Basa Basi #16 : Pilihan, Jiwa dan Manusia
Berpikir matang sebelum menentukan pilihanmu, karena apa yang kau pilih menentukan kehidupanmu di masa yang akan datang, bergulir bersama waktu yang terus melaju tak kenal henti.
Begitulah kiranya yang saya dapatkan setelah menonton film
Mr. Nobody (2009), sebuah film surrealis drama yang menceritakan seorang
bernama Mr. Nobody yang merupakan orang tertua yang masih bisa mati di dunia.
Dikisahkan dia hidup pada masa dimana manusia sudah hidup abadi karena
pembaharuan sel yang dikembangkan.
Mr. Nobody menceritakan kisah hidupnya berbelit-belit dan
berbeda satu sama lain, yah—untuk lebih lengkapnya saya menyarankan anda untuk
menonton filmnya atau membaca review disini.
Sebetulnya saya ingin terlebih dahulu menonton Dance of Reality yang merupakan film garapan Alejandro Jodorowsky, salahsatuu sutradara
film surreal favorit saya setelah David Lynch. Tapi berhubung sudah terlanjur
menonton beberapa menit film Mr. Nobody, mau tak mau saya menyelesaikannya.
*
Mengesampingkan teori-teori peluang dan teori waktu yang
begitu rumit, saya mendapatkan sebuah wejangan dari film ini secara tersirat,
bijaklah dalam menentukan pilihan. Entah itu memilih calon gubernur, calon
presiden, calon istri atau memilih hal-hal yang tampak sepele. Karena sesungguhnya
semuanya mengakibatkan hal yang berbeda di masa yang akan datang.
Semuanya saling berkaitan—alam semesta yang begitu luas nan
menakjubkan ini dirancang begitu sempurna, sehingga apa saja yang terjadi pasti
akan memiliki dampak meluas bagi kehidupan ini. Saya minum kopi untuk begadang
sehingga malam hari saya merebus mie goreng karena lapar, besoknya saya harus
pergi membeli mie ke warung karena mie goreng habis semalam, di warung saya bertemu
dengan seorang gadis yang kemudian kami berbicara bersama-sama, kemudian
menjalin cinta dan akhirnya menikah di masa yang akan datang.
Atau pilihan kedua, saya tidak minum kopi sehingga saya
tertidur lelap sampai pagi, besoknya bangun tak perlu pergi ke warung sehingga
peluang bertemu calon istri saya itu semakin mengecil atau tidak ada sama
sekali.
*
Di surat kabar, saya menemukan hal yang unik. Banyak orang
berlomba-lomba memilih calon pemimpin mereka, awalnya mati-matian memilihnya
bahkan sampai saling tuduh dengan calon pemimpin lain, tapi akhirnya pilihan
mereka itu berdampak buruk yang mengakibatkan orang-orang ini kembali
mencak-mencak gara-gara pemimpin pilihan mereka ga bener.
“Apa yang sudah kau
pilih, jalani meskipun itu buruk.” – salah satu adegan yang menampilkan Nemo di
studio dengan produser pengganti peter di film Mr. Nobody.
Di negeri ini banyak sekali orang-orang lucu, sebut saja
menjelang pemilihan pemimpin. Banyak orang mati-matian membela calon pemimpin
mereka “Mas Bagus ini orang sekampung dengan kami, patut jadi kepala kampung,
daripada si Tole itu, dia orang luar yang numpang disini, ibunya orang desa
tetangga, bapaknya aja orang sini. Cih.”
“Kami lebih memilik Gan Hendro jadi kepala desa, walau
kiprahnya di dunia politik belum terlihat, tapi sudah dipastikan dia dirahmati
Tuhan, beda dengan Si Rasdi itu, dia jarang sekali bagi-bagi duit untuk
sekitarnya. Pasti dosanya gedhe!”
Tapi apa yang terjadi setelah pemimpin idaman mereka
terpilih, orang-orang lucu ini kembali berteriak
“Pemimpin sialan, kok ga bener selokan di pinggir desa aja
belum diperbaiki sudah mau-maunya melahirkan inovasi jual sawah kredit 22
bulan.”
Kadang banyak orang yang menyesal dengan apa yang mereka
pilih, mereka mengeluh seolah orang lain yang salah. Banyak orang lucu yang
menyalahkan orang lain untuk kerusakan yang terjadi. Bahkan akhir-akhir ini
saya kuping saya sampai panas.
Lucu sekali, ada
bocah yang memukul-mukul piring dengan sendok, kemudian berteriak lari ke
emaknya sambil bilang bahwa kehidupannya tidak damai dan selalu berisik, dia
merasa selalu tidak tenang. Kemudian dia kembali membunyikan piring dengan
keras, begitu ia merasa bosan karena tak ada yang memperhatikan, ia kembali
merengek, ia bilang kalau dia terganggu dengan suara-suara berisik.
Banyak orang yang merasa hidupnya tidak damai, selalu
difitnah, padahal dia sendiri yang menciptakan kerusuhan itu. Apakah hidup ini
begitu membosankan sehingga kau perlu play
victim hanya untuk mengemis simpati?
Menyedihkan sekali, karena walau dunia saya tak se-wah itu,
tapi saya damai disini, saya merasa bahagia tanpa harus melihat orang lain
sedih. Saya tetap bisa tertawa tanpa harus membuat orang lain menangis, dan
saya bisa mendapat dukungan dari kawan-kawan saya tanpa harus melakukan
sandiwara di jalanan.
Saya tetap bisa meraih puncak tanpa menggulingkan orang
lain, juga tetap bisa damai tanpa harus memulai kerusuhan. Yah—mungkin fetish kalian itu, terangsang ketika
melihat kerusuhan. Damai bagi saya bukan sebuah hal yang special, karena
kedamaian itu tak pernah ada di muka bumi. Damai itu relatif, jadi tak bisa
semua orang mendapatkan kedamaian yang sama.
Saya damai ketika meneguk secangkir kopi di siang hari
terik, kalian damai ketika melihat berita hoax dan isu SARA bertebaran di media
sosial. Bukankah itu sebuah perbedaan?
*
Saya bukan seorang terpelajar yang kepalanya dipenuhi oleh
ilmu-ilmu pasti dan ilmu agama, tapi saya hanya seorang pembual dan pendusta
yang berusaha untuk menyebarkan virus-virus ke muka bumi. Saya tak peduli
apakah seorang anak kesepian yang membaca tulisan ini atau seorang kyai yang
kelelahan karena seharian mengajar santri-santrinya mengaji.
Saya bukan ingin berdebat, tapi sejak dahulu saya disuapi
oleh sindiran-sindiran tajam yang menurut saya terlalu indah untuk dilewatkan. Maka,
saya berterima kasih kepada orang-orang yang sindirannya selalu membuat hati
saya degdegan dan waswas. Niscaya suatu saat saya akan menjadi seperti kalian,
atau melebihi kalian.
Saya mempelajari sebuah makna, jika titik lemah manusia
bukanlah raganya, tapi jiwanya. Semakin sering kau menyayat-nyayat hatinya,
jiwanya semakin lemah, semakin sering kau menusuk-nusuk pikirannya, jiwanya
terganggu. Hanya ada dua pilihan, jiwanya semakin lemah atau jiwanya semakin
kuat.
Hancurkan dari dalam, karena raga manusia walau babak belur
masih bisa dirawat, lagipula meninggalkan jejak. Tapi jika jiwanya yang
dikeroyok, manusia itu akan lebih hina, ia akan merasa diterkam tanpa ada
penyelamat. Makanya banyak korban bullying yang bunuh diri karena jiwa
merupakan titik lemah manusia.
Lagipula, perisai apa yang bisa menahan tajamnya kata-kata?
13/1/18
Komentar
Posting Komentar