Basa Basi #14 : Agama Bukan Barang Dagangan, Bung!

Hujan mengguyur bumi senja ini,

Secangkir kopi panas dengan asap tipis meliuk-liuk tersaji di atas meja

Sekian lamanya saya tidak menulis di blog ini, bahkan domainnya pun hangus karena masalah keuangan-cielah- dan akhirnya kembali ke domain default di blogspot.com. Tapi walau begitu, kunjungan yang masuk dari pencarian google masih mengalir seperti biasa.

Akhir-akhir ini saya mendengar jika agama sudah berubah dari suatu hal yang private dan sakral menjadi barang dagangan yang laku keras di pasaran. Bagaimana tidak, media dengan gencar menarik pembaca dengan berita-berita hoax bernada agama sehingga kaum ‘sumbu pendek’ yang tadinya hanya beberapa biji saja di Indonesia berkembang pesat menjadi ribuan atau bahkan jutaan.

Agama, bagi saya bukanlah suatu hal yang pantas untuk dijadikan guyonan, dijadikan perbandingan antara satu agama dengan agama lainnya. Dari sana-sini berteriak kebenaran, kemudian menyalahkan yang lain, tak jarang dengan aksi-aksi yang mengancam raga maupun jiwa orang lain.

Sedikit saja ada hal berbau agama, maka banyak orang yang merasa tersulut emosinya, tak peduli benar atau salah info yang mereka dapatkan, lantas mengacungkan parang ke udara, berteriak sekencang-kencangnya dan segera menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Dengan banyaknya hal-hal berbau agama ini, maka banyak pula kejadian-kejadian lain yang ‘tertimpa’ dan teralihkan, sebut saja korupsi milyaran uang rakyat yang beritanya tak lagi nampak—bahkan di halaman terakhir surat kabar—tertimbun kabar-kabar agama.

Agama memang harus dijadikan pedoman hidup, tapi agama bukan barang dagangan. Mengumbar agama di depan umum dengan kelakuan yang jauh dari kata beragama, itu masalah yang menjadikan alasan kenapa agama haruslah dijadikan sebuah hal private saja, tidak usah dibawa ke hadapan negeri yang dipenuhi keragaman agama ini.

Adanya aksi-aksi yang menimbulkan konflik oleh organisasi beragama malah membuat agama itu sendiri tercemar. Cobalah melihat dengan sudut pandang yang lain, kita tidak dilahirkan untuk berperang atas nama agama, kita dilahirkan untuk beribadah kepadaNya—bagi kaum beragama—dan bagi yang tak beragama, kita hidup untuk member manfaat kepada sesama manusia.

Kabar Rina Nose lepas jilbab saja sampai bergema sampai ke ujung tanah air, dimana-mana sumpah serapah datang, bahkan dari beberapa orang ulama sekalipun. Begini hebat kekuatan media zaman sekarang, itulah kenapa saat ini kita tak butuh banyak kekuatan fisik, kita hanya perlu mental yang kuat. Jangan jadi sumbu pendek, kesenggol sedikit meledak, kesenggol sedikit bilang pencemaran dan kriminalisasi.

Mental yang harus disiapkan, mungkin itu juga yang menyebabkan pemerintah menyelenggarakan pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Karena di zaman sekarang, orang mudah terbawa kesana-kemari cuma ‘ikut-ikutan’ saja, ke Amerika, Jepang, atau Arab. Sebagai warga negara Indonesia yang dilahirkan dan dibesarkan disini, sudah sepatutnya kita turut menjaga keutuhan negara, persatuan dan kesatuan yang sudah digerogoti dari dalam oleh berbagai media ini sudah hampir goyah.

Negara ditusuk dari dalam oleh politik yang carut-marut, oleh agama yang selalu dijadikan alasan untuk mengadakan konflik, atau oleh anak-anak yang sudah lupa bagaimana kisah Semar yang turun ke bumi untuk mengajarkan kebajikan pada anak-anak Pandawa dan para Punakawan.

Bahkan beberapa waktu lalu ada yang hendak menggoyang sila negara oleh kekhalifahan, situ lahir di Suriah? Ini Indonesia, Bung!

**

Filsafat dan Agama, bagai Minyak dan Air?

Untuk anda yang belum tahu filsafat—atau belum mendalaminya—saya sarankan jangan pernah sekali-kali mendalami filsafat tanpa ada dasar agama yang kuat, mungkin ini juga yang menyebabkan beberapa ulama mengharamkan filsafat. Saya sendiri seorang yang dilahirkan dalam keluarga Islam, dalam lingkungan Islam, mendapatkan pendidikan Islam dari awal dengan berbagai macam ilmunya, tapi bertemu dengan filsafat, iman saya runtuh bagai tembok Berlin.

Intinya, jangan pernah mendalami filsafat jika tak siap dengan konsekuensinya, apalagi mempelajari filsafat barat—eksistensialisme misalnya—yang rata-rata mengkritisi berbagai hal seperti apa tujuan kita di dunia? apa Tuhan itu? Dan berbagai pertanyaan yang dijawab ‘Hanya Tuhan yang tahu’ oleh agama, berusaha dipecahkan oleh manusia.

Tapi dengan filsafat, kita juga jadi bisa menikmati berbagai ilmu-ilmu yang ada saat ini, berbagai macam politik, berbagai macam hal yang berkaitan dengan etika dan moral. Intinya, filsafat memanusiakan manusia, namun kadang banyak yang susah untuk tetap menjalani kehidupan berfilsafat mereka dengan dasar-dasar agama masih melekat. Makanya banyak sekali mahasiswa filsafat yang atheist, atau para filsuf yang atheist, sebut saja Karl Marx : tokoh yang menjadi ikon bagi komunisme dan ‘sayap kiri’, Stephen Hawking : fisikawan sekaligus penulis yang berpengaruh di dunia, Nietzsche, Sartre, dan masih banyak tokoh-tokoh atheist yang mempelajari filsafat.

Karena filsafat bersifat kritis, mempertanyakan semua hal yang ada. Sedangkan dalam agama, kita dilarang untuk kritis, apalagi menyangkut perihal agama itu sendiri, karena menurut agama, semua pertanyaan ada dalam wahyu Tuhan, jika tak ada dalam wahyuNya, maka jawabannya hanya Tuhan yang tahu. Sedangkan filsafat mencari sedetil-detilnya hal seperti itu.

Tapi jangan remehkan filsafat, karena tanpa filsafat, susunan politik seperti sekarang takkan pernah ada, atau teknologi-teknologi yang berkembang. Jangan pernah meremehkan suatu ilmu, sejelek apapun menurutmu, buktinya kan berguna, dan secara tak sadar kalian menikmatinya.

Berteriak ‘Jangan pakai produk kafir! Boikot!’ nyatanya masih saja memakai internet yang temuan orang kafir,

Ups..

Mending jangan jadi sumbu pendek, gampang emosian, gampang marah, cepat tua, cepat mati. Apalagi kalau belum punya apa-apa yang bisa dibawa ke akhirat kelak.



Ciamis,

21/11/17

Komentar

Postingan Populer