Basa-Basi #18 : Valentine di Negeri Kepoan



Lina, Luna, Susan, Sinta, Rahma, Wati, Sarah, dan masih banyak lagi.

Nama-nama wanita yang seringkali hadir dalam tulisan-tulisan saya dikala bosan melanda. Mereka kadanng bukanlah sosok wanita yang saya kenal, nama-namanya pun dengan random saya dapatkan dari berbagai kejadian, misalnya gadis desa sebelah atau gadis-gadis yang lalu-lalang di depan kelas.
Saya menulis cerita-cerita yang terinspirasi dari film, dari senja yang mengendap di udara, atau dari bising knalpot motor-motor anak-anak dengan motor custom di parkiran sekolah. Intinya, cerita-cerita ini dimuat dari berbagai rasa yang saya temukan, dari berbagai kisah yang perlu untuk diabadikan.

Apa yang saya lakukan hanya memperkaya rasa. Konon katanya, dengan menjadikan diri sebagai ember untuk menampung rasa-rasa yang turun dari udara bagai wahyu dari malaikat, kita bisa menjadi seseorang yang lebih bijaksana dan lebih pintar mengolah kata.

Saya selalu berusaha untuk memandang suatu hal dari berbagai sisi, karena sebagai seorang yang perlu banyak rasa, saya tentunya tidak bisa membuat kepala saya penuh dengan ego kemudian berjalan di muka bumi dan berkata kalau saya ini manusia. Bahkan terkadang saya mengamini hal-hal yang salah secara moral atau secara norma hanya gara-gara saya memandangnya dari sisi yang lain.

Dari hal inilah saya perlahan mempelajari sesuatu. Saya mempelajari bahwa untuk menjadi seseorang yang bisa berkamuflase dan bergabung dengan mudah bersama orang lain, kita tidak boleh memaksakan kehendak. Jangan memandang suatu hal dari satu sisi saja, kemudian dengan hal itu kita angkat pedang untuk orang lain.

*

“Say no to valentine”

Begitulah bunyi slogan banner yang dipasang di depan sekolah saya. Bukan apa-apa, tapi tujuannya agar anak-anak tidak melulu mengurusi percintaan yang berujung pada selangkangan, atau mengurusi valentine yang menjadi simbol dunia barat, kemudian melupakan kapan hari guru atau hari pendidikan.

Untuk saya pribadi, saya tidak terlalu aneh dengan perilaku bangsa Indonesia yang kadang dianggap nyeleneh ini, bahkan kemarian juga beredar tulisan kalau vaksin merupakan upaya Amerika dan agama tertentu untuk membodohi umat agama tertentu. Saya merasa kalau di Indonesia, hal ini biasa saja, penolakan terhadap sesuatu, penolakan dan penolakan.

Masyarakat Indonesia sayang kepada generasi penerusnya yang sudah melupakan bagaimana romantisnya kisah cinta Rama dan Sinta, bagaimana sucinya cinta Rahwana kepada Sinta, bagaimana sengitnya pertempuran di Kurusetra dibandingkan pertempuran di luar angkasa melawan alien.
Walau kadang nyleneh, yah—inilah Indonesia. Kadang berpikiran terbuka saja tidak cukup.

Walau kita sebagai orang yang yah—sedikitnya mengetahui kalau valentine itu hari kasih sayang, dan tidak bisa dicap budaya barat yang menganjurkan having sex setelah memberi sebungkus cokelat, atau lain sebagainya. Kita juga perlu melihat bagaimana orang-orang tua di Indonesia khawatir jika anak-anaknya salah menafsirkan kalau valentine adalah hari untuk memuaskan syahwat, dan itu yang terjadi.

Negeri ini tidak sepatutnya menolak valentine, tapi melihat fakta di lapangan kalau orang Indonesia hobi sekali menyelewengkan hal-hal yang benar ke arah yang tidak benar, maka ada bagusnya juga. Tak lama sebelum valentine, ada kisah sekelompok remaja yang entah kenapa hobi sekali minum obat batuk beberapa bungkus sekali makan. Bayangkan, obat batuk saja diselewengkan.

Minum minuman beralkohol agar ngefly bukan suatu hal yang perlu dikecam, asal tahu aturan. Di luar negeri, kita bisa melihat kalau orang-orangnya hobi minum minuman keras di bar, tapi jarang sekali memancing keributan yang bisa membuat se-negeri risau. Tapi ngefly dengan obat batuk yang dosisnya melebihi aturan pakai dengan kondisi tidak batuk sama sekali merupakan hal yang menyalahi aturan karena akan berdampak buruk pada tubuhnya.

Jadi kawan, tidak ada hal buruk di dunia ini. Semua hal baik pada tempatnya, dengan aturan yang tepat dan kondisi yang tepat. Berbuat mesum bukan hal yang salah, karena secara biologis aturannya memang begitu, sperma membuahi sel telur, wanita harus hamil dan laki-laki menghamili, tapi dengan situasi di kebun jagung dan kondisi kedua tokohnya masih berseragam SMP bukan hal yang tepat.

LGBT juga bukan hal yang buruk. Asalkan keduanya suka sama suka dan tidak menimbulkan keresahan bagi masyarakat sekitar, coba perhatikan, di negara barat LGBT bukan hal yang aneh, bahkan mengadakan parade di jalanan. Hal ini karena masyarakat di negara-negara tersebut tidak mau tahu urusan selangkangan orang. Lain hal dengan di Indonesia, di kita masyarakatnya kepoan apalagi urusan bawah perut, ditambah dengan norma dan agama yang yah—masyarakat timur seringkali dicap sebagai warga ramah dan care dengan yang lainnya. Sifat care ini juga yang menjadikan mereka seringkali kepoan, mau tahu urusan orang lain.

Melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis di Indonesia bukan hal yang tepat, karena masyarakat Indonesia menjunjung tinggi aturan baku bahwa secara seharusnya manusia berhubungan sex dengan lawan jenisnya karena tidak hanya bercinta, namun akan menghasilkan keturunan pula. Makanya jangan heran jika ibu-ibu di Indonesia ingin sekali menantu atau anaknya cepat hamil. Hal lain lagi, agama Islam juga menjadi agama mayoritas di negeri ini, yang mana dalam agama Islam sendiri dilarang bagi seorang manusia berhubungan dengan sesama jenis kelaminnya, dan yang namanya mayoritas, kalau tidak dituruti akan terjadi penolakan, pemboikotan atau usaha demo-demo untuk mengukuhkan aturan mereka di negeri demokrasi.

Bicara demokrasi, saya jadi setuju kalau kebenaran itu datangnya tidak semata-mata dari Tuhan, dari langit, atau dari surga. Kebenaran datangnya dari mulut manusia itu sendiri, karena apa yang kita anggap benar bukan kebenaran mutlak, walau kebenaran absolut juga bisa ditentukan dengan cara-cara tertentu dalam cabang filsafat. Kebenaran itu kata-kata manusia sendiri, bahkan jika ada yang bilang kebenaran itu datangnya dari Tuhan, sedangkan kebenaran menurut si A yang beragama beda dengan si B berbeda, padahal sama-sama dari Tuhan. Ujungnya saling menyalahkan Tuhan satu sama lain.

Rasanya saya setuju kalau konsep kebenaran merupakan hal yang paling dasar yang menjadi sumber konflik. Perbedaan pendapat dalam musyawarah, si A bilang kalau bumi itu datar, sedang si B bilang bumi itu bulat, akhirnya menyebabkan perpecahan. Dalam sebuah agama, si A bilang aliran kami paling benar sedangkan si B bilang aliran si A menyimpang dari ajaran Tuhan, maka timbul konflik disana.

Jadi jika bicara soal kebenaran, saya lebih suka menyeruput kopi hitam dibanding harus berlama-lama membahas hal-hal yang bahkan tak pernah ada jawabannya—atau setidaknya manusia belum dan takkan pernah bisa mencapainya.

Kalau bicara kebenaran, sebaiknya—menurut saya pribadi—lebih baik mengalah dan bilang “Ini kebenaran yang saya pahami, jadi kebenaran menurut sampeyan berbeda ya silahkan.” Itu lebih baik dibandingkan “Woy! Sampeyan salah! yang benar itu saya! Mutlak saya dan ajaran saya paling benar! Menolak artinya minta diclurit!”

*

Ada satu argument lucu yang saya temukan beberapa waktu lalu, dalam sebuah pertemuan, seseorang bicara “Ateis itu tidak ada! Karena sebenarnya semua orang di dunia berTuhan, mustahil manusia hidup tanpa diciptakan Tuhan blablabla-“

Untungnya, orang ini berbicara di depan para monoteis, yang mana tiada satu pun ateis yang mendengarkan argument lucu ini. Argument ini, menurut saya sering dipakai orang-orang yang berusaha mengajak debat dengan atheis tapi logika mereka tidak maksimal dikeluarkan untuk berdebat. Jadi argument yang dipakainya hanya bisa ditinjau dan diamini benar oleh satu sisi saja.
Jadi hal ini nggak jauh berbeda dengan percakapan antara sopir angkot dan pengendara motor, satu ngotot kalau ban kendaraan itu ada dua, satu lagi sama-sama ngotot kalau ban kendaraan itu ada empat.

Agama tidak bisa diajak debat dengan logika, karena agama berisi hal-hal diluar nalar manusia dan hanya bisa dijangkau Tuhan, sedangkan ateis tidak bisa diajak debat dengan dalil, surat, ayat, karena mereka tahu kalau hal-hal itu satu paket dengan Tuhan yang tak harus mereka percayai. Jadi sia-sia dan takkan pernah berujung.

Tapi kalau debat didasarkan logika ateis menang, debat didasarkan pada dalil dan ayat, maka teis akan menang. Jadi hal sia-sia untuk berdebat antara ateis dan teis, debat antar agama pun sama, kecuali sampeyan memang pengen tenar dan menjelek-jelekkan agama lain.

Lagipula, agama kok didebatkan. Saya sering heran dengan manusia-manusia yang suka mendebatkan agama, menaruh Tuhan sebagai dadu, kemudian bertaruh atas nama penghuni langit. Saya sama sekali tidak tertarik dengan debat-debat semacam itu, lagipula apa tujuannya kalau bukan mencari umat ke suatu agama?

*

Saya sering menulis tentang hal-hal kelam dan gelap, hal-hal yang bahkan bertentangan dengan norma. Karena saya tidak suka memanjakan hal-hal yang sudah bisa kita lihat dalam keseharian. Jika saya mengangkat tema cinta kasih pasangan sejoli pelajar SMA merupakan hal yang biasa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, dan bahkan kita bisa menebak amanat atau alur ceritanya.

Sedangkan dengan tema yang gelap, saya bisa mengangkat kalau orang-orang yang sering dicap berandalan, wanita-wanita malam, para bajingan dengan mulut berbau alkohol yang sering tergeletak lemah di selokan jalan bukan hal yang perlu dijauhi namun perlu dibimbing dan diketahui kalau mereka juga tak menginginkan hal itu.

Saya punya berbagai teman yang berkutat dalam kehidupan jauh dari standar. Mereka membanting tulang siang dan malam, kemudian untuk melepas lelah meminum satu gelas arak di malam harinya. Kita bersyukur diberikan kehidupan layak, kemana-mana membawa motor, punya harta kekayaan. Bandingkan dengan mereka yang dilahirkan dalam keluarga miskin, pergi ke kota mencari nafkah, namun lapangan pekerjaan sulit, dibanding mati kelaparan lebih baik pergi ke klub malam menjadi penari strip atau menjadi wanita panggilan.

Tanya, kawan, wanita panggilan mana yang tidak ingin hidup lurus, hidup dengan standar moral yang ada, hidup seperti kita yang bisa kemana-mana tanpa khawatir besok tidak makan. Bahkan banyak musisi yang menyuarakan kupu-kupu malam ini agar mereka dirangkul dan bukan untuk dihina. Mereka merelakan kesucian mereka demi sesuap nasi, sedangkan disini kita mencibir, dengan titel ustadz, menghisap sebatang rokok dan kopi hitam berkata seenaknya “Pelacur hina! Kayu bakar jahanam!”

Disitu kadang saya merasa kehilangan sisi relijius, kala melihat seorang yang saya anggap suci dengan pakaian putih-putih kemudian menjelekkan orang lain seenaknya.

*

Yah—di valentine ini saya tidak bisa banyak menulis.

Tapi yang pasti cinta dan kasih sayang akan terus hidup di dunia ini, karena Tuhan menciptakan kesetaraan, jika kebencian sudah bisa kau rasakan aromanya, begitu juga dengan kasih sayang.
Seperti biasa, tulisan ini tak lebih dari selentingan orang-orang di kedai kopi yang sibuk, tak lebih dari suara ranjang berderit di rumah bordir, atau tak lebih dari gemericik air hujan dikala badai. Tak perlu dipahami, biarkan mengalir saja. Kalau ada yang baiknya dan sepemikiran silahkan diambil, jika tidak buang jauh-jauh.

Saya bukan pendoktrin atau pejuang opini dan argument, saya hanya penikmat kopi yang berusaha untuk menulis berbagai rasa yang ada di kepala. Selamat hari kasih sayang! Sayangi sahabatmu, keluargamu, ibumu, pasanganmu, dan bumi ini.

See u!


Ciamis 14.2.17

Komentar

Postingan Populer