Basa Basi #13 : Tulisan Di Ambang Kebosanan
Akhir-akhir ini saya merasa kurang bersemangat untuk
menulis. Di lain sisi saya memang dihimpit oleh kesibukan—dari pagi hingga
malam bersibuk ria dengan berbagai tugas dan kegiatan, walau kadang saya
menyempatkan diri untuk menikmati waktu luang dengan segelas kopi hitam yang
asapnya mengepul ke udara.
Akhir-akhir ini pula saya berkenalan dengan berbagai
suasana, dengan berbagai orang dengan watak berbeda. Dengan seorang yang
agamis, dengan orang yang acuh bahkan dengan lingkungannya, sampai dengan orang
yang terlampau malu bahkan untuk menyapa orang yang duduk disampingnya. Tapi rasanya
saya tidak merasakan sedih, entah kenapa tapi sudah lama sekali saya tak
bersedih—apapun alasannya.
Hujan terjadi hampir setiap hari. Pagi-pagi sekali terkadang
hujan sudah turun dan membuat jalanan licin—membuat orang-orang yang hendak
pergi menjadi malas, ditambah dengan jalanan yang memang terjal, dimana-mana
kau bisa menemukan batuan licin, aspal yang tak seluruhnya menutupi jalan, hingga
lubang-lubang di jalanan yang tergenangi air. Jalanan di desa-desa memang
begitu, tak secepat pembangunan di kota-kota besar.
Walau begitu, kami yang didesa tampaknya memang patut untuk
bersyukur. Karena di pedalaman daerah lainnya bisa lebih parah. Tak seluruhnya
pemerintah yang harus disalahkan untuk pembangunan jalan—yang menopang
mobilitas masyarakat—tapi warga itu sendiri juga perlu kecipratan salah. Seorang
guru pernah bilang jika masyarakat pun harusnya taat bayar pajak untuk
pembangunan itu sendiri.
Daerah saya, disini kami bisa hidup berdampingan, segala
permasalahan bisa diselesaikan hanya dengan cara kekeluargaan. Saya sendiri
mendengar banyak desas-desus ini itu mulai dari urusan bawah perut hingga
urusan tangan yang seenaknya menggampar orang, tapi semuanya bisa diselesaikan
dengan musyawarah, keluarga pelaku dengan korban dipertemukan.
Selama hidup saya, saya rasanya tak pernah mendengar
bentrokan antar kelompok di daerah sini—kecuali anak-anak muda yang bersemangat
dengan mata sedikit tertutup efek dari satu liter ciu yang dioplos dengan obat
batuk dan sprite. Kalaupun ada sedikit hawa panas antar kampung, rasanya semua
bisa diselesaikan, dipertemukan antara satu ketua dengan yang satu lagi di
sebuah tempat, saling meminta maaf dengan rasa bersalah di kedua pihak.
Sedangkan di koran-koran saya melihat banyak sekali berita
yang memanas di kota-kota metropolitan, di kota megah yang pembangunannya
begitu pesat, di kota-kota dengan penduduk yang hilir mudik berdasi dan berjas
rapi. Mulai dari saling hina antar agama, asal suku, hingga urusan politik.
Akhirnya saya paham, pembangunan mental dan toleransi lebih
penting dibandingkan pembangunan fasilitas-fasilitas lainnya, karena dengan
mental dan moral, manusia bisa lebih santun. Tak ada hukum alam, saling hina
antar agama, saling usir, adu mulut disana-sini, Tuhan dibuat guyonan. Keras boleh,
tapi tak perlu barbar, kita manusia, bukan simpanse yang berebut lahan
kekuasaan.
*
Sebenarnya banyak sekali ide-ide bersliweran di kepala, mulai dari kisah cinta hingga kisah realita
sosial yang kelamnya melebihi malam tanpa cahaya di angkasa. Tapi entah kenapa
saya menjadi begitu enggan untuk menulis, padahal saya masih tetap melakukan
ritual membaca beberapa halaman buku setiap harinya—entah itu di perpustakaan
atau di rumah.
Mulai dari kisah seorang kekasih yang tak pernah kembali,
sedangkan kekasihnya setia menunggu dibawah guyuran hujan sampai ia mati dalam
kesia-siaannya hingga kisah guru yang tak pernah mempunyai murid namun tetap
ingin menjadi seorang guru. Kisah-kisah absurd dan gila dengan alkohol, rokok,
dan malam saya akan selalu hidup seperti regenerasi sel.
*
Secangkir kopi panas di atas meja, rintik hujan diluar
rumah. Menjelang kamis, hampir akhir pekan.
Sabtu dan minggu merupakan hari yang tepat untuk
membaringkan tubuh di atas kasur, dengan earphone yang mengalunkan nada-nada
folk, secangkir kopi sudah tersaji. Akhir pekan adalah hari dimana saya bisa
mengistirahatkan kepala yang rasanya penuh sesak oleh angka-angka dan rumus.
Hari-hari berlalu bagaikan roda yang berputar kian cepat.
*
Kadang, saya lebih suka melihat pemabuk yang sempoyongan
menuju mesjid untuk bertaubat dibandingkan seorang yang memakai pakaian serba
putih mengacungkan senjata dan memimpin perang melawan saudaranya sendiri,
se-suci apapun ia, kadang saya merasa perlu untuk benci.
Dibandingkan seorang berpakaian penuh wewangian bunga serba
putih yang mengatakan dirinya suci, saya lebih suka mendengar pengakuan seorang
preman yang bilang kalau dirinya tak berTuhan dan penuh dosa. Sesungguhnya,
kawan, seorang guru pernah bilang “Jadi orang jangan setengah-setengah, mau
jadi lurus ya lurus, mau jadi salah ya salah.” dengan kalimat itu saya
tergelitik untuk melihat-lihat realita.
Seorang preman selalu merampas uang orang lain tanpa
menyebut-nyebut nama Tuhan, sedangkan seorang yang bilang kalau ia paling suci,
menyakiti hati orang lain dengan nama Tuhan. Mungkin pemahaman saya memang
betul-betul dangkal, tapi dengan pengetahuan yang saya dapat selama ini, tak
ada yang lebih hina dari takabur dengan membawa nama Tuhan.
Pernah juga suatu ketika saya mendengar Emha Ainun Najib
berkata “Aku tak mau memakai pakaian seperti ulama, nanti aku dikira orang yang
lebih alim, sedangkan aku tak tahu apa-apa, kan itu pembodohan namanya.”
Mungkin benar juga, jika tak bisa menanggung resikonya lebih
baik tak usah bilang saya paling suci atau mengaku lebih benar dari yang lain. Tetaplah
rendah, karena semua orang sama dimataNya, yang membedakan bukan dari tampilan
atau omongan, tapi sedekat apakah manusia dengan Penciptanya, setaat apakah ia
dengan Tuhannya. Terlebih, sistem kasta tidak berlaku untuk semua agama di
dunia, jadi tak ada salahnya untuk merasa rendah, tak usah merasa diatas orang
lain. Apalagi sampai menindas, menghina orang lain, kelakuan yang lebih hina.
Well—tulisan di akhir mungkin sedikit membuat kuping
beberapa orang panas, tapi saya tak bermaksud untuk mengajak ‘berperang’ dengan pihak-pihak tertentu,
hanya saja saya memiliki kalimat-kalimat yang tak baik jika terus dipendam di
dalam hati. Akhirnya saya lepaskan lewat tulisan ini.
Tulisan ini tidak bermaksud menggurui, mengajak, atau
merubah pemikiran pembaca. Tulisan ini hanya sekedar curahan hati seorang
remaja yang pikirannya mencair karena aroma kopi hitam yang menusuk hidung, tak
usah berpikir tulisan ini dimaksudkan untuk mendoktrin.
Setiap manusia mempunyai pemikiran yang berbeda, oleh karena
itu tak perlu risau. Manusia yang berbeda pemikirannya artinya punya pendirian
sendiri, bukan sekedar ikut-ikutan. Ambil yang baiknya, buang yang buruknya. Mari
menjadi orang yang lebih sehat mental, tak usah saling serang gara-gara opini,
dikritik jangan langsung demo, ada hal sepele langsung perang, mari kita
sama-sama berpikir walau setiap manusia berbeda jalannya.
Dengan hadirnya bermacam-macam opini, membuktikan masyarakat
Indonesia masih peka terhadap isu-isu yang ada di masyarakat, jadi tak usah
meradang dan langsung ingin semua orang sama dengan kemauan pribadi.
Well, selamat beraktivitas kembali. Maghrib sudah tiba,
gerimis pergi menyisakan genangan kecil di depan rumah. Suasana keluarga
kembali terasa. Televisi menyiarkan berita petang, matikan saja, cabut kabelnya.
Nikmati hidup tanpa kebisingan.
Komentar
Posting Komentar