Kupu-Kupu - Azi Satria | Cerpen

Kupu - Kupu  

oleh

Azi Satria


Gambar oleh : PxHere


Lina mematikan puntung rokok di depanku, membuat asapnya perlahan memudar hingga akhirnya musnah sama sekali dibawah pijaran lampu neon.

“Tahu butterfly effect?” Lina bertanya, matanya menatapku dengan tatapan hampa.
“Kejadian kecil bisa merubah masa depan, perkara kecil bisa membuat sebuah peristiwa besar.” Aku menjawab, dan itu semua tak sengaja aku dapatkan dari beberapa film yang pernah kutonton.

“Ya,” Lina kali ini menanggapi dengan agak lesu, air mukanya berubah.

“Kenapa sih?” aku bertanya.

“Jika suatu hal kecil bisa mengakibatkan hal-hal besar, bagaimana dengan hal besar yang terjadi?” dia menerawang jauh, tangannya menopang dagu dan menatap sudut kafe.

Untuk beberapa saat kafe ini terasa sunyi dan sepi, walau orang-orang lalu-lalang, begitu juga dengan motor dan mobil diluar sana. Ini hari jum’at, artinya akhir pekan sudah menunggu, dan aku tentunya tak perlu repot-repot untuk tidur lebih awal.

Hari ini juga sengaja kuajak Lina ngobrol di luar, dan yang pasti dia bukan pacarku, bukan juga TTM-an ku seperti yang sering anak-anak gaul itu bicarakan. Lina hanyalah seorang gadis yang bisa kuajak bicara, tidak seperti gadis lainnya yang entah berapa ratus kali bertanya “Kau membicarakan apa sih?”

Sore begini, di sebuah kota kecil pinggiran, yang kulihat adalah wajah-wajah penuh semangat dari orang-orang. Mereka tahu malam ini akan ada pagelaran wayang golek di alun-alun kota. Wayang kini menjadi barang langka. Memang, semua orang bisa memainkan wayang kemudian berbicara sesuai lakonnya, tapi tak semua orang bisa jadi dalang, yang benar-benar mengeksekusi pagelaran dengan pas dan sesuai selera masyarakat.

Seperti kopi, semua orang bisa menyeduh kopi, tinggal siapkan bubuk kopi dan tambahkan gula, tapi tak semua orang bisa menciptakan kopi dengan rasa yang betul-betul pas di mulut. Bapakku kadang marah jika mengetahui kopinya kurang manis atau kurang pahit. Begitulah hidup ini, bukan sekedar bagaimana kau menjalaninya, tapi bagaimana kau menyelami apa yang kau lakukan dengan sepenuh hati, betul-betul dengan perasaan.

“Ayah dan ibuku cerai, mereka berdua berencana pindah rumah minggu depan.” Lina membuyarkan lamunanku.

“Betulan?”

“Kapan sih aku bohong?”

“Kau sendiri mau ikut dengan siapa?”

Lina sejenak menatap ke luar jendela, melihat lalu lalang manusia. Entah menatap rombongan anak TK yang menyebrang trotoar, entah menatap pedagang es keliling, entah menatap tukang parkir yang duduk kelelahan di warung seberang sana.

“Menurutmu, ini semua perlu terjadi?” Lina bertanya, dan dia tidak menjawab pertanyaanku.
“Perlu atau tidak, itu semua sudah terjadi sekarang. Kau bisa membujuk mereka untuk tetap tinggal kan?” aku mencoba ramah, menawarkan solusi basa-basi.

“Tidak, keputusan mereka sudah bulat. Tapi yah—aku toh sudah SMA, lulus nanti bisa kerja untuk membiayai ibuku. Soalnya dia tak mau kawin lagi.” Kali ini dia mengeluarkan satu batang rokok dari bungkusnya di meja, kemudian menyulutnya.

Dia menghisap rokok dalam-dalam, tampaknya pikirannya memang betul-betul sedang dalam masalah. Aku mengenalnya sejak SMP, dia bukan wanita yang gampang stress dan down, tapi kali ini aku tahu raut mukanya. Tampaknya senja dengan keripik kentang takkan bisa membuatnya kembali ceria.

“Sudahlah, lagipula ayahmu pasti mengusahakan untuk tetap berhubungan denganmu, aku tahu bapakmu sejak dulu, dia memang bukan pemuka agama yang arif bijaksana, tapi ayah mana yang tega membiarkan anaknya tersesat dalam belantara kehidupan. Mereka berdua akan tetap menjagamu, aku yakin.” Aku berusaha menguatkannya dengan basa-basi sialan yang sering kudengar dari film-film drama di televisi.

“Mungkinkah ini mengubah masa depanku? Parallel universe? Butterfly effect? Domino effect?” Lina kemudian memberondongku dengan teori-teori ala-ala sci-fi itu.

“Apapun yang terjadi, masa depanmu kau yang tentukan sendiri. Mereka hanya ingin tahu apakah kau memang sudah benar-benar gadis SMA yang bisa berpikir rasional dan menatap ke depan atau tidak.”

Kami membisu tiba-tiba.

“Aku tidak berharap ini menjadi pertemuan kita yang terakhir.” Lina berkata dengan lirih.

Aku mengambil rokok dari meja, menyulutnya, kemudian menghisapnya begitu dalam hingga paru-paruku merasa terisi oleh asap. Dengan sengaja aku menghembuskan asapnya ke wajah Lina, membuat matanya yang agak sipit itu semakin sipit dan terpejam kena asap.

“Kau sendiri yang berceloteh soal butterfly effect. Kemungkinan itu ada, kita masih bisa bertemu, entah itu nanti jika aku sudah kuliah dan kita tak sengaja bertemu di perpustakaan, entah ketika aku pergi liburan ke pantai kemudian kau sedang berenang dengan anakmu kelak, dan masih banyak kemungkkinan-kemungkinan lain. Kau tak perlu khawatir dengan kehidupan ini, kehidupan ini mengalir, cukup ikuti saja kemana ia pergi.”

Nggak asik!” Lina kemudian tertawa, membuang puntung rokoknya ke asbak.

*
Belasan tahun setelah kejadian yang mulai kulupakan itu berlalu.

Aroma alkohol tercium dari berbagai arah, memenuhi ruangan. Orang-orang yang mabuk dan terkulai lemas di lantai. Pemandangan biasa di kedai para pemabuk kelas rendah. Para sopir yang kelelahan dengan kegiatan mereka, para kuli bangunan yang tak lagi mau memikirkan berapa persen harga beras akan naik minggu ini, hingga anak-anak jalanan yang sengaja mencari miras oplosan literan.

Seorang pelayan wanita datang, dengan wajah lelah mengantarkan segelas vodka lokal ke mejaku, sementara di belakangnya orang-orang yang kesadarannya tinggal seperempat bersuit suit ria sambil menarik-narik roknya yang sebatas lutut.

Tiba-tiba aku ingat pada wajah itu.

Pelayan wanita yang lusuh dan lesu, namun matanya yang tampak sipit itu memancarkan jutaan rasa. Dari sela-sela bibirnya yang menggerutu lemah, aku merindukan asap keluar dari sana, tiba-tiba aku merasa melihat mawar di dalam mulutnya, walau tampaknya aku harus menyibakkan bibirnya yang pucat kekurangan darah.

“Kau mabuk, bung?”

Temanku sesama kuli bangunan menepuk pundakku.

Tiba-tiba aku melihat kupu-kupu terbang. Kartu gaple yang tersusun tanpa ujung, hingga asap rokok yang meliuk-liuk bagai kupu-kupu di taman firdaus. Sungguh, betapa nikmat takdirMu, Tuhanku.

Semua bersulang. Gelembung bir naik dari dasar gelas, buih-buihnya seakan protes kenapa ia tidak terlahir sebagai kupu-kupu yang bisa pergi dari satu bunga ke bunga lain, kenapa ia hanya bisa naik ke atas sebelum dijamah mulut-mulut manusia kurang beruntung di dunia ini.

“Amiin.”

Seakan semua orang dalam ruangan berdoa dalam hati. Semoga esok lebih baik dari hari ini, semoga dan semoga. Serentak semua meneguk minuman di tangannya masing-masing, berharap doa mereka terkabul bersama asap rokok yang hilang entah kemana diterbangkan angin yang bertiup dari luar.

Pelayan kedai di ujung sana bercerita kepada pelanggan kedai,

“Orangtuaku bercerai saat aku masih muda.” Katanya.

Kalimat itu bergema, echo, dari ujung terus berlari lewat botol-botol kaca, lewat gelas-gelas di atas meja, mengampiriku yang hampir mati terhimpit kenangan di ujung sini.

Malam semakin larut.

Di belahan bumi lain, kupu-kupu terbang di pekarangan seorang ayah yang sedang bermain dengan anak-anaknya.

*


Ciamis, 12-2-18

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer