Basa Basi #17 : Dalang, Konflik dan Senja




d-1

Senja menyapa

Seperti biasa saya selalu ditemani segelas kopi, mendengarkan musik dan tak peduli soal keadaan diluar sana. Saya tak peduli dengan kegaduhan-kegaduhan diluar sana, karena saya dalang bukan wayang. Saya tak suka mengorbankan diri sia-sia hanya untuk kepuasan jiwa si dalang yang ngakak sambil meneguk kopinya dibalik layar.

SC : Bookgeeky deviantart


Lebih baik diam menyaksikan pergumulan hebat antara orang-orang barbar di lapangan, saling bunuh gara-gara debat bumi kotak atau kerucut, saling serang antar kampung gara-gara tak sependapat. Tontonan ini begitu mengasyikan, karena tanpa sadar mereka melucuti identitas mereka sebagai manusia—yang setidaknya mereka sebut beradab—dan berkelakuan tak lebih dari singa-singa tak punya logika di hutan rimba.

Manusia saat ini bukannya bodoh, hanya saja terlalu pintar. Saking pintarnya sampai-sampai hal sedetil apapun diperdebatkan, zaman-zaman penemu saja kalah, kalau dulu Galileo mendebatkan hal segede bumi yang wajar terlihat oleh semua orang, sekarang bahkan orang mendebatkan hal yang tak terlihat dan tak jelas kebenarannya. Hebat sekali.

Lebih hebat lagi, semua terjun ke padang Kurusetra dengan membawa argument dan kebiasaan ‘ad hominem’ saat terpojokkan. Hampir tak ada ahli strategi untuk mengatur kemana pertempuran itu akan mengarah, tapi semua berlomba ingin jadi pahlawan.

Para petarung itu berlarian dengan helm menutupi kepala mereka, saling tubruk kesana-kemari tak peduli siapa lawan mereka, mereka haus darah dan hanya ingin mengayunkan pedang argument mereka, menebasnya kemanapun mereka suka. Ada saudaranya yang mati, ibunya mati, hingga malaikat sendiri mati ditebas.



Sayang sekali, para pahlawan ini maju terlalu dini, sehingga lupa kalau mereka tak membawa nyali. Mungkin ketinggalan di rumah, tak sengaja terbuang ke tempat sampah, atau mungkin nyali mereka sudah lama habis digerogoti rayap gara-gara jarang dipakai.

Ketika para pahlawan ini ditangkap polisi gara-gara ujaran kebencian, konon mereka hanya bisa mengelap air mata dengan tisu, sedangkan temannya satu lagi membawa kamera untuk meng-close up air matanya dan mukanya yang sedih itu. Kemudian di media tersebar berita

“Pahlawan kebenaran yang paling benar diantara kita kini difitnah sehingga harus berada di pengadilan, mari kita galang dana dan siapkan senjata untuk berperang demi kebenaran.”

Disitulah konflik baru lahir kembali.

Orang-orang suci itu datang dengan berbagai macam argument yang mereka keluarkan

“Wah! Tersangka merupakan seorang yang taat berdoa, ini musibah! Ya tersangka! Tabahkan hatimu!”

“Wah! Polisi kampret! Berani-beraninya menawan saudara sependapat kami! Berani fitnah dia artinya menantang kami!”

Ketika orang suci ini hendak masuk mendobrak ke dalam gedung pengadilan untuk mengawal tersangka, bahunya dipegang oleh pak polisi, kemudian salah seorang wartawan berhasil memotret kejadian itu. Esoknya beredar kabar kembali

“Benar-benar rakyat roti keju tengah ditekan oleh pemerintah! Lihat foto ini! Sesepuh kita dipegang bahunya untuk kemudian hendak digebukin sampai mati di tempat oleh polisi!”

*

Dunia ini kadang lucu, sehingga saya tertawa ketika melihat berbagai macam kejadian, seperti demo besar-besaran karena negeri ini sudah dikuasai asing. Sebenarnya titik awalnya bukan gara-gara asing masih menjajah dengan menyelundup atau teori-teori konspirasi sampah seperti itu, tapi karena Indonesia ini tidak bisa mengatur mental penduduknya sendiri.

Makanya kemarin ada gerakan revolusi mental, adanya gerakan pendidikan karakter. Untuk apa? Untuk menjadikan rakyat Indonesia sebagai Tuan di negeri sendiri, sebagai dalang di pentasnya sendiri, bukan hanya jadi pion yang diadu domba oleh orang-orang ber-IQ tinggi.

Bukan masalah kita makan singkong sedangkan mereka makan roti keju, yang jadi masalah apakah kita mampu untuk berpikir atau tidak. Apakah kita mau memberontak atau tidak, apakah kita masih ingin dijadikan wayang atau mau jadi dalang?

Tak  masalah ijazahmu sampai SMP atau hanya lulusan SD, yang penting bicara, kalaupun tidak menulislah. Karena dengan kata-kata, perang dunia bisa pecah, panggung kekuasaan bisa didapat, simpati dunia bisa diserap, atau bahkan bisa melukai hati orang lain seumur hidupnya.

*


d-2

Senja kembali, dengan begitu cerah, lembayung warna oranye memenuhi langit

Dulu, ketika saya masih kecil, duduk di pangkuan kakek, kemudian dia bercerita tentang senja berwarna oranye, menandakan ada siluman di ujung langit yang hendak menerkam siapa saja yang bermain diluar dibawah cahayanya. Kakek berkata sambil kembali meminum tehnya.

Kakek saya tidak lagi minum kopi, penyakitnya yang mengakibatkan ia tak bisa minum kopi lagi di usia senjanya hingga ia meninggal. Kakinya bahkan sulit untuk digerakkan gara-gara dia melalui hari-hari di masa mudanya dengan melakukan apa yang ia inginkan.

Tapi apa yang membuatnya begitu berkesan, dia begitu senang dengan hari tuanya.

Kakek seorang pembaca setia, dia membaca berbagai buku di usianya yang sudah diatas 70 tahun, dia bilang kalau buku bisa membawanya kemanapun ia suka bahkan saat ia tak mampu menggerakkan kakinya.

Begitulah senja, menebarkan aroma kenangan kemana-mana.

*

Saya bukan tipe manusia penjilat dan fotocopyan, saya seorang yang ingin berterus terang.
Kalaupun saya menjadi penjilat, itu semua demi kepentingan saya pribadi, bukannya mengganti ideologi saya, tapi hanya sebagai topeng agar saya bisa melancarkan aksi.

Untuk orang yang belum saya kenal, saya akan bersikap tertutup, karena saya tak mau meracuni orang yang saya bahkan tak tahu apakah dia seorang penyembah Tuhan yang baik, apakah dia seorang psikopat, apakah dia seorang yang mudah diracuni pikirannya.

Saya bukan pembunuh yang menyeret korbannya ke tiang gantungan dengan rantai dan pedang di tangan, tapi saya akan menyalami korban, kemudian menaruh racun di minumannya, dan mengajaknya berbincang tentang cinta dan surga.

Saya tidak membunuh dengan rasa sakit, saya membunuh dengan cinta.

Saya tak memakai pedang untuk menusuk-nusuk dada, tapi menggunakan kata-kata untuk memutilasi jiwa.

Bukannya saya tak mau menaruh racun di depan minuman anda sendiri, tapi saya lebih suka menaruhnya di dapur, kemudian membawanya ke hadapan anda, mari kita bicarakan soal kegelisahan sosial, kita bicara tentang cinta Tuhan dan manusia, berbicara tentang politik, masa depan, kemudian hembuskanlah napas terakhir.

Kau bahkan tak pernah tahu siapa yang membunuhmu.

*

Saya tak ada di satu belah pihak
Bukan FE atau GE
Bukan theist atau atheist
Bukan penikmat kopi atau alkohol
Tapi dimana-mana.
Karena semakin banyak informasi yang kau tahu, harapan hidupmu meningkat.

*

Duhai gadis manis dengan senja di matamu
Yang hadir sekejap namun memberi arti
Yang memberi mawar pada jiwaku
Walau kutahu kau menggenggam durinya

**


16-17 Januari 2018

Komentar

Postingan Populer