang,
aku mendengar bisikan halus.
“Kita dimana? Nggak
tersesat kan?”
Lantas kubuang puntung rokok, berharap aku takkan tersesat.
Ciamis, 2/9/17
Akhirnya setelah lama
nggak bisa menulis, saya bisa kembali menulis cerpen. Well—cerpen ini ditulis
dalam waktu dua hari, hari pertama dikala senja, namun terpotong oleh aktivitas
dan jalan-jalan, dan hari kedua diselesaikan dengan secangkir kopi di siang
hari panas terik. Total dua gelas kopi untuk cerpen ini, cheers!
saya beri 100 gan untuk tulisan anda,
BalasHapuswih..
Hapusmakasih banyak juragan
tumben maen kesini
cerpenya menarik ceritanya... lanjutkan gan
BalasHapus