Basa Basi #15 : Curhat Sok Bijak di Akhir Tahun
Setahun telah berlalu, banyak kisah yang datang dan pergi
menyisakan kenangan dalam kening.
Di tahun ini saya bertemu dengan berbagai tipe manusia, dari
yang gampang marah, gampang tertawa, hingga gampang menangis bahkan tanpa perlu
menonton film korea. Dari situlah saya mendapatkan banyak pelajaran tentang
hidup, tentang kehidupan.
Dari berbagai sifat manusia, menandakan di dunia ini penuh
dengan keberagaman. Selain sifat, berbeda pula kegemaran dan atribut-atribut
‘hobi’ lainnya sehingga saya tak bisa memaksakan untuk membicarakan soal Mia
Khalifa kepada mereka yang agamis atau berbicara soal buku kepada mereka yang
lebih suka balapan.
Orang lain pun begitu, tak ada yang berbicara lebih dalam
soal drag race atau soal olahraga kepada saya karena saya bukan orang yang suka
dengan hal-hal itu, sehingga kami saling menghormati dan saling membicarakan
hal yang klop saja. Tak pernah kami mengungkit hal-hal perbedaan itu.
Tapi di televisi, saya hanya menyaksikan orang-orang
berdebat urusan yang tak sepaham, sedangkan mereka melupakan hal-hal yang lebih
klop. Disitu saya merasa kalau dunia ini diciptakan bersamaan dengan takdir,
dengan cinta, kebahagiaan, kemarahan, dan juga kesalahan. Tuhan tidak pernah
berbuat salah, tapi kesalahan adalah ciptaan Tuhan bersamaan dengan kebenaran.
Mari kita awali dengan topik panas, sensitif nan dibenci.
Selama setahun ini saya banyak mendengar urusan-urusan
keagamaan yang dicampur aduk dengan keduniawian, yang akhirnya malah nggak pas dan terkesan lebih mirip seperti
combo ayam dengan cokelat promo KFC kemarin, nggak banget namun entah kenapa banyak sekali orang yang suka dan
mem-blow up ke segala arah.
Jangan jauh-jauh urusan konflik berbeda agama, tahun ini
ratusan konflik dengan agama yang sama karena berbeda pemikiran, beda paham,
atau beda aliran saja membuat dunia gempar. Entah kenapa banyak sekali orang
yang semakin lama semakin mementingkan egonya sendiri.
Padahal, saya pernah diajari sebuah hal dari seorang ustad “Tak
usah pikirkan urusan aliran mana, karena semua aliran sama baiknya. Tapi tempatkanlah
dirimu dimana kau berada, jangan memaksakan ego.”
Belum lagi aksi boikot-boikotan yang menurut saya begitu nyleneh
dan terkesan sia-sia saja.
*
Tak lama ini, saya mendengar ada kisah kalau beberapa
organisasi akan memboikot produk-produk yang berasal dari Amerika. Alasannya karena
AS telah menyakiti keharmonisan dunia karena berani-beraninya merestui Israel
menyentuh Jerusalem, yang mana menjadi permasalahan juga karena itu berarti AS
ikut-ikutan mensupport Israel untuk menyakiti rakyat Palestina.
Tapi apa yang dilakukan?
Beberapa waktu lalu salahsatu pentolan ormas agama berseru
untuk memboikot produk-produk asal AS, begitu juga dengan fb, whatsapp, twitter
dan sejenisnya karena mereka merasa dizalimi—tiap mereka membuat akun langsung
hilang diblokir.
Salah satu hal yang membuat saya tertawa ngakak di depan komputer, mereka
memposting pemboikotan itu lewat produk AS, kemudian tanpa sadar mereka bahkan
sangat ketergantungan terhadap produk-produk AS untuk menjalani hari-harinya. Mereka
berdiskusi antar anggota melalui whatsapp, kemudian mengupdate berita lewat
website yang notabene servernya berlokasi di AS.
Memang bukan hak saya untuk melarang, tapi saya disini bukan
melarang kegiatan ini, hanya ikut tertawa di depan panggung. Kemudian berharap
mereka tidak menjilat ludahnya sendiri untuk kembali memakai produk AS.
Mereka yang katanya mendukung Palestina, tapi masih
menggunakan medsos semacam fb yang merupakan produk AS, apa kabar? Saya masih
sering melihat banyak foto profil dengan frame Palestina. Toh yang katanya
memboikot masih ketergantungan, nyatanya tak bisa lepas begitu saja.
Lalu untuk apa mereka melakukan hal itu, pamer boikot AS di
media sosial buatan AS? Tak lebih dari onani jiwa, biar tertidur lelap.
*
Seperti kebanyakan orang yang saya kenal, saya masih bingung
kenapa pentolan-pentolan organisasi ini lebih memilih untuk update status dengan
tagar #Savepalestine atau mengganti frame ppnya dengan bendera Palestina
dibandingkan pergi ke Palestina langsung untuk berjuang atas nama kemanusiaan
atau atas nama agama, toh nantinya mereka bisa mendapatkan yang lebih : ‘masuk
surga dalam keadaan damai karena membela agama lan saudara’.
Sekarang, rasa simpati atau empati bisa diwujudkan dengan
satu hal mudah : ganti foto profil menjadi bendera korban, kemudian update
status dengan tagar #savehumanity #savereligion #69
Bahkan mungkin, suatu saat seseorang bisa titip absen untuk
beribadah di rumah Tuhan dengan aplikasi secara online. Zaman makin maju,
manusia bukannya semakin terbuka dengan keadaan yang terus bergulir, tapi malah
mementingkan ego, merasa diri paling benar tanpa mau mendengarkan nasihat orang
lain. padahal cuma mendengarkan, bukannya menuruti nasihat orang lain.
Orang sekarang, dinasehati bilangnya “Urusan jiwa dan
kepercayaan itu urusan masing-masing.” Tapi giliran dia menasehati orang lain
tapi orang lain menolaknya dia langsung bilang “Cih, intoleran!”
Lucunya manusia
Tapi karena kelucuan ini saya begitu menikmati hidup, begitu
semarak disana-sini orang-orang saling fitnah, saling tuduh padahal sama-sama
seiman, saling hina padahal sama-sama ciptaan Tuhan. Saya menyaksikannya lewat
monitor, streaming di youtube, atau scroll mouse melihat-lihat beranda
facebook, kadang klak-klik di iklan-iklan clickbait nan provokasi.
Saya menikmati kegaduhan ini wahai manusia, dengan segelas
kopi hitam yang ampasnya mengendap, dengan sepiring gorengan tempe di piring,
sebatang rokok filter, dan musik dangdut yang mengalun merdu.
Dibandingkan menonton film-film Nolan yang penuh konflik,
saya lebih suka konflik yang hadir setiap hari di media sosial. Ada orang yang
menyinggung kawannya karena memakai sabun produk desa sebelah kemudian
dipolisikan karena si kawan tak suka. Ada orang yang terang-terangan bilang
kalau dia lebih suka kopi hitam pakai gula merah dibandingkan gula pasir,
hingga kemudian dikeroyok karena tak sepaham.
Saya tak bisa membayangkan, kalau saya nanti cebok pakai
tisu, kemudian diseret dari wc dan dikeroyok karena cebok pakai tisu bukan budaya
timur. Soalnya disini, orangnya begitu sensitif, seperti cewek yang sedang pms, ini salah itu salah, bahkan nggak
ngapa-ngapain juga disalahkan, diajak makan salah disebut ‘kamu mau aku gendut?’
diajak fitness salah ‘kamu pikir aku gendut?’ atau bahkan nggak diajak
kemana-mana juga salah ‘kamu nggak perhatian banget sih?!’.
Akhirnya dalam kondisi seperti ini, saya menjadi lebih
banyak diam, bahkan media sosial saya tutup karena sekalinya saya share sesuatu
di media sosial, kemudian seseorang tersinggung, ia bisa mencak mencak marah
dan ngambek.
Apalagi zaman sekarang, semua orang bebas mengutarakan aspirasinya,
bebas juga menjebloskan orang lain ke penjara hanya gara-gara dia merasa tak
nyaman kalau istrinya salah menyeduh kopi memakai gula merah, bukan gula putih,
berujung pada pencemaran nama baik. Atau bisa juga seseorang melapor polisi
gara-gara kawannya bilang ‘kamu gendutan sekarang, yah’ dengan alasan hate
speech.
Di zaman now,
menjadi bagian dari mayoritas itu sebuah hal yang sangat penting. Soalnya
kata-katamu akan terlindungi jika kamu adalah seorang mayoritas, berbeda dengan
minoritas, jika minoritas yang bersuara, berbisik sekalipun maka akan
dijebloskan karena mayoritas tak nyaman. Tapi menjadi mayoritas juga tak
selamanya nyaman, karena bercabang lagi, kamu ikut ke aliran mana.
Aliran-aliran ini berbeda paham dan sering timbul konflik di
dalamnya, misalkan golongan makan bubur ayam diaduk dengan makan bubur ayam tak
diaduk. Memang terlihat gila, namun coba deh,
lihat beranda facebook anda.
*
Di zaman sekarang, bukan hal yang tepat untuk mempercayai
orang lain. Percaya kata hatimu akan menuntunmu, karena dengan itu kita bisa
paham apa yang kita jalani, kita bisa mengelak dan berkelit jika disalahkan
orang lain. Beda halnya jika sekedar ikut-ikutan.
“Kamu kok pasang bendera Palestina?”
“Karena Palestina dijajah oleh Israel dan Amerika!”
“Lho, beneran tuh? Cerita awalnya gimana?”
*celingak celinguk gara-gara taunya ‘katanya’ doang dan
sekedar ikut-ikutan biar edgy*
Beda lagi dengan
“Kamu kok pasang bendera Palestina?”
“Karena Palestina dijajah oleh Israel dan Amerika! “
“Lho, beneran tuh? Cerita awalnya gimana?”
“Jadi saat ini Israel telah menduduki Jerusalem atas ‘restu’
Amerika, maka saya pasang bendera Palestina sebagai bentuk dukungan saya karena
tak mampu beri dukungan secara materil, maka ini yang bisa saya lakukan,
beserta doa yang dipanjatkan terhadap Tuhan semesta alam.. bla..bla..bla”
“Kamu kan nggak ada hubungan apa-apa sama Palestine?”
“Memang, tapi saya tahu bagaimana rasanya tak ada yang
mengucapkan semoga lekas sembuh ketika terbaring lemah.”
Nah, dengan berada di jalanmu sendiri, maka takkan susah
untuk menjawab pertanyaan orang lain. Jadi, bukan masalah dimana kamu berdiri,
tapi apakah kamu berdiri diangkat orang lain secara instan, ataukah kamu
belajar berdiri sendiri hingga kamu bisa berdiri sendiri.
Karena dengan menjawab meracik kata-kata sedemikian indahnya,
kamu bisa dianggap benar. Benar atau salah bukanlah sebuah patokan yang pasti,
tapi jika kamu bisa berbicara, jika kamu bisa mengelak, bisa menjawab dengan
logika, disitulah kamu disebut benar.
Tentunya, kalian lebih suka dengan ucapan seorang calon pemimpin
“Saya akan membuat kota ini bersih dengan program kebersihan yang tertata rapi,
jadi setiap warga akan mendapatkan gratis pengobatan ke rumah sakit apabila
melakukan bersih-bersih secara teratur, dan juga fasilitas akan kami sediakan
mengingat betapa pentingnya kebersihan untuk warga kota.”
Berbeda dengan “Saya akan membuat kota ini bersih, pokoknya
bersih sampai ke akar-akarnya.”
Kalaupun tujuan kalian baik, tanpa kata-kata yang berarti,
orang akan menganggap salah. Begitupun jika tujuan kalian salah, tapi kalian
bicara dengan tertata dan baik, kalian akan dianggap benar, sebut saja Hitler
yang sedemikian rupa berkata soal superioritas NAZI, hingga ia dipercaya oleh
orang lain.
Tertarik untuk berpikir? Atau lebih suka menjadi speaker,
hanya meneruskan suara orang lain?
Semua terserah anda.
Selamat ‘menikmati’ tahun baru 2018, yang saya harap akan
semeriah tahun ini. Selamat menuju konflik yang lebih variatif, sebagai penulis
disini saya meminta maaf jika banyak yang tersinggung, ngambek atau bahkan menangis gara-gara tulisan saya selama ini.
Tapi yang terbaik dari saya, saya harap semua orang di dunia
berada dalam lindungan Tuhan, saya harap semua orang bisa damai dalam hati
mereka, tak ada lagi kesedihan. Saya berharap sesakit apapun keadaan, jiwa
selalu bahagia. Karena yang terpenting bukan meminum secangkir racun di sebuah
villa mewah bersama Mia Khalifa, tapi meneguk setengah gelas kopi hitam di
gelas plastik sambil menikmati kehidupan.
Hidup bukan untuk ditangisi. Hidup bukan untuk dibawa ribet,
jangan biarkan pikiranmu terus berada dalam kubangan pilu yang sama. Keluarlah dan
cari kesegaran untuk jiwa. Jangan menanggapi sesuatu serius terus, jangan
baperan dan jadi sumbu pendek di dunia ini, kecuali kau memang robot yang tak
bisa diajak bercanda.
Kopi tinggal ampasnya.
Matikan lampunya, kemudian tidur dengan kepala berisi surga.
30/12/17
Komentar
Posting Komentar