Basa-Basi #20 : Jilbab, Tren Fashion atau Aturan Agama?
Senja menyapa
Kembali dengan segelas kopi.
Kali ini saya akan membahas jilbab! Yak! Bukan tutorial
apalagi ceramah, tapi memberikan sedikit opini tentang penerapan jilbab,
seberapa efektif-kah jilbab menjadi penanda seseorang beradab, atau sedikit
saran untuk para hijaber di Indonesia.
Fenomena Jilboob
Sebagai seorang warganet yang mudah menyerap informasi dari
berbagai sumber, saya tentunya sering mengakses sosial media baik sosial media
untuk galeri foto seperti instagram atau pinterest, atau sosial media berbasis
teks. Terkadang, saya menemukan sebuah fenomena dimana anak-anak remaja
beranjak dewasa berpose seksi menggunakan jilbab.
Dalam dunia maya, sejak lama disebut juga jilboob. Yang mana
merupakan plesetan dari jilbab itu sendiri, boob dalam bahasa Inggris artinya
payudara atau buah dada, jadi jilboob adalah mereka yang berjilbab tapi buah
dada diumbar kemana-mana. Memang tidak apa-apa, karena hak setiap orang untuk
menentukan jenis pakaian apa yang akan mereka kenakan hari itu.
Tapi ada sebuah keganjilan dimana di sisi lain saya
mendengar para ukhti yang kalem dengan pakaian syar’i menyerukan berhijrah
untuk menggunakan jilbab tapi yah—mereka malah memadukan unsur fashion dengan
aturan agama. Apalagi saya pernah berkata kepada seorang teman wanita tentang
pakaiannya itu, tapi dia menjawab “Saya kan sedang proses berhijrah, wajar
tidak sempurna, karena kesempurnaan hanya milikNya semata.”
Memang, saya akui begitu. Tapi kalau sudah diingatkan,
tentunya mereka memperbaiki diri, mungkin bisa dengan memakai pakaian yang agak
longgar, tapi kenyataannya banyak yang lebih memilih meneruskan gaya fashion
kearab-araban dengan kearifan barat itu.
Apakah disini agama lepas tangan? Sehingga banyak
orang-orang yang lebih suka saling menyalahkan agama lain dibanding menceramahi
kawan seagama mereka? Ataukah aturan agama sudah berubah bebas menjadi sekuler,
lebih terbuka dan bisa memadukan tren fashion terbuka dengan jilbab?
Apakah
Jilbab menandakan seseorang beradab di zaman modern?
Dari pandangan mata saya, tidak bisa kita memandang
seseorang beradab atau tidaknya, beragama atau tidaknya, atau punya rasa malu
atau tidakkah seseorang dari jilbab. Karena kembali pada yang sudah saya
sebutkan diatas, jilbab sudah berubah menjadi tren fashion yang diminati
sebagai penghias kemolekan tubuh, bukan penghias moleknya ahlaq.
Maka seperti kebanyakan tren fashion, seseorang tidak bisa
ditebak jati dirinya dari penampilan luarnya saja. Seperti orang tatoan, bukan
berarti mereka penjahat, seperti anak-anak berambut gondrong, bukan berarti
anak jalanan. Maka jilbab berada di tempat yang sama dengan tattoo dan gaya
rambut.
Sampai disini, saya mulai kesusahan memahami peran jilbab
dalam peradaban modern. Maka dari itu saya tidak bisa berkata si A karena
berjilbab maka ia beradab, si B karena dia berjilbab maka kelakuannya lebih
bermoral dari si C yang buka-bukaan dan bertindik.
Walau seorang kawan pernah
berkata “Kalau berjilbab sudah pasti dia beragama!”
Tapi kawan, beragama bukan berarti lebih baik dari yang
tidak beragama. Antara Hawking, ateis yang temuannya menghiasi buku-buku
pelajaran dengan Teroris di timur tengah yang jelas-jelas beragama tapi
menghancurkan masa depan jutaan anak-anak yang kotanya mereka bom.
Kalaupun anda berargumen ‘Teroris itu bukan cerminan dari
agama, mereka cuma oknum!’ tapi jelas mereka beragama, mereka percaya Tuhan,
mereka menjalankan agama dengan cara yang salah, namun tetap beragama. Jadi
tidak ada sanggahan untuk ‘oknum’ blablabla- akui saja.
Di zaman sekarang ini malah ada sebuah hal yang menurut saya
begitu guyon-able ketika seorang yang
beragama kofar-kafir dengan telunjuk mengarah kawan seagamanya yang beda
aliran. Orang beragama masih banyak yang terlalu sibuk ngurusin agama orang, mendebatkan agama orang, dibanding dengan
mengajak berbuat baik kepada kawan segamanya.
Maka, moral jelas tidak selamanya berada bersama orang-orang
beragama, karena toh nyatanya orang yang tidak beragama sekalipun masih
mengenal moral. Singkatnya, seorang beragama belum tentu bermoral, seorang
berjilbab belum tentu bermoral, seorang ateis belum tentu bermoral dan seorang
ateis belum tentu amoral.
Ada sebuah berita yang membuat saya berpikir sejauh itu,
yakni berita tentang beberapa mahasiswi penjaja tubuh di provinsi paling ‘Islam’
di Indonesia yakni Aceh, provinsi paling ketat dalam urusan beragama, makanya
saya berpikir sampai jauh, kalau ternyata agama tidak semerta-merta membuat
seseorang lebih bermoral dari yang lain.
Beritanya bisa anda cek disini : Mahasiswi Aceh yang 'Dipake' Pejabat
Posisi Jilbab, sekedar tren ataukah aturan agama?
Disini mungkin harus ada yang meluruskan sekaligus menjawab
pertanyaan ini, apakah fungsinya sudah berubah dari menjaga aurat menjadi
penghias kemolekan tubuh semata? Jika tak ada yang mau menjawab, maka bisa
disimpulkan jika para jilbaber ini sejatinya asal-asalan memakai jilbab.
Karena tanpa jawaban yang jelas, orang akan mengira yang
tidak-tidak, apakah benar ini ajaran agama?
Saya tidak munafik, saya seorang penikmat gadis-gadis
jilboob dengan tubuh montok namun berjilbab, memamerkan lekukan tubuh mereka,
dada yang menonjol ditonjolkan dengan kepala tertutup rapi jilbab.
Apakah ini akan menjadi problematika seperti rokok?
Rokok, di masyarakat Indonesia bukan pertanda seseorang
jahat atau garang, tapi sudah menjadi kultur, mendarah daging. Ketika Islam
datang ke Indonesia, mulai ada sebagian golongan yang mengharamkan rokok karena
konon lebih banyak mudharat (akibat buruk) dibanding manfaatnya.
Tapi entah kenapa, sudah ratusan ustadz perokok yang saya
kenal.
Saya punya sebuah opini, pernyataan yang liar, apakah
mungkin suatu hal dianggap biasa ketika orang-orang menikmatinya? Rokok dan
jilboob adalah contohnya, tak digubris karena semua orang suka. Maka saya
mengambil kesimpulan jika sebuah kebiasaan yang ada di tengah masyarakat akan
dianggap halal dan lazim—bahkan menurut agama—jika semua orang menyukainya.
Kini manusia tak lagi berTuhan Sang Pencipta, banyak manusia
yang berTuhan estetika, berTuhan keduniaan ketika mereka berteriak sampai dower
soal akhirat. Banyak yang justru lebih suka menikmati dan menghalalkan surga
dunia.
Inilah masalah yang dihadapi umat beragama di Indonesia, apakah
agama mampu eksis dengan aturan-aturannya, atau perlahan dirombak demi
kepentingan politik, kepentingan estetika, kepentingan kultur atau kepentingan
pribadi. Padahal, agama sudah jelas aturannya dan tidak bisa diganggu gugat.
Apakah agama mampu mengatur masyarakat atau masyarakat yang
justru mengatur agama?
Ketika perlahan aturan-aturan agama mulai diselewengkan,
tetapi ketika ada seorang anak penuh rasa ingin tahu dengan agama dilarang
berpikir kritis, apakah agama akan benar-benar mampu bertahan? Dimana banyak
sekali orang-orang cerdas diluar sana yang bisa mengubah kembali aturan-aturan
yang bergeser dari tempatnya namun terhalang dengan ikatan dan aturan yang
mengekang.
Sebuah kondisi yang justru mengateiskan banyak umat
beragama, dimana agama tidak memberikan ruang untuk umatnya berpikir, dimana
banyak yang berpikir kalau semua sudah pada tempatnya, dimana masih banyak
sekali pemuka agama yang lebih suka aksi kesana-kemari dibandingkan memberikan
ruang untuk bermusyawarah. Karena banyak sekali yang berpikir kalau mereka
sudah benar, mereka paling benar, mereka tidak bisa lagi menampung saran dan
kritikan dari murid-murid dan kawan-kawannya.
Ini berdasarkan pengalaman saya, dimana saya dikecewakan,
dimana seorang yang saya anggap tinggi ilmu agamanya justru tidak senang ketika
ditanya dan dikritik, malah membela diri kalau semua sudah pada tempatnya.
Untuk melampiaskannya, saya berpikir liar.
Maka untuk pertanyaan ‘Kok sampeyan bisa sampai berpikir
seperti ini?’ ‘Kok opininya sering begini?’ maka ada satu jawaban, karena saya
pernah dikecewakan. Ketika saya sedang semangat mencari agama, yang didapat
justru tak lebih dari paku-paku yang ia sebar ke hadapan saya dan seolah
berucap ‘Kalau kamu bisa melewati ini maka kamu boleh beragama’ dan ‘Kalau kamu
tidak bisa melewati ini berarti imanmu lemah!’, dimana ia sedang mempertaruhkan
keimanan seseorang, dimana jika saya gagal maka saya tidak bisa beragama
semestinya. Kemudian saya terluka dengan paku-paku itu, infeksi dan racun dari
paku karatan itu masih belum bisa saya keluarkan.
Terima kasih telah membuat saya seberani ini.
Semua tulisan diatas
hanya opini. Maka jika anda berpikir ini penistaan blablabla-, mungkin sudah
saatnya saya berpikir jika pendapat sudah tak dibutuhkan lagi di dunia ini.
Ciamis
28/3/18


Komentar
Posting Komentar